google-site-verification: google0b900d1b6390f203.html MBOZO RANEVA
.

Klik salah satu iklan di bawah dan dapatkan income puluhan juta rupiah

Minggu, 13 Februari 2011

Mpa'a Ntumbu (Adu Kepala)

Saturday, 26 May 2007
Salah satu budaya bima yang masih bertahan dan terus dikembnangkan adalah adu kepala. Buaya dan sekalugus keseniaan ini berlokasi di Kecamatan Wawo Kabupaten Bima.

Tradisi yang sudah berumur sama dengan keberadaan daerah bima ini tidak sembarang orang dapat memainkannya. Hal ini karena perlu dipelajari secara serius dan mendalam melalui seorang guru. Sehingga tidak heran, hanya terdiri dari beberapa orang saja yang mampu memerankan tradisi tersebut.
Belum lama ini digelar budaya adu kepala di halaman Kantor Bupati Bima dan mendapat prehatian luas dari masyarakat, termasuk turis manca negara.
Continue reading...

Minggu, 02 Januari 2011

Kabupaten Bima Timur, Isu paling dominan di Bima


Peta Kabupaten Bima TimurKabupaten Bima - sebagai salah satu Kabupaten di propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) yang sudah memenuhi persyaratan dimekarkan untuk menjadi Kabupaten Bima Timur, akhir-akhir ini, santer diperbincangkan, baik oleh masyarakat, media massa, maupun oleh tokoh-tokoh masyarakat Bima di perantauan.
"Tuntutan pemekaran wilayah Kabupaten Bima di bagian timur, akan tetap direspons sepanjang aspirasi tersebut muncul dari masyarakat. Pembentukan kabupaten baru tersebut bukan tidak mungkin dilakukan. Apalagi jika ibukota Kabupaten Bima telah dipindahkan ke Woha. Hal itu akan berdampak pada akses pelayanan warga bagian timur. “Hal itu tidak akan bisa dihindari, dewan akan meresponsnya jika itu menjadi tuntutan masyarakat,” ujarnya.
Namun, kata duta Partai Indonesia Baru (PIB) ini, hal yang perlu diingat adalah beban pemerintah pusat. Karena untuk membiayai sebuah daerah, membutuhkan banyak anggaran." Hal itu dikatakan anggota DPRD Kabupaten Bima dari Daerah Pemilihan (Dapil) IV, Gatot Sukoco, saat menerima aspirasi dari warga Sape dan Lambu di DPRD Kabupaten Bima-, Kamis 6/10) beberapa waktu yang lalu.
Dicontohkan juga, proses pemekaran saat Kota Bima resmi menjadi definitif. Juga Kabupaten Sumba Nusa Tenggara Timur (NTT) sudah dimekarkan menjadi tiga kabupaten. Meskipun secara potensi tidak lebih baik dari Sape, Wera, wawo, ambalawi, Lambu dan Lanngudu. Secara infrastruktur, sudah sangat mendukung lahirnya kabupaten baru. “Pelayanan masyarakat tentu menjadi pertimbangan utama, apalagi akan dipindahkannya ibukota kabupaten. Ini tidak bisa dihindari sebagai sebuah konsekuensi.

Hal senada juga mengemuka ketika kontrak politik Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang sekarang berhasil lolos ke Senayan seperti Prof. Farouk Muhammad, Ir. Ma'ruf dan lain-lain dari daerah pemilihan yang mewakili rakyat Sumbawa, Dompu, Kabupaten Bima dan Kota Bima mengusung upaya pemekaran tersebut.
Hampir tidak ada isu satupun yang dominan melainkan isu berjuang maksimal untuk mewujudkan Kabupaten Bima Timur, pada saat mereka turun untuk melakukan kampanye di Wilayah Bima Timur seperti Kecamatan Sape-, Lambu-, Wawo-, Wera-, Ambalawi- dan Langgudu-, baik ketika menjadi calon Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) maupun calon anggota legislatif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPR) Pusat, Propinsi (DPRD TK.1) dan Daerah/kota (DPRD Tk.2).

Masyarakat Bima Timur tentu akan menagih janji-jani mereka, sampai mereka benar-benar dapat mewujudkan cita-cita luhur tersebut.
Suatu Kesyukuran, karena untuk Pemilu 2009 ini khusus untuk Daerah pemilihan IV yang
mewakili masyarakat Bima Timur-, tokoh-tokoh partai yang lolos, didominasi oleh putra-putra terbaik Kabupaten Bima Timur yang diurutkan berdasarkan electoral treshold sebagai berikut :
- Iskandar Zulkarnain (Demokrat)
- Ferdiansyah ST, H.M. Sirajuddin, S.Sos. Drs. H. Muhdar (Golkar).
- Ahmad H.M. Saleh (PDIP)
- firdaus H. Ahmad, SH (PKS)
- Sukrin SH, M.Maman, SE, (PAN)
- Dewi Astuty, S.Pd (PKB)
- Sumardin, SH (ppp)
- Drs. H. M. Nadjib (Hanura)
- Nurdin Ahmad (PBB)

Kepada beliau-beliau yang terhormat, harapan Masyarakat Bima Timur tersandarkan, untuk dapat memperjuangkan aspirasi mereka dalam rangka mewujudkan Kabupaten Bima Timur.
Di kemudian hari dalam 100 hari mereka sebagai perwakilan rakyat Bima Timur mulai bertugas, tidak ada sinyal positif yang berorientasi pada perjuangan tersebut atau dianggap gagal, maka jangan harap rakyat percaya untuk memberikan kesempatan pada Pemilu berikutnya.

Sebagai bentuk egaliter- yang seharusnya ditunjukkan adalah tradisi untuk mengundurkan diri dengan meletakkan jabatan tersebut, sebagaimana yang terjadi di negara-negara maju seperti Jepang-, Cina-, Korea- dan negara maju lainnya, baik untuk kalangan eksekutif, Yudikatf, Legislatif- maupun penyelenggara negara lainnya, dari Pusat sampai Daerah.
Masalah Dana merupakan problema klasik yang selama ini dianggap menjadi Kendala dan menjadi perbincangan banyak kalangan seakan menyihir masyarakat untuk segera surut dalam melanjutkan perjuangan luhur ini seakan-akan masalah dana adalah sebagai syarat satu-satunya yang secara absolut mesti dipenuhi.
Padahal apapun yang menjadi keinginan masyarakat semasih itu dalam tananan yang konstruktif- dan dapat diukur, maka tidak ada alasan untuk menghambat apalagi melakukan agitasi- dan propanganda- negatif dengan serta merta mengandalkan ego kekuasaan yang selama ini dapat dilihat dengan kasat.

Dana secara otomatis akan bisa terpenuhi, manakala masyarakat mendapatkan kepastian yang jelas. Padahal mereka tidak sadar bahwa selama sekian tahun, sosialisasi mengenai pembentukan Kabupaten Bima Timur yang diwadahi oleh Komite Persiapan Kabupaten Bima Timur- (KP2KBT)- telah menghabiskan biaya yang tidak sedikit.

Selamat berjuang DPR,DPD,DPRD dapil IV dan Komponen Bima Timur lainnya.
Semoga tercatat dalam sejarah Bima Timur, bahwa Andalah Pejuangnya. Hidup Bima Timur !..
Continue reading...

Oi Mbora

Setelah Indra Zamrut resmi menjadi raja, maka ia tinggal terpisah dengan adiknya Indra Komala. Indra Zamrut tinggal di singgasana kerajaan. Sedangkan Indra Komala tinggal bersama Bicara Mbojo Ncuhi Dorowuni. Hubungan kekeluargaan antara keduanya tidak mengalami perubahan walau mereka berpisah dalam tugas dan wewenang. Tetapi kenyataan yang dihadapi bahwa Indra Zamrut telah menjadi raja yang disanjung dan dihormati oleh rakyat.
Pada waktu senggang keduanya tidak lupa akan pekerjaan dan kebiasaan yang telah dilakukan pada masa persiapan bersama Ncuhi Parewa. Indra Zamrut melanjutkan kebiasaan dan hobinya dalam hal memancing. Hampir setiap tanjung di sepanjang teluk Bima menjadi tempat berteduh raja Indra Zamrut.
Sedangkan Indra Komala melanjutkan berkebun dan berhuma. Hampir setiap gunung, lembah dan ngarai ditapakinya. Dengan penuh ketabahan ia mengajar dan mendidik rakyat untuk berladang dan berhuma. Ia termasuk sosok yang ulet dan gigih dalam bekerja di tanah ladang.
Akan tetapi pada suatu ketika, tiba-tiba saja Indra komala ingin memancing. Keinginan itu disampaikan kepada Ncuhi Dorowuni.
“ Ayahanda, Saya ingin meminjam mata pancing kakakku raja Indra Zamrud.”
“ Kalau begitu pergilah ke istana dan pinjamlah pancing itu hanya untuk nanti malam. Besok akan aku buatkan pancingmu.”
“ Aku takut.” Indra Komala menunduk.
“ Kenapa mesti takut. Kalian bersaudara. Kau harus memberanikan diri untuk memintanya dan tidak mungkin kakakmu tidak meminjamkan pancing itu.” Ncuhi Dorowuni meyakinkan.
Maka malam itu Indra Komala memberanikan diri untuk menghadap saudaranya Indra Zamrut untuk meminjam pancing beserta perlengkapannya. Permohonan Indra Komala dikabulkan dan Indra Zamrut memberikan pancing itu. Tetapi Indra Zamrut menitip pesan.
“ Jaga dan rawatlah pancing ini, sebab ia adalah mata pencaharianku bersama ayah kita Ncuhi Dara.”
“ Segala titah akan adinda laksanakan.”
Pada malam itu juga Indra Komala pergi melaut. Ia berteduh dan mangkal di Doro Tumpu. Beberapa saat lamanya ia menunggu pancingnya di tempat itu, namun tiada satupun ikan yang terjaring. Ia menjadi kesal dan tak sabar. Lalu berpindah ke arah sebelah barat. Tiada beberapa saat lamanya ia melemparkan pancingnya, disambarlah oleh seekor ikan besar. Dan demkianlah selanjutnya sehingga tertangkap beberapa ekor ikan. Indra Komala senang bukan kepalang.
Di tengah-tengah kegirangannya itu, tiba-tiba muncul seekor ikan yang sangat besar yang menyambar lagi. Indra Komala berusaha sekuat tenaga untuk menariknya. Tetapi ikan itu tidak bergerak mendekat. Dengan segala kekuatan dan tenaga dicoba lagi, namun benang pancing yang putus. Ikan itu secepat kilat menghilang bersama mata pancing di mulutnya.
Kejadian yang tidak disangka-sangka itu membuat kesenangan yang sedang dinikmati sirna seketika. Bertukar rasa kecewa, bercampur rasa takut. Dan rasa itu semakin menjadi-jadi setelah disadari dan diingat pesan kakaknya raja Indra Zamrut. Apalagi pancing itu adalah pancing kesayangannya.
Indra Komala menangis tersedu-sedu. Matanya berkaca-kaca. Lalu ia berjalan pulang dan menemui kakaknya raja Indra Zamrut yang pada saat itu berada di rumah Ncuhi Dara. Dalam kepanikan itu Indra Komala menghadap dan melaporkan kejadian yang dialaminya. Raja Indra Zamrut berang dan berkata :
“ Wahai adindaku Indra Komala, alangkah sedihnya hatiku mendengar berita ini. Engkau telah mahfum bahwa pancing itu adalah pancing kesayanganku dan mata pencaharianku bersama Ncuhi Dara. Kau harus mendapatkan pancing itu kembali. Kalau tidak kau harus menggantinya dengan yang lebih bagus lagi atau kau tebus.”
Ternyata mata pancing itu disambar oleh raja ikan. Dengan segala kekuatan yang dimilikinya indra komala mengunjungi istana raja ikan yang berada didasar laut yang berlokasi ditanjung TORO RUI LONDE (Bima Toro = Tanjung Rui = Tulang = Londe = Ikan Bandeng ) Raja ikan itu moncongnya bengkak . Indra komala mengobatinya dan tak lama kemudian ikan itupun sembuh. Sedangkan mata pancing yang hilang itu dapat ditemukan lagi.
Meski demikian, masalah pancing tersebut tidak berhenti sampai di situ saja. Raja Indra Zamrut merasa lega dan puas, tetapi sebaliknya tidak terjadi pada Indra Komala. Ia ingin membalas kepada Raja Indra Zamrut agar merasakan pula beban dan kesulitan sebagaimana yang ia alami. Untuk maksud tersebut disusunlah akal dan rencananya dengan Ncuhi Dorowuni untuk menjebak raja Indra Zamrut. Indra Komala ingin membalas kedongkolannya.
Rencana dan siasat disusun sedemikian rupa agar raja tidak diberi kesempatan untuk mencermati layaknya seperti seorang raja. Rencana dan siasat itu sangat pribadi dan menyentuh perasaan dua bersaduara yang hidup di rantauan.
Apakah gerangan rencana dan siasat itu ?
Indra Komala berpura-pura sakit keras agar Indra Zamrut menjenguknya. Ncuhi Dorowuni disuruh untuk menyampaikan berita sedih itu. Sedangkan Indra Komala menyiapkan sebakul biji wijen yang diletakan pada lantai bambu yang sengaja dilepaskan ikatannya. Bila tersentuh sedikit saja akan goyang dan biji wijen itu akan tumpah.
Dengan langkah tergopoh-gopoh Ncuhi Dorowuni dan napas terengah-engah disertai mimik yang sengaja diatur sedemikian rupa menghadap raja Indra Zamrut untuk menyampaikan berita duka itu.
Mendengar laporan itu, dan sesuai amanat yang disampaikan Ncuhi Dorowuni terlintas pikiran raja Indra Zamrut bahwa Indra Komala akan meninggal dunia dan bermaksud menjenguknya. Tanpa berpikir panjang, Indra Zamrut langsung melompat dari singgasananya dan menuju tempat dimana Indra Komala tengah berbaring menahan sakit. Indra Komala berpura-pura tidak menyambut kedatangan raja. Perhatiannya hanya tertuju pada perangkap yang dipasangnya. Dalam keadaan tergesa-gesa, lantai bambu yang goyah tadi terinjak. Bakul wijen jatuh, lalu tumpahlah seluruh isinya.
Tiba-tiba saja Indra Komala menyapa raja Indra Zamrut bahwa bakul itu jatuh dan isinya tumpah seraya berkata :
“ Saya mohon agar kakanda raja mengumpulkan kembali seluruh biji wijen yang bertebaran di tanah.”
Permintaan Indra Komala dipenuhi. Dengan segala kesaktian yang ada padanya, Indra Zamrut memanggil semua jenis burung untuk membantu mengumpulkan biji wijen itu. Namun Indra Komala masih meragukan bahwa semua biji wijen itu terkumpul semuanya. Ia yakin bahwa masih ada satu atau dua biji wijen yang belum terkumpulkan. Lalu ia ingin membuktikan keyakinannya itu dengan menyiramkan air pada tempat wijen yang tertumpah tadi. Ternyata ada beberapa batang wijen yang tumbuh. Sambil menunjuk kepada batang wijen yang tumbuh tadi, ia berkata:
“ Hai Saudaraku Raja Indra Zamrut, penghidupanku tinggal itu jua.”
Raja Indra Zamrut menjawab dan bersedia untuk kedua kalinya menggantikan wijen yang tumbuh pada saat itu juga. Namun Indra Komala menolak. Ia menegaskan bahwa biji wijen yang tumbuh tadilah yang diinginkannya. Dari penuturan Indra Komala, Indra Zamrut menjadi sadar bahwa itu hanyalah sebuah jebakan. Kehilangan mata pancing dan sikap kerasnya adalah penyebanya. Rupa-rupanya Indra Komala ingin membalas dendam.
Sejenak ia berpikir, bahwa pembalasannya tidak kepalang tanggung. Sesuatu hal yang tidak mungkin dan mustahil terjadi untuk membijikan kembali biji wijen yang sudah tumbuh menjadi batang. Betapapun saktinya Raja Indra Zamrut. Ibarat mengalirkan kembali air ke udik. Tindakan balas dendam itu dinilainya tidak seimbang dan tidak jujur. Itulah yang terus menjadi bahan pemikiran dan perenungannya.
Tanpa sepengetahuan Ncuhi Dorowuni, Indra Komala melangkahkan kaki kearah timur wilayah Mbojo Na’e. Di sana tepatnya pada sebuah mata air, Indra Komala menenggelamkan diri hingga mati dan menghilang. Raja Indra Zamrut mengabadikan tempat kejadian yang menyedihkan itu dan untuk mengenang saudaranya Indra Komala , mata air itu diberi nama OI MBO atau OI MBORA. Hingga kini tempat itu masih ada dan berada di OI MBO dalam lingkungan kelurahan Kumbe Kecamatan Rasanae Timur Pemerintah Kota Bima. ( OI = Air MBORA = Hilang ).
Continue reading...

Rabu, 08 Desember 2010

Persaudaraan Antara Suku Bima (Dou Mbojo) dan Makassar

Anda mungkin sudah tidak asing dengan salah satu suku di Nusa Tenggara Barat ini - Bima. Kota yang potensi utamanya masih berkisar pada pertanian ini secara historis mempunyai hubungan yang erat dengan kerajaan Gowa-Tallo. Pengenalan agama Islam awalnya dari pedagang Jawa dan Gujarat. Namun pengaruhnya tidak dalam cakupan yang luas hingga pada masa mulai kuatnya ekspedisi Belanda, kerajaan Gowa-Tallo memutuskan mengirimkan pasukan untuk mematahkan serangan mereka melalui perairan Bima dan Lombok. Intervensi ini merupakan tapak baru bagi perkembangan silsilah suku Bima.
Seiring dengan pengaruh agama Islam yang lebih intensif dari ulama kerajaan Gowa-Tallo, maka gelar raja diganti menjadi sultan. Sedangkan mengenai penduduk asli dari daratan Bima adalah suku Donggo. Suku ini awalnya menganut kepercayaan animisme, lalu perlahan tertekan oleh agama Islam. Suku lain yang merupakan generasi baru dari suku Bima adalah suku pendatang dari Gowa-Tallo yang membawa amanat persaudaraan melalui perjuang melawan Belanda pada abad ke-14 itulah yang lalu menetap di Bima dan disebut Dou Mbojo (orang Bima). Suku inilah yang sekarang ini lebih menyebut dirinya sebagai suku asli Bima.
Tidak hanya suku Gowa–tallo yang menginjakkan kaki sejarahnya di Kerajaan Bima, situs kuburan dengan julukan Duta Bima di Kuburan Raja Gowa-Tallo membuktikan bahwa pengaruh pemuka agama Islam Bima juga turut berperan serta dalam perjuangan Kerajaan Gowa-Tallo di masa lalu.
2. Latar Belakang Orang Bima Merantau ke Makassar dan kehidupannya
Melihat latar belakang sejarah antara Suku Bima dan Makassar, wajar jika hingga saat ini hubungan historikal yang terjalin sejak lama itu masih terlihat. Terbukti, orang-orang Bima sudah tersebar menetap di seluruh wilayah Sulawesi Selatan termasuk kabupaten Takalar, Gowa, Kota Makassar dan lainnya. Mereka merantau ke Makassar baik itu untuk melanjutkan pendidikan, mencari kerja, atau malah menikah dengan suku asli Makassar.
Kota Makassar sebagai salah satu spot destinasi bagi orang-orang yang menginginkan hidup yang cukup tenang, namun kota yang juga tidak bisa disebut udik lagi, apalagi melihat perkembangan dari berbagai sektor dimana pemerintah kota Makassar telah menargetkan kesetaraan kota ini dengan kota metropolis di dunia. Kiranya inilah yang menjadi alasan mengapa calon-calon intelek di luar sana mempertimbangkan untuk menjadi salah satu jebolan universitas di Makassar. Selain suku Jawa, suku yang juga telah banyak mendiami Makassar dan sekitarnya adalah suku Bima. Orang-orang keturunan Bima memang dikenal sebagai pribadi yang memiliki etos kerja yang tinggi setelah suku Jawa.
Hampir di setiap kampus bisa ditemui mahasiswa yang sengaja datang dari Bima untuk mendapatkan pendidikan; negeri, swasta, ataupun kesehatan. Seperti persatuan mahasiswa dari kabupaten lain di Sulawesi Selatan, mahasiswa Bima juga biasanya memiliki cara yang hampir sama sebagai wujud persaudaraan mereka, seperti rumah kos yang dikhususkan bagi mahasiswa asal Bima.
Cara lain yang mereka lakukan untuk mempersatukan kesukuan mereka di tengah perantauan ini, adalah membentuk arisan ‘Dou Mbojo’. Penulis menemukan perkumpulan arisan ini ada di Takalar dan Makassar. Arisan ini rutin mereka adakan tiap bulannya, selain untuk mempererat persaudaraan (cukup klasik namun sangat dalam maknanya bagi para perantau), juga untuk saling mengenal satu sama lain yang pada kenyataannya tersebar di pelosok kota ataupun kabupaten di sekitar Makassar. Moment ini juga akan menjadi ajang berbagi cerita mengenai keluarga masing-masing, tentang lingkungan kerja istri atau suami, tentang sekolah atau pekerjaan anak-anak kebanggaan mereka dan lain sebagainya. Arisan ini dikemas dalam bentuk yang umum dimana selain tradisi mengocok nama, juga dengan sajian makanan khas Makassar; Baro’bo (bubur jagung), Kapurung, ikan bakar, Racca’ Mangga, dan lainnya.
Dengan komunitas yang cukup besar ini, maka tidak jarang hampir di setiap keramaian, akan anda temui orang-orang yang berbahasa Bima. Hal ini mungkin karena kehidupan di kampung halaman yang nota bene belum begitu menjanjikan jika dibandingkan dengan kota Makassar dari segi infrastruktur yang lebih lengkap.
Beragam cerita dan latar belakang menjadi motivasi perantau Bima untuk datang ke Makassar; tuntutan profesi yang menugaskan mereka di kota yang tengah gencar membangun ini. Arif, seorang tentara jebolan dari pendaftaran Catam Jakarta tahun 2000 yang kini berpangkat Pratu, berasal dari suku Bima asli dan kini bertugas pada kesatuan Armed Makassar, lalu menyunting gadis asal Bima.
Nadimin S. Kes, M. Kes., yang tinggal di perumahan IDI Daya adalah seorang dosen suku Bima dan mengajar di kampus IDI dulunya menyelesaikan studinya di Makassar, kini menetap di Makassar dengan istri bersuku Bugis-Jawa.
Bimbim, seorang jebolan mahasiswa UNM merupakan pemuda kelahiran Dompu - kabupaten tak jauh dari kota Bima - kini menangani laboratorium jurusan Teknik UNM. Awalnya Bimbim menjatuhkan pilihannya di kota Makassar sebagai kota untuk mengambil gelar Sarjana Tekniknya ini karena pengalaman kakaknya yang sudah lebih dulu menyandang gelar Sarjana Agama di UIN.
Seperti yang banyak terjadi pada suku-suku yang lainnya, walaupun sekian persen mereka menikah dengan suku Bugis atau Makassar, tetapi secara prinsip, mereka akan menikah dengan suku yang sama lalu menetap di Makassar dengan alasan sumber kehidupan mereka ada di sini. Anak-anak yang kemudian lahir, tentunya akan lebih familiar dengan tata cara, budaya, logat, ataupun pola hidup orang Makassar.
Walaupun sebagian besar orang-orang Bima menuntut ilmu di Makassar lalu melanjutkannya juga dengan bekerja di Makassar, tak jarang juga dari mereka akan kembali ke kampung halaman untuk mengabdi di sana. Pada umumnya mereka yang berprofesi sebagai guru, perawat, bidan, pelayanan kesehatan lain, sedangkan untuk profesi pengacara, seperti Arsyad, yang tinggal di daerah Sudiang beristrikan suku Bugis, lebih memilih membentuk sebuah wadah konsultan di Makassar. Sekiranya di Bima mungkin masih belum populer dengan pemanfaatan jasa pengacara.
3. Hubungan Orang Bima dengan kampung Halaman
Berada di kampung orang lain walaupun sampai berpuluh tahun, bukan berarti melupakan sepenuhnya keberadaaan keluarga di kampung asal. Transportasi yang paling lumrah dan murah sebagai jalur utama orang Bima ke Makassar ataupun sebaliknya adalah kapal laut; Kelimutu, Tilongkabila, Labobar. Maka jangan heran kalau Anda sedang berada di Gedung Pelni Jl. Jenderal Sudriman 38, Anda akan menemukan pemuda pemudi bercakap dalam bahasa Bima.
Musim pulang kampung masyarakat Bima tidaklah jauh berbeda dengan masa-masa mudik suku lain. Menjelang Idul Fitri adalah mudik yang paling dinanti-nantikan. Namun itu hanya berlaku bagi mereka yang berprofesi sebagai mahasiswa. Kalaupun ternyata biaya ditangan tidak cukup untuk membeli tiket, mahasiswa ini biasanya akan ikut ke kampung halaman teman dekatnya sesama mahasiswa atau jika memiliki keluarga di Makassar, mereka akan merayakan hari besar itu bersama mereka. Orang Bima yang sudah berkeluarga dan memiliki anak memiliki jedah waktu yang lebih panjang untuk melakukan mudik. Dari segi pengeluaran budget tentunya akan lebih besar jika harus melakukan tradisi mudik tiap tahunnya.
Salah satu resiko yang cukup dramatis yang mesti dihadapkan kepada para perantau ini adalah, jika sanak keluarga, entah itu ayah, ibu, nenek, kakek, atau saudara tertimpa musibah atau bahkan meninggal, para perantau ini tentu tidak akan langsung bisa berada di tempat itu untuk sekedar berada di samping sanak keluarga yang tertimpa musibah.
Saat Idul Fitri harus dirayakan bertahun-tahun di Makassar, permohonan maaf hanya bisa dikirimkan lewat sms atau telepon, lalu menyadari betapa jauhnya sang anak telah meninggalkan orang tua, membuat cucu jauh dan asing pada kakek dan neneknya. Para sepupu bahkan akan sulit untuk saling mengakrabkan diri saat akhirnya dipertemukan.
4. Budaya Masyarakat Bima di Makassar
Kebudayaan suku Bima dengan Makassar sebenarnya tidaklah jauh berbeda. Lihat saja gaun pengantin adat yang hampir mirip dengan baju bodo suku Makassar. Perhelatan pesta pernikahanlah yang akan memperlihatkan perbedaan yang cukup menonjol. Apalagi mengingat budaya Makassar dengan nilai Panaik yang cukup tinggi. Suku Bima terbilang lebih sederhana dalam melaksanakan prosesi pernikahan.
Dari segi bahasapun, jika ciri khas dari bahasa Makassar lebih dominasi dengan akhiran huruf mati, maka bahasa Bima lebih dengan akhiran huruf hidup. Sampel yang bisa kita ambil seperti kata ‘tantongang’ dalam bahasa Makassar yang artinya jendela, maka dalam bahasa Bima ‘tantonga’. ‘jangang’ dalam bahasa Makassar, maka bahasa Bima disebut ‘janga’. Salah satu kata yang paling sering mereka ucapkan bagi saudara yaitu bermakna salam, doa, atau menunjukkan rasa empati adalah ‘kalembo ade’. Kata yang tidak memiliki arti yang spesifik ini adalah untuk menunjukkan penghargaan satu sama lainnya.
Untuk silsilah keluarga, suku Bima memanggil saudara ayah atau ibu yang lebih tua dengan Ua’. Sedangkan saudara ibu atau ayah yang lebih muda, mereka sebut bibi dan om.
Demikianlah sekilas tentang kehidupan masyarakat Bima (Dou Mbojo) di kota Anging Mammiri ini.
Continue reading...
 

Friends

url=http://www.buxp.info/advertise.php?ar=mbozoranevaku][img]http://buxp.net/images/b2.gif[/img][/url]

Followers

Enter a long URL to make tiny:

Fave This

MBOZO RANEVA Copyright © 2009 Not Magazine 4 Column is Designed by Ipietoon Sponsored by Dezigntuts