google-site-verification: google0b900d1b6390f203.html Oktober 2010
.

Klik salah satu iklan di bawah dan dapatkan income puluhan juta rupiah

Jumat, 08 Oktober 2010

Bo Sangaji Kai: Naskah Kuno Warisan Kerajaan Bima

Pada pembahasan yang dulu saya sudah membahas tentang BO KITABNYA ORANG BIMA dan kali ini saya akan membahas masalah yang sama tapi cenderung  menjelaskan tentang perubahan perubahan yang dilakukan dalam penulisan dan lainya akan kitab kebanggaan masyarakat kota bima.untuk anda yang menyukai suatu yang kuno/yang berkaitan dengan sejarah bisa membaca dan mungkin anda membutuhkanya untuk tugas pemberian dosennya bisa ambildah sebagai referensi akhir kata saya ucapkan selamat membaca.

Bo Sangaji Kai, naskah kuno milik Kerajaan Bima, aslinya ditulis menggunakan aksara Bima. Naskah ini kemudian ditulis ulang pada abad ke-19 dengan menggunakan huruf Arab-Melayu, menggunakan kertas dari Belanda dan Cina.

Kerajaan Bima memang punya tradisi kuat mencatat dan menyalin kejadian, dilakukan terus-menerus selama berabad-abad,terakhir ditulis dalam bahasa Arab-Melayu. Perubahan dari aksara Bima ke Arab dilakukan setelah Islam masuk Bima. Dalam naskah tersebut tertulis, menggunakan “bahasa yang diridhoiAllah”.

Kitab ini mengisahkan kelahiran kerajaan-kerajaan di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, berikut kisah-kisah legenda Sumbawa, susunan pemerintahan kerajaan di Sumbawa dari abad ke abad, hubungan Bima dengan raja-raja Jawa, hingga perjanjian sultan-sultan Bima dengan Belanda.

Bo Sangaji Kai menceritakan sejarah Bima dimulai pada abad ke-14, ketika Sumbawa diperintah kepala suku yang disebut Ncuhi. Wilayah Bima terbagi dalam lima wilayah: selatan, barat, utara, timur, dan tengah. “Terkuat dan tertua ialah Ncuhi Dara. Kini wilayahnya disebut Kampung Dara,” cerita Siti Maryam Salahuddin, keturunan Sultan Bima terakhir Muhammad Salahuddin (1915-1951). Maryam ialah satu dari sedikit orang yang bisa membaca huruf Arab Melayu pada Bo Sangaji Kai.

Struktur Ncuhi mulai mengalami perubahan ketika Indra Zamrud diangkat menjadi Raja Bima pertama. Ayahnya bernama Sang Bima, karena itu nama kerajaannya disebut Bima, yang dalam bahasa setempat disebut Mbojo, yang meliputi Pulau Sumbawa.

Dikisahkan, Indra. Zamrud tatkala kanak-­kanak dikirim oleh ayahnya ke Pulau Sumbawa menggunakan keranjang bambu. Dia mendarat di Danau Satonda, dekat Tambora. Kedatangannya sudah didengar Ncuhi Dara. Dia pun kemudian menyambut serta mengangkatnya menjadi anak angkat. Setelah dewasa, lima ncuhi di Sumbawa sepakat mengangkat Indra Zamrud sebagai raja setempat, sedangkan para ncuhi itu sendiri menjadi menteri. Pada suatu masa, ada keturunan Indra Zamrud yang memiliki 30 anak, dua puluh lelaki dan sepuluh perempuan. Anak lelakinya dijadikan raja di beberapa daerah Sumbawa, antara lain di Dompu, Bima, dan Sumbawa.

Siti Maryam mengisahkan, “Cerita ini diperkirakan terjadi abad 14. Tapi kemudian diperbarui karena di Kitab Negarakertagama, Kerajaan Bima disebut sudah memiliki pelabuhan besar pada 1365. Ini cocok dengan kisah di Bo Sangaji Kai. Jadi, kemungkinan Kerajaan Bima dimulai pada 1340.”

Menurut Maryam, dalam versi Arab-Melayu ada sepotong kisah yang hilang, yang tidak terdapat dalam naskah kuno Bo Sangaji Kai yang beraksara huruf Bima yang baru sebagian kecil sempat ia baca. Setelah cerita tentang keturunan Indra Zamrud, teks Arab-Melayu langsung masuk pada bagian tentang perubahan kerajaan menjadi kesultanan yakni saat pertama Islam masuk Bima sekitar abad ke-16. Catatan ini melahirkan banyak kisah baru, antara lain berdirinya Kampung Melayu di Kota Bima.

Kesultanan Bima mengakhiri masa pemerintahan saat Indonesia merdeka 1945. Saat itu raja-raja Sumbawa memutuskan untuk bergabung ke dalam Republik Indonesia. Sultan Muhammad Salahuddin, ayahanda Siti Maryam, merupakan sul­tan terakhir Bima. Sesuai dengan UU No 1 Tahun 1957 tentang penghapusan daerah swapraja, Maryam kemudian menyerahkan bangunan kerajaan kepada Pemda dan kini dijadikan museum. Sebagian peninggalan kesultanan berupa mahkota, pedang, hingga furnitur disumbangkan; sedangkan sebagian lagi disimpan di Samparaja, museum pribadi Maryam bersaudara guna dirawat untuk melengkapi berbagai kenangan tentang ayahanda juga jejak langkah sultan-sultan Bima .

Naskah Kuno Beraksara Arab-Melayu yang Terlantar
Diketahui bahwa ada dua peti yang berisi naskah Bo Sangaji Kai! Siti Maryam Salahuddin, salah seorang keturunan Kerajaan Bima yang telah berusia 80 tahun, setelah lima tahun membacanya bersama beberapa ahli, baru bisa menyelesaikan satu kitab saja. Siti Maryam juga kemudian membuat katalog naskah-naskah kuno warisan Kerajaan Bima, bersama almarhum sahabatnya, Rujiati S.W. Mulyadi dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia yang juga pernah menjabat Ketua Pusat Dokumentasi HB Jassin.

Siti Maryam begitu khawatir melihat kenyataan masih menumpuknya naskah kuno tersebut. Ia heran, kenapa ge­nerasi muda jarang tertarik untuk mengetahui sejarah negeri sendiri, Bima. Kekhawatirannya jelas beralasan karena Bo Sangaji Kai yang beraksara Arab-Melayu ini tak mudah untuk diterjemahkan, sebab banyak memakai istilah-istilah dalam bahasa Bima.

Kecenderungan akan punahnya aksara Bima membuat Maryam makin gelisah. Ia hingga kini mengaku masih terus belajar dan merasa belum begitu lancar. Namun kekhawatirannya mulai berkurang setelah seorang mahasiswa IAIN Mataram, Lombok, tertarik dan kini mulai lancar membaca aksara kuno tersebut.

Sebenarnya dulu, tutur Siti Maryam, ada seorang filolog dari Belanda yang berminat terhadap aksara Bima. Ia lalu menemui Maryam di Mataram, membawa foto kopi huruf yang diperoleh dari sebuah lontar yang sudah lama disimpan di salah satu museum di Negeri Belanda. "Setelah dicocok­kan, huruf itu ternyata aksara Bima. Dia belajar, mengeja satu per satu, kemudian saya rangkai. Tapi sekarang dia sudah meninggal. Jadi berku­rang satu orang yang mengenal aksara Bima," ungkap Maryam.

Untuk melestarikan bahasa dan aksara Bima, Maryam bercita-cita, pada Juli 2007, dia akan meluncurkan kebera­daan aksara Bima pada seminar internasional naskah Bima di Bima. Seminar itu sendiri akan dihadiri banyak ahli sejarah, arkeologi, dan filologi. Sedikitnya 10 negara sudah memberi konfirmasi kehadiran para ahlinya.

Digarap Filolog Prancis, Henry Chambert Loir
Suatu hari pada tahun 1984 Pangeran Bernard dan Duta Besar Belanda van Dongen berkunjung ke Bima. Ketika itu, Siti Maryam Salahuddin, salah satu putri Sultan Bima terakhir Muhammad Salahuddin, diminta pemerintah daerah untuk mempersiapkan semacam pameran benda-benda peninggalan Kerajaan Bima. Maryam pun lalu mengeluarkan berbagai senjata, perhiasan emas, dan permata untuk diperlihatkan kepada tamu kehormatan. Namun Maryam merasa tidak puas. “Rasanya ada yang kurang tanpa kehadiran kitab Bo Sangaji Kai,”ujarnya.

Maryam pun kemudian melakukan pencarian, dan hasilnyatidak sia-sia: dua peti naskah kuno berhasil dikumpulkan meski berserakan di mana-mana. “Ada di banyak lemari dan banyak tempat di istana. Halamannya pun kacau, bahkan bagian terakhir ada yang rusak,”ungkap Maryam.

Setelah terkumpul, naskah Bo Sangaji Kai pun dipamerkan dan menyedot perhatian Pangeran Bernard dan van Dongen. Merekatidak mengacuhkan emas permata. Bo Sangali Kai justru menjadi perhatian.

Pangeran Bernard lalu bertanya, "Apakah Anda sudah mempunyai kopi naskah untuk berjaga-jaga jika hilang atau rusak?" Maryam tersentak, menjawab jujur, belum.

Maryam pun mengaku malu sekali:mengapa orang asing yang justru peduli dengan peninggalan Bima? Siang itu, Maryam pun langsung ke pasar mengopi semua naskah. “Tapi tidak selesai karena terlalu banyak hingga membuat mesin fotokopi rusak. Akhirnya proses itu dilanjutkan di Mataram, Lombok,” kenang Maryam yang harus bolak-balik Mataram-Bima.

Kini, kopian naskah kuno sudah tersebar di beberapa tempat,antara lain di Perpustakaan Nasional dan museum di Belanda. Maryam masih memegang naskah yang asli.

Henry Chambert Loir, filolog dari Prancis, sangat terkejut ketika diberi tahu ada dua peti naskah kuno Bo Sangaji Kai. Didorong semangat keilmuannya, Henry segera mendatangi Maryam. Bersama-sama mereka melakukan penelitian, kemudian melahirkan buku berjudul Bo Sangaji Kai: Catatan Kerajaan Bimayang diterbitkan Ecole Francaise d'Extreme Orient bekerja sama dengan Yayasan Obor. Buku itu merupakan sumbangan besar dalam dunia sejarah. Namun begitu, banyak naskah kuno Bima yang belum tersentuh, apalagi digarap secara ilmiah.
Continue reading...

Selasa, 05 Oktober 2010

The eruption of Mount Tambora in 1815 Terdahsyat World

The eruption of Mount Tambora in 1815 Terdahsyat World
By Efim
Friday, August 22, 2008 20:20:22 Clicks: 887 Print :



MATARAM - The eruption of Mount Tambora in the Regency , West Nusa Tenggara ( NTB ), which occurred in 1815 was the terdahsyat world , killing 92,000 people. " The eruption of Mount Tambora was occurred 10 - 11 April 1815 about 30 miles southeast Satonda , " kaka Dr . Chess Sugiyanto , MA from the Center for Public Policy Studies and University of Gajah Mada ( UGM ) in Yogyakarta in Mataram
Tambora VS Vesuvius
Taukah you about the explosion of Mount Vesuvius that occurred on 79 meters . ? . volcano eruption meneggelamkan a city that is in romawai called Pompeii serlama 1600 years . From the information I can from vcd harunyahya , there is said that the eruption was instantly killed people in the city of Pompeii , this is the proof of finding more bodies of people who eat at the dinner table with his family and many other evidence .
It turns out that not only has the Vesuvius eruptions, in Dompu has ever happened that a very powerful eruption of the mountain named Tambora .
In 1815 , Mount Tambora suffered the massive eruption , which generated thunderous sounds of the mountain until macassar , Batavia , Ternate and to Sumatra, a distance of more than 2,600 km from Tambora . earthquakes cause volcanic eruptions over approximately 7 SR .
As a result of the eruption of Tambora , among others Tsunami attacking large beach a few islands in Indonesia on 10 April, with a height of over 4 m in Aanggar at 10:00 tonight . 1-2 m -high Tsunami occurred in Besuki dikaoirjab , East Java before midnight and 2 m high tsunami occurred in Moluccas. High smoke eruption reached stratosphere, with a height of more than 43 km.[3] ash particles fell 1 to 2 weeks after the eruption , but there is ash particles , which stay in atmosphere earth for several months to several years at an altitude of 10-30 km. longitude wind particles spread around the globe , making the occurrence of the phenomenon . Colored sunsets and twilights were seen in London, England between the date June 28 and July 2 1815 and 3 September and October 7 1815. Gleam twilight sky appear orange or red near the horizon the sky pink and purple or above .
The explosion was also in the estimate to bury the small sultanate on the foot of the mountain.
The eruption of Mount Tambora eruption melampauhi very powerful distant Mount Vesuvius . If the harun yahya , Vesusius eruption said to be the doom of the Roman people behave so that bury people alive in the city Pomeii , so if in Dompu because what ????? What if more than orang2 behavior in Rome ... ... I think harun yahya must survey the Tambora , too.
Continue reading...

Minggu, 03 Oktober 2010

Bima As Identity

BIMA has given inner resources - to those who were born and had a drink of water this area - to face life with more success . Bima residents closer to the esoteric life even transcendent . Strong Islamic tradition become the driving engine in the Milky Way to be a tough , tenacious and have character . Name Bima , was assessed a number of people , have the legality with the Bima in the puppet . There is an assumption that the " character " stocky in the family is the founder of the Kingdom of the Milky Pandavas . Sensations such as these have evolved for centuries. Almost all the educated Milky always give an explanation that smells of myths about the process of establishment of Bima . As a result of prolonged misunderstanding about this area . Unfortunately again , we too see the Milky Way as a Hindu figure . We never see the Milky Way in the eyes of Islam as a person who has the perfection of life ( the Shari'a , the orders, the nature and makrifat ) . He never boasted. With a difficult position like that , when going to see self-identity , we too become giddy . In Javanese culture , the puppet is the one of their identities . So common that people love to identify themselves with Javanese figures certain puppet . Javanese people even more to name their children with puppet characters such as Bima , Permadi and Wibisana . For girls, the names of loved is Utari , Pertiwi and Lara . Bima instead of Javanese society . We can not immediately identify themselves with the figures of wayang . Bima culture is not close to the puppet world . Bima people do not even know anything about puppets . Name Bima dicantelkan only just in our society to be the name of this area but not as an identity . So how do we find our identity ? Bima really should not be seen physically because dita spiritual leaders . So in this discourse , the name is not a noun Bima (noun) but more accurately described as adjectives (adjective.) Similarly, the term " Malay " , in the words of historian Taufik Abdullah , also not a noun but an adjective , a concept of history. So is the image or picture Bima Bima man who has the main properties with the base value of creativity , work ethic , excellence to compete , to values such as respect for our common good of the process , appreciate and respect the elderly , male , open, resilient , honest even heroistik .
ISLAMIC CHARACTER . Bima people have a distinctive religious character . Dutch historian Dr . Peter Carey (1986) praised this area as an empire in Eastern Indonesia are famous because of his obedience to the Islamic religion . Praise is not excessive . Many leading scholars from Bima . Among Ashhab Al - Jawiyyin or our brother people Jawi - Arabic such sources - in Mecca around the 18th century , Sheikh Abdul Gani Bima has been a professor at the madrasa Haramayn . One of his students is KH . Asy'ary Hashim , the founder of Nahdlatul Ulama ( NU ) . Thus Islam is attached , partly because of the strong role of the empire , which make Islam the religion of the king and kingdom . All the elements of power utilized for the benefit of Islam . King example, by setting the rules for building Jami Masjid in each district . Funds from the state on the land either Dana Pajakai and Dana Ngaji. Sultan also appoint religious leaders in each district ie Lebe Na'e. Impressive , such as how to Sultan Muhammad Salahuddin . He is not just building a house of worship but increasing function of the mosque , mushalla , and the mosque became a place violated the Quran recitation for children and the assessment of religious knowledge for adults . As a result the mosque became the center of all social activity . Recognizing the importance of education , the sultan even send its best students to study overseas to Mecca and other Arab countries . They were given scholarships by the terms must be re- served for the Milky Way after a successful study. To officials , the sultan stressed to behave un-Islamic. He requires that officials have such major properties taqwallah ( taqwa to Allah ) , Sidiq ( telling the truth ) , amana ( honest ) , tablig ( deliver the message ) as well as smart . Another factor that makes Islam could become the leading ideology in this area is a Sufi pattern . Islam with this style is so compelling because it emphasizes the perfection of life sciences . People call it the Milky Old Ngaji. The emphasis is on the soul and the heart ( tarikat , The Nature and makhrifat ) and of course the Shari'a. The Sufi wanderer like Datu In Bandang and Di Tiro in the 17th century Sufi Islam is very meritorious stuck in Bima . Sufis this step that the Islamize Gowa - Makassar and Sulawesi kingdoms . Not surprisingly, then people Bima like Sulawesi to study religion while trading . There is the spiritual chains of Sulawesi because the practice Bima with Saman Order or Khalwatiyah very dominant there. That congregation that loved a lot of people Bima and underlying Old Ngaji or Inner Sciences . The student of knowledge and the origin of the Milky mukimin in Mecca also accelerate the growth of Islam this Sufic . On his return from Mecca , they become teachers who greatly admired even believed to have karomah . One of the sheik who had a mystical piety and is legendary among the people of Bima and Dompu is Sheikh Mahdali or Sehe Boe . As Islamic classes in Java , in Bima was there abangan and aristocratic , in addition to the students. In practice congregations - in certain people - teaching congregations that are blended with the tradition of magical- mystical to gain spiritual power or supernatural powers. In its development , especially after the dissolution of the empire, the traditional scholars gradually cease to exist. Bima was like experiencing an incredible sense of sleepiness . Islamic character slowly faded . This area is to be no different from elsewhere in Indonesia , decadent behavior began to emerge such as prostitution , alcohol , drugs and gambling . now the skyline of Islam in the Milky back glowing . As there is a glimmer of light on the horizon , so about the atmosphere when it emerged a new generation who is more pious . Call it H. Ramli Ahmad ( Caregiver Pondok Pesantren Al - Husainy ) , H. Zainul Arifin ( Caregiver Pondok Pesantren Al - Ikhwanuddin ) and KH . Abdul Haris , caregivers boarding school in Lela , Kota Bima . They are the generation of new Bima , which could be a moral tank , amid an atmosphere of spiritual drought now . We hope that the Islamic character of our region will be present with a more robust performance .
HUMAN BIMA . Badrul Munir original author praised the Bima Sumbawa was tenacious , resilient and has a strong spirit of togetherness . So he said, Bima do not need to have a real gold mine for local people with all the advantages that are the real gold mine . He is a tremendous resource , which is priceless. HL . Anggawa Nuraksi , a figure of say Lombok , Bima endurance people in difficult situations is second to none . Mamiq put forward a small example about his experiences send their children to Malang , East Java . Her children before migrated to the area people first " bully " parents, "Sir , just have to have the motor, must have pocket money so per month , must have a cell phone , should have a good bed . " And more "should be " other . When a time to Malang , Mamiq almost did not believe a group of students watched the beggar , consisting of four to five people in one room . They can live on just one meal a day . They live huddled in shabby room , no bedding except cement floor . Of course it does not have a dorm room furniture . Tragically again they only had one glove that is used interchangeably . If you smoke , just one cigarette , sipped alternately . Compliments as well as the fact the above is true , although not all of this . such resistance - like a parasite that can live in the rock - was born of a process. Islamic ideology which Is essentially inherent in Bima . That means the role of education [ of religion ] are very strong behind the positive attitudes like that. We know , religion teaches us to work hard , honest and simple life and do not lamented. And it becomes a fad people Bima earlier . The values that are instilled by generations of children and grandchildren . When LB . Moerdani became commander , in amazement, why some children Milky screwed in Jakarta ? A prominent Bima ( Mbojo ) , Aziz Parady , said , " That as a manifestation of their honest attitude . From the village were taught to be honest . a lot of lies all around him , they fight . " At first glance it looks stupid but attitude reflects the strength probadi such children . Tetntu role of public education is also very strong to give change . Netherlands, for example choosing a place to establish the Milky Holland Inlandsche School ( HIS ) in Raba in 1921 . At that time there were only similar schools in Bali and Flores . " Why did the Dutch choose Rabbah ? Of course they see the benefits of the Milky Way . " said Dr . Joseph Merukh , owners Newmont gold mine in West Sumbawa . Intervening 10 years later (1931) , Sultan Salahuddin Muhammad founded the Islamic School Darul MT , as well as in Rana . In line with the times , emerged a new generation of more casual and even softening . They are usually easily satisfied , do not appreciate the process (ncao kite) and likes to take shortcuts. Attitudes take this shortcut , such as cultural observers said Mochtar Lubis , a common disease of the Malays in particular Indonesia . Imagine a state institution that receives cadets each year , could be dominated by the Milky Way . Apparently the only people able to bribe the Milky up to Rp . 75 million even more , as long as you pass . Though the market payoff , initially approximately Rp . 30-40 million . , the Milky earlier success after passing through an extraordinary period concerned . Prof . Dr . Afan Gaffar , Harun al- Rashid , Prof . Dr . Gen. Farouk Muhammad , and others when their studies to Java or Jakarta , just stay in your home. They live with concern. They never complain . Finally they succeed . The secret is they work hard . You say John C. Maxwell , ' there is no magic solution to success . " Examples of success that we can also see the Milky traders in the era of the '70s such as H. Fadjar Saleh , H. Mubin Ibrahim , H. Yasin Hope and others. They started from zero , as traders even Palele. They continue to organize yourself , life is concerned and not wasteful . Eventually they became a successful merchant crops . New Bima fact that human beings are no longer tough does not even have fighting spirit great . To print a tough man Bima , Bima people have to return and hold on the Islamic tradition through education. Bima person must be proactive . old saying goes , " Noah did not wait for his ship to come , he woke up alone ship it . " Remember ! Successful culture of even the great civilizations in the world is always preceded by the excellence of Human Resources ( HR) of his .
TRACK HISTORY. " History of the Milky indirectly into the correct historical period . Field limited to the fairy tale and a great mixed traditions from different times and varied sources. " As soon as the Dutch historian said Zollinger . In the formulation of Bo , the region had passed one time led by the elders , the village chief who was given the title " Ncuhi " . This is the era prakerajaan . It is not clear right at this time because it covered a myth. Moreover, the grouping Ncuhi very smelly Java so that this version of the traditional power-sharing was said to have developed in the Milky Way , it seems very absurd. Whatever the past history is very vague but as the Milky Rouffaer words , from religious relics such as Shiva Wadu Pa'a ( stone carving ) , it is obvious that the Java people have come to the Milky Way since the founding of Majapahit . Bima kingdom established after the Ncuhi " agreed " to form a federation . Milky or Mbojo become the center of the kingdom. Thus was born the term Rasanae or the Great State . This area , originally led Ncuhi Dara . Opponents said Rasanae is Rasatoi Small or Home Affairs which is the name for the region outside the Milky Way or the countryside . There is an assumption , if referring to the old site Wadu Pa'a a Buddha - patterned Shiva , Bima kingdom founded in 709 AD. Its founders - supposedly historians - is the Bima . It is said Bima - around the 16th century - had become a prosperous kingdom . This is evident from the description of Portuguese traveler Tome Pires who called the Milky rich rice , fish and woven fabrics . This area is very strategic because it was in the trade routes of the archipelago. It was led by the King of Bima Manggampo Donggo . Portuguese heard the name of the Milky Way . They came to this country . It was led by King Sarise Bima . For the Kingdom of Gowa - Makassar , Portuguese presence will certainly bring a lot to bring obstacles. to the Gowa make friendship agreement with the Milky agreed to accept Islam and not trading with the Portuguese . In the XV century , the Milky become prominent kingdom . Tureli Nggampo Bilmana even expand the area with menaklukka Sumba Bima , Manggarai , Sabu , Ende , Larantuka and Komodo to Alor Islands . In areas that apply customary Bima kingdom . They are also required to submit a tribute in the form of goods or slaves. In this century, Islam arrived in Bima . Islam is the Bearer of Prapen Sunan Gresik . Zollonger conclude Islamic religion entered the Milky 1450 or 1540. But the religion of Islam became the king and kingdom in 1620 , after King La Kai who later changed its name to Abdul end of a claim to be Islamic . The Gowa - Makassar mubalig landed in Sape and founded the first mosque in Kalodu . In the King Ma Ntau Asi Sawo , Dutch merchant ship stranded in Bima . Contacts between the two pihakpun intertwined . Its end is the King of Bima friendship treaty with the Netherlands for not hostile to each other . That's the first treaty with foreign nations Bima kingdom . Soon the Portuguese arrived. Dutch and Portuguese and then clashed . After the incident following the VOC -flagged ships , led by Steven van de Hagnen in 1605 . 1624, Dutch expeditionary forces came under the leadership of Commander Roos . He served in the Kingdom under the pretext Bima Bima help the kingdom of Gowa against the Company . The Dutch managed to bind the Kingdom of the Milky with various agreements , such as Rotterdam Treaty I ( 1669 ) which was signed by Abdul Rahim Tureli Nggampo with Johan Laksaman Truitman . The contents of the agreement are willing to let go of the Milky alliance with the Kingdom of Gowa . The agreement continues to be updated in 1908 . With this agreement is in the grip of the Milky Netherlands . Pamungkas agreement was even included in the folder of the skin . So -called Letter of Leather . Its contents , the Kingdom of the Milky become part Dutch East Indies. Netherlands accidentally entered the manuscript in leather folder , as a sign that the Kingdom of the Milky live skin alone . people Suffering from imperialist actions , gave birth to the people's war ( 1908-1909 ) . One of the war waged by the people Dena raising war against the Dutch . In 1910 , Haji Abdurrahman Abu Sara et al against Dutch troops led Lieutenant Colonel GT King. Resistance can be broken . Dena has not been extinguished War , Donggo people also took up arms , led Gelarang Kala Ntehi . Kala leaders can ultimately be defeated through trickery by the Dutch . When it Tureli Donggo Viceroy Muhammad Salahuddin invite the leaders of Donggo join peace talks in the palace . But after sitting at the negotiating table , the Dutch laid siege to and capture the leader Donggo , Ntihu , Ngita and Jeru Ncahu . After the war people could be annihilated, the Dutch tax imposed belasting . Authority of the Sultan Ibrahim had been torn down. He died on December 16, 1915. Sultan Salahuddin Mohammed succeeded his father . Along with the emergence of national movements , in the Milky movement was born as well . In 1920 , political parties SI ( SI ) was founded in Bima . Following the 1937 Union of Prosecutors of Muhammadiyah and Sciences in 1938. To promote education also established Islamic Unity Bima ( PIB ) on November 3, 1938. 1939. Party branch Indonesia Raya ( Parindra ) is formed . On the initiative of Sultan M. Salahuddin , NU then formed in this area . Its chairman H. Usman Abidin . Following the events of the Supreme Commander of the Royal Dutch surrender in kalijati on March 9, 1943 , the pioneers of the movement in the Milky follow these events closely. They then prepare the Action Committee , an organization which prepares itself to seize power from the hands of Holland in Bima . The Committee is supported by 14 soldiers KNIL minded nationalist . Bima can break away from Dutch colonization on April 5, 1942. After over 103 years free from the grip of the Dutch East Indies , the Kingdom of the Milky again visited Japan . July 17, 1942, the Japanese Navy under the command of Saito landed in Bima . Since then , everything is in control of Japan ranging from education to household appliances. Only when Japan's request Comfort women, female entertainers, the king and the people of the Milky flatly refused . To avoid the local young woman fell to the Japanese , the Sultan ordered to Nika Baronta or Married rebel. After the Japanese destroyed the Allies in the Pacific War in 1944 , things began to change . End of August 1945, Japanese military leader Major -General Tanaka's eastern Sumbawa in touch hand over power to the Kingdom of Bima . Local governments are Parties to celebrate the Proclamation of the Kingdom of Bima Bima Palace on December 17, 1945 . NICA troops landed in Sumbawa Besar on January 1, 1946 . NICA then sent a telegram to the Sultan of Bima to receive NICA . Sultan and all the forces in society refuse NICA . Finally a company of soldiers landed in the Milky NICA January 12, 1946. Momentum is referred to as loss of independence Milky second stage . The idea of Dr . HJ . van Mook as Acting Supreme Kingdom of the Netherlands , formed the State of East Indonesia include Maluku , Sulawesi and Lesser Sunda Islands . Government in Sumbawa island run by the Council of Kings . Sultan of Bima become chairman . Bima kingdom had become separated wilayhnya Bima and Dompu . But the 12 September 1947 , the Kingdom of Dompu restored . Bima Dompu release , which includes 10 Kejenelian ( subdistrict ) . Under Law No. NIT . 44/1950 , the Kingdom of the Milky changed its status to a local unoccupied following the Milky Regional Representatives Council unoccupied Bima on October 2, 1950 . Since that's the end of the travel history of the Kingdom of the Milky for about 350 years . Head of Government is Muhammad Salahuddin Bima unoccupied . After he died at the age of 64 years on July 11, 1951 , the head of government was empty . In the period 1951 - 1955 , son of Abdul end of a head of government. Haji Muhammad in a row (1955-1958) ; Putra Abdul end of a (1958-1959) ; Junaidin Amir Hamzah (1959-1965) ; Abidin Ishak (1965-1968) ; Soeharmaji (1968-1974) ; M. Toehir (1974-1979) ; Haji Oemar Aaron (1979-1989) ; Abdul Halim Djafar (1989-1994) ; Adi Haryanto (1995-1999) ; H. Zainul Arifin (2000-2005) and Ferry Zulkarnaen (2006 - present ) .
( Quoted from The Muslim Hamzah in BIMA Encyclopedia , 2004)
Continue reading...

Jumat, 01 Oktober 2010

DILEMA PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL

Di satu sisi, pantai Toro Wamba kini tengah dikembangkan sebagai salah satu zona pariwisata Kabupaten Bima oleh salah seorang pengusaha. Pengembangannya kini dicemaskan dengan kehadiran pengembangan tambak kira-kira seluas 4 hektar. Di sisi yang lain, pengembangan tambak ini merupakan usaha pengembangan ekonomi lokal Kecamatan Sape Bagian Utara. Bila keuntungan ekonomi harus digapai, lalu kemanakah sisi humanis kita terhadap alam?
LUKISAN TUHAN ITU ADALAH TORO WAMBA
Toro Wamba, benih mutiara yang tersembunyi. Tidak banyak orang tahu akan keberadaannya. Lokasi ini merupakan salah satu dari sekian banyak panorama, buah karya Yang Maha Indah yang ada di ujung pulau Sumbawa. Lokasi ini menjadi alternatif pilihan bagi masyarakat untuk melakukan darmawisata. Selain itu keberadaannya juga sebagai tambang pengembangan ekonomi lokal yang dapat menghasilkan tambahan Pendapatan Asli daerah (PAD) secara tidak langsung.
Ketika musim kemarau mampir ke Wilayah Timur Indonesia, tampak jelas lokomotif kepulauan nusantara, yang memiliki sejuta keanekaragaman pantai dan panorama keindahan, gugusan mutiara di barisan Timur Samudra Hindia. Toro Wamba berada diantara rangkaian pegunungan dataran rendah, tepatnya ada diantara Dusun Lamere dengan Desa Poja. Desa lamere merupakan sebuah desa persiapan pemekaran berjarak sebelas kilometer ke arah utara Kecamatan Sape yang ditempuh melalui jalan berliku dan berkelok meliwati hamparan lahan kering yang dibiarkan terbakar matahari.
Untuk memasuki wilayah tersebut bisa ditempuh dengan menggunakan kendaraan roda dua dan roda empat sejauh 1.5 kilometer ke arah timur setelah melintasi jalan dari Kecamatan Sape menembus Kecamatan Wera Kabupaten Bima. Jangan kaget, saat memasuki areal tersebut, debu-debu meneriaki laju kendaraan dan pejalan kaki, seperti badai pasir berterbangan menyambut hangat tetamunya. Harus hati-hati saat melaju roda-roda, itu karena jalannya hanya cukup untuk satu badan kendaraan roda empat, sehingga ketika berpapasan, kitapun harus rela antri.
Saat memasuki areal Toro Wamba yang luasnya 2 hektar kita disambut deburan ombak dan hamparan pasir putih sepanjang 200 meter. Air laut yang jernih, pasir berkilau sebagai pengobat penat sepanjang perjalanan. Pantai yang luar biasa, bak benih mutiara, yang diimpikan para pemburu kemewahan. Sekali berpijak seribu keinginan untuk melangkah kembali menemui pesona alamnya. Sungguh Toro Wamba adalah magis yang bernuansa romantis, yang menghantui jiwa untuk tetap berada dan berlama-lama di pantai, hingga senja mengajak kita pulang bersamanya.
Tengok saja, sejauh mata memandang, sejauh hamparan pasir putihnya, kita bisa menikmati pemandangan hamparan gugusan bukit kecil yang berhadapan dengan selat dan pulau Gilibanta, seolah-olah bukit itu berkata nikmatilah anugrah sang pencipta. Jika mata lelah memandang, menyelam adalah pilihan yang tepat. Kita bisa menikmati karang biru yang beraneka warna dan berbagai macam ikan hias. Toro Wamba benar-benar lukisan Tuhan tentang keindahan.
KECEMASAN TORO WAMBA
Pengembangan ekonomi lokal wilayah pesisir pantai belum banyak dilirik oleh Pemerintah Daerah. Padahal pengembangan wilayah pesisir merupakan salah satu alternatif bagi pengembangan ekonomi daerah yang dapat menambah pendapatan masyarakat setempat dan meningkatkan pemasukan bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Kabupaten Bima misalnya, daerah yang ada di ujung pulau Sumbawa ini memiliki ragam kekhasan wilayah pantai berpasir putih yang indah. Sebut saja misalnya, Pantai Wane - Monta, Pantai Rontu – Langgudu, Pulau Ular – Wera, Pasir Putih –Langgudu, dan Pantai Toro Wamba – Sape.
Toro Wamba diantara sekian pantai yang ada memiliki keunikan tersendiri, seperti pasir putih yang panjang, air laut yang jernih, keindahan panorama laut dengan ragam jenis ikan dan batuan karang laut yang biru, dihadapannya terdapat bukit kecil yang menjadi daya tarik tersendiri untuk memikat siapa saja yang lewat.
Di satu sisi, pantai Toro Wamba kini tengah dikembangkan sebagai salah satu zona pariwisata Kabupaten Bima oleh salah seorang pengusaha. Pengembangannya kini dicemaskan dengan kehadiran pengembangan tambak kira-kira seluas 4 hektar. Di sisi yang lain, pengembangan tambak ini merupakan usaha pengembangan ekonomi lokal Kecamatan Sape Bagian Utara.
Kenyataan ini menjadi sangat dilematis bagi pengusaha pengelola pantai Toro Wamba. Ia mencemaskan biota laut yang merupakan salah satu kekhasan pantai Toro wamba akan terancam oleh limbah dan membunuh biota laut sekitar pantai. Jika pengembangan ini benar-benar terjadi, maka usaha pengembangan pantai Toro wamba yang sudah dilaksanakan beberapa tahun ini akan menemui jalan buntu. Ini berarti kegagalan bagi pengembangan ekonomi lokal. Pertanyaaannya, bagaimana jadinya kalau lokasi wisata pantai Toro Wamba berada diantara gugusan usaha pengembangan tambak di sekitar bibir pantai?
Malam belum larut, rasa kantuk belum bisa diajak mendendangkan mimpi, bulir-bulir cahaya rembulan menyusup sukma penjaga malam. Terbayang masa depan pantai, akan kemana bermuara tatkala pelancong enggan lagi menikmati pagi dan senja karena lautnya makin cemas.
Dingin membungkus sepagi itu, tak larut dalam genggaman malam. Hati masih risau, benih mutiara hanya sunggingkan riak ombak menyapa tetamunya. Mentaripun masih mencari sandarannya di bahu bungalow. Sia-siakah perumpamaan yang dibangun dalam bingkai pesona panorama laut ? Entahlah, hanya hamparan pasir putih dan bukit yang mengitarinya yang dapat menjawabnya, memberikan kerisauan bagi karang biru yang mencumbui mahluk disekitarnya, dan ikan – ikan hias yang merana.
HARUSNYA PEMERINTAH MEMILIH TORO WAMBA
Belum lama usia pengembangan Toro Wamba sebagai zona pariwisata yang menjanjian, tiba-tiba hamparan pasirnya tak lagi merestui pelabuhan jiwa untuk tetap bersemedi dipelataran pasir putihnya yang indah. Sebab, tak lama lagi disebelah barat persis lokasi wisata tersebut akan dikembangkan usaha tambak seluas 8 hektar milik salah seorang pengusaha. Bahkan pengerjaannya sekarang telah digali berpetak – petak.
Bukan suatu kesalahan akan adanya pengembangan tambak di pinggir pantai seperti sekarang dan yang pernah ada sebelum itu dimanapun tempatnya. Tetapi, haruskah keindahan itu menjadi mubajir dan hambar bahkan tiada arti, tatkala hasil pembuangan dan sisa-sisa limbahnya bakal mencemari pantai Toro Wamba dan sekitarnya. Biota laut yang memiliki kekhasan harus rela berganti warna dan mengungsi ke tempat yang lebih aman dari polusi air. Atau mereka akan menjadi tumbal yang tiada artinya, sebab mereka adalah mahluk yang tak pernah paham bahasa manusia. Inilah ketakutan yang sesungguhnya dikemudian hari yang perlu dipikirkan
Disatu sisi pengembangan tambak memang sangat menguntungkan baik bagi pengusaha sendiri, pemerintah daerah dan masyarakat itupun jika dilibatkan dalam pengelolaannya sebagai tenaga kerja. Namun, kerusakan lingkungan tidak dapat dibayar dengan uang milyar sekalipun. Sebab, Sang Maha Pencipta hanya menciptakan sekali saja keindahan tersebut, tidak dua kali. Karena itu pemerintah perlu melakukan Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) terhadap pengembangan tambak. Perlu diingat, dibeberapa tempat pengerukan tambak, hanya menyisakan tanah-tanah mati.
Salah seorang yang kami ajak wawancara di lokasi wisata Toro Wamba mengatakan, sepintas kehadiran pengembangan tambak sangat baik dan menguntungkan. Selain, membuka peluang kerja bernilai ekonomi. Namun, limbah sisa buangan dari tambak itu nantinya menyebabkan pencemaran terhadap air laut. Padahal daya tarik di pantai Toro Wamba adalah air laut yang sangat jernih, jauh dari polusi limbah, dan terkenal sangat bersih. Terumbu karangnya membiru mata batin menghipnotis hingga lelah pun tak terpatri ketika kita berada di dekatnya.
Lebih lanjut dikatakannya, dijadikan pantai Toro Wamba sebagai daerah tujuan wisata sangat berdampak positif terhadap kelestarian terumbu karang. “…Makanya, orang-orang senang kesini. Bahkan sejak dibukanya lokasi tersebut untuk tempat wisata, perburuan dan pengeboman ikan sudah tidak ada lagi…”. Ini berarti, satu kali mendayung dua tiga pulau terlampaui. Ada dampak secara ekologis yang diperoleh dari pengembangan pantai Toro Wamba sebagai daerah tujuan wisata.
Senada dengan itu, pengunjung yang lain mengatakan kalau seandainya pantai yang indah ini dengan panorama pasir putih dan terumbu karangnya tercemar limbah pembuangan tambak, maka sangat disayangkan. Apalagi, tempat ini kini sudah mulai tertata rapi. ”…Sekarang saja sudah terlihat kerusakan pantai, akibat pengerukan pasir di sekitar lokasi itu, apalagi jika nantinya tambak-tambak sudah beroperasi. Ini sungguh disayangkan, harusnya pemerintah dapat mengkaji akibat yang ditimbulkannya ketimbang mencari solusi ketika semuanya terlanjur terjadi…”
Hal lain yang juga menjadi sorotannya, para nelayan tidak lagi leluasa melaut, asa dan keinginan mendapatkan hasil tangkapan yang bisa mencukupi kebutuhan keluarga sirna sudah. Sebab, biota-biota disekitarnyapun tak rela melabuhkan anggannya mendekati pantai. Inipun menjadi sebuah pilihan di antara kecemasan yang bakal membumi. Pertanyaannya kemana para nelayan itu bertepi merajut asa?
Karang-karang biru penyaksi tak mampu membendung, butir-butir pasir bisu diterpa ombak, bertanya kemanakah nantinya deru ombak, hamparan karang biru dan buritan pasir putih? Ranting pohon asam menggerutu tebarkan kecutnya hawa siang, dan puluhan pohon asam tumbang dibuldoser pemangsa. Tak peduli tanah ini milik siapa, tak peduli siapa kawan siapa saudara. Matahari sematkan sombong di pundak bukit yang gersang.
Kelak panomanyanya menduka ketika akan menebarkan aroma kekhasannya. Bukannya wangi air laut yang dirasa, tetapi bangkai-bangkai biota laut yang ingin merasakan hidup terapung dalam cemas. Desahan sepoi angin tidak lagi sesegar kemarinnya, satu persatu bungalow akan ditinggalkan penghuninya. Sementara sang pujangga masih bersayir bersama kecemasannya, sebab ajal mendekati senja.
Meski cemas terus memburu, waktu masih tersisa walau sekedar untuk berdamai dengan keinginan., sejalan dengan keihlasan semua pihak duduk bersama demi pengembangan ekonomi lokal yang dapat mensejahterakan masyarakat . Ayo, mumpung matahari belum tertidur, dan pasir putihnya masih angkuh, dan terumbu karang masih sombong dengan warna – warninya yang indah.
Continue reading...

Kisah kehidupan dalam Sepotong Bambu

Pada zaman dahulu hiduplah sepasang suami istri setia bernama Ompu La Mpoa dan Wa’I La Mpoa. Mereka hidup bahagia meskipun tidak dikaruniai anak keturunan. Mereka tinggal di sebuah gubuk di tengah kebun yang sangat luas di pinggir pantai Malola sebelah selatan Dompu.
Setiap hari, Ompu La Mpoa bekerja di kebunnya dari pagi hingga petang. Beragam jenis umbi-umbian, sayur-sayuran dan buah-buahan di tanam di kebun itu. Ada pula yang tumbuh secara alami seperti pohon mangga, jambu dan pohon asam. Sedangkan Wa’I La Mpoa tetap setia menemani sang suami menyuguhkan makanan dan minuman dikala melepas lelah dari bekerja. Jika mereka ingin makan ikan laut, maka tiap pagi keduanya menyiapkan kail dan jala untuk menangkap ikan.
Pada suatu malam ketika Ompu La Mpoa sedang duduk santai di balai-balai depan gubuknya, tiba-tiba ia mendengar bunyi gendang, gong serta serunai di pinggir laut itu. Ompu La Mpoa memanggil Wai’I La Mpoa yang sedang membakar Ubi.
“ Wa’I ……. Wa’I datanglah kemari ! “
“ Ada Apa Ompu ? ” Wa’I La Mpoa lari terbirit- birit.
“ Coba kau dengar, bunyi apakah gerangan yang sangat ramai di pinggir laut itu ?”
Wa’I La Mpoa mencoba mendengar secara seksama.
“ Barangkali ada orang yang berlayar di tengah laut yang memukul gendang dan gong itu, atau ada perahu yang akan berlabuh.”
“ Jika memang betul, besok kita lihat.”
Keesokan harinya Ompu La Mpoa keluar dari kebunnya menuju tepi pantai untuk melihat apa betul ada perahu yang berlabuh di sana. Akan tetapi ia tidak melihat sesuatu apapun. Ompu La Mpoa semakin heran dan bingung. Ia bertanya-tanya dalam hatinya. Bunyi apakah tadi malam itu ? Apakah yang akan terjadi ? Atau apakah orang-orang yang ramai semalam sudah kembali ? Pertanyaan demi pertanyaan terus hadir dalam benaknya. Perasaan takut dan cemas terus menerawang.
Bunyi gendang dan gong itu hanya terdengar pada malam hari. Dan berlangsung selama beberapa malam berturut-turut. Bunyian itu mengganggu pikiran keduanya. Mereka ingin tahu apa gerangan yang sebenarnya terjadi. Setiap malam diintai dan diamati, namun tiada satupun yang tampak. Bunyi-bunyian itu semakin riuh bertalu-talu dan tetap terdengar. Keanehan itu tetap menjadi tanda tanya keduanya. Apakah bunyi itu dilakukan oleh manusia atau mahluk lain ?
Ompu dan Wa’I La Mpoa menghimpun keberanian untuk datang ke tempat itu sekali lagi. Tiada satupun yang tampak. Sedangkan bunyian itu semakin jauh kedengarannya. Namun mereka tetap tabah menunggu di tepi pantai dengan harapan mungkin akan ada sesuatu yang akan muncul.
Maka beberapa saat lamanya Ompu dan wa’I La Mpoa duduk di pinggir pantai itu, tidak juga terlihat apa-apa melainkan hanya sepotong bambu yang terdampar di pinggir pantai itu. Ompu dan wa’i La Mpoa tidak dapat menahan rasa kantuk. Wa'i La Mpoa mengajak Ompu La Mpoa untuk pulang, namun mata Ompu La Mpoa selalu tertuju kepada sepotong bambu itu. Lalu ia berkata kepada istrinya. " Tunggulah aku sebentar ." " Ompu mau kemana ?" Tanya Wa’I La Mpoa cemas. " Aku akan mengambil bambu itu untuk bahan perkakas gubuk kita."
Bambu yang terdampar itu dibawa pulang dan diletakan begitu saja di pekarangan. Ompu dan Wa’I La Mpoa tertidur untuk melepaskan kelelahan dan kekesalan. Bunyi-bunyian aneh selama beberapa malam sebelumnya telah menyita waktu dan perhatian sehingga pekerjaan sehari-hari terbengkalai. Dan kini sudah tidak terdengar lagi seiring dengan terdamparnya bambu itu.
Pada suatu pagi yang cerah, ketika Ompu La Mpoa pulang dari pantai, Ia sangat lapar dan lelah. Disuruhnya Wa’I La Mpoa untuk mengambil beberapa potong Ubi untuk dibakar. Di kala Ubi akan dibakar, sepotongpun kayu bakar tidak ada. Yang ada hanyalah sepotong bambu yang dipungut dari pantai. Karena kebutuhan akan kayu bakar, terpaksa bambu yang sedianya untuk bahan perkakas gubuk dijadikan kayu bakar. Ompu La Mpoa mengambil parang untuk memotong bambu itu, namun sebuah keanehan terjadi. Sebelum parangnya tertambat pada bambu itu, tiba-tiba terdengar suara dari dalam.
“ Hai Ompu Jangan potong bambu ini. Kami ada di sini. Dan kami akan keluar sendiri.”
Ompu La Mpoa kaget. Bulu kuduknya merinding. Wajahnya pucat pasi. Lalu ia memanggil Wa’I La Mpoa. Dan dengan langkah tergopoh-gopoh Wa’I La Mpoa menghampiri suaminya.
Belum habis keheranannya akan bunyian aneh itu, kini suami istri itu dikejutkan lagi oleh suara gaib dari dalam bambu itu. Dalam keadaan keheranan bercampur takut, bambu itu pecah. Dan keluarlah dua orang pemuda yang sangat baik parasnya dengan membawa dua buah gendang, satu gong dan satu serunai bersama perlengkapannya.
“Wahai anak muda, Tuan hamba manusia, peri atau jin ?”
“ Anda berdua siapa dan darimana ?” Wa’I La Mpoa menyambung.
“ Kami adalah putera Sang Bima. Kami datang kemari dititahkan oleh Ayahanda. Nama saya Indra Zamrud dan inilah adik saya yang bernama Indra Komala. Kami datang hendak bertemu dengan Bapak kami Ncuhi Parewa dan Ncuhi Dara yang menjadi wakil Raja di sini.”.
“ Jika tuan tidak keberatan, sudilah kiranya tuan menginap dulu di gubuk kami sebelum menemui Ncuhi Parewa dan Ncuhi Dara.” Wa’I La Mpoa menawarkan mereka untuk menginap.
“ Dengan senang hati kami menerima tawaran Ompu dan Wa’i.” Indra Komala menerima ajakan itu.
Beberapa hari kemudian Ompu La Mpoa pergi ke tampat Ncuhi Parewa yang tidak jauh letaknya dari tempat itu. Kepergian Ompu La Mpoa tentunya tidak lain adalah untuk melaporkan tentang kedatangan putera Sang Bima.
“ Mohon maaf tuan, hamba datang untuk melaporkan kedatangan dua orang putera sang Bima yang bernama Indra Zamrut dan Indra Komala.”
“ Dimana mereka sekarang ? ” Ncuhi Parewa penasaran.
“ Untuk sementara mereka menginap di gubuk kami.”
“ Baiklah ! Saya akan menjemput mereka.”
Tak lama kemudian, bergegaslah Ncuhi Parewa, para pengawal dan seluruh rakyat menjemput Indra Zamrut dan Indra Komala. Setibanya di kebun Ompu La Mpoa, Ncuhi Parewa memberi hormat kepada kedua putra Sang Bima itu. Mereka saling berpelukan. Tak lupa pula Ncuhi Parewa menanyakan tentang keadaan Sang Bima.
Ncuhi Parewa mengajak mereka untuk menginap di tempatnya sebelum menemui Ncuhi Dara. Ajakan itu diterima pula oleh Indra Zamrut dan Indra Komala. Dengan penuh suka cita mereka berjalan beriringan mendaki bukit dan menuruni lembah, bahkan menyeberangi sungai. Ikut pula dalam rombongan itu Ompu dan Wa’I La Mpoa bersama gendang, gong dan serunai beserta seluruh perlengkapannya.
Dengan penuh ketabahan serta kasih sayang Ncuhi Parewa membina dan mendidik Indra Zamrut dan Indra Komala untuk beberapa bulan lamanya. Hal itu ditujukan untuk mempersiapkan keduanya yang akan menjadi pemimpin Dana Mbojo kelak. Kegiatan sehari-hari mereka adalah berladang dan berhuma. Setiap empat belas hari bulan mereka diajak menuju teluk Bima untuk memancing. Dan sekaligus melihat-lihat keadaan negeri dimana Ncuhi Dara melaksanakan pemerintahan. Jalur yang kerap mereka lalui adalah dari kediaman Ncuhi Parewa, berjalan turun lembah Samili, terus melalui daratan yang berada di Talabiu, kemudian mendaki gunung Londa dan selanjutnya turun di Lawata.
Setelah persiapan dianggap selesai dan cukup, Ncuhi Parewa melaporkan kedatangan kedua putera Sang Bima itu. Berita disebarluaskan ke seluruh negeri. Ncuhi padolo, Ncuhi Dorowuni dan Ncuhi Banggapupa dikumpulkan di istana. Akhirnya semua Ncuhi setuju. Mereka sepakat untuk mengangkat Indra Zamrut untuk menjadi raja. Dari Mbojo sepakat menjemput Indra Zamrut dan Indra Komala di Gunung Parewa Monta.
“ Hai Bapak Ncuhi Dara, kedatanganmu ini apakah kehendakmu dan niatmu ?” Secara bersama-sama Indra Zamrut dan Indra Komala bertanya kepada Ncuhi Dara.
“ Ya tuanku syah alam, kedatangan hamba tidak lain adalah untuk menyerahkan diri kepada Sri Paduka tuan berdua. Dan Hamba sekalian telah bersepakat dan semufakat dalam mempersembahkan dan mempersilahkan Sri Paduka Tuanku berdua untuk pergi ke Istana.”
Mendengar jawaban Ncuhi Dara yang bertindak atas nama Dari Mbojo, hilanglah keraguan antara keduanya. Mereka yakin bahwa Dari Mbojo dan seluruh rakyat tetap berpegang teguh pada ikrarnya dulu di hadapan Sang Bima. Dari Mbojo tidak menghianati amanat.
Indra Zamrut dan Indra Komala bergegas berangkat ke Bima diiringi para Dari Mbojo dan seluruh rakyat. Rombongan berangkat pada malam hari. Ncuhi Dorowuni diperintahkan untuk berangkat mendahului, agar mempunyai kesempatan mengadakan persiapan penyambutan bersama rakyat di depan istana Ncuhi Dara.
Setibanya di istana Ncuhi Dara, rombongan disambut dengan suka cita oleh seluruh rakyat. Ncuhi Dorowuni dalam kedudukannya selaku Bicara Mbojo(Perdana Menteri) menyerahkan seperangkat tempat sirih pinang( TA UA) kepada Indra Zamrut dan Indra Komala. Penyerahan TA UA adalah upacara simbolik penyerahan kembali kekuasaan sebagai lambang keramahan dan ketulusan hati. Sejak penyerahan itu, kekuasaan perwalian yang diemban Ncuhi Dara dikembalikan kepada putera Sang Bima. Dan keselamatan Indra Zamrut dan Indra Komala menjadi tanggung jawab Ncuhi Dara, Ncuhi Dorowuni dan Dari Mbojo.
Indra Zamrut menyerahkan sebilah keris berhulu besi dan satu azimat yang menjadi tanda dan mengukuhkan sumpah masing-masing turunan selama-lamanya. Lalu Indra Zamrut mengangkat Ompu La Mpoa menjadi DARI GENDA (Orang yang mengurus dan ahli di bidang Gendang dan alat musik tradisional) dan menetap di istana sebagai ungkapan terima kasih dan balas jasa kepada suami istri yang telah menolongnya.
Continue reading...
 

Friends

url=http://www.buxp.info/advertise.php?ar=mbozoranevaku][img]http://buxp.net/images/b2.gif[/img][/url]

Followers

Enter a long URL to make tiny:

Fave This

MBOZO RANEVA Copyright © 2009 Not Magazine 4 Column is Designed by Ipietoon Sponsored by Dezigntuts