Sebagai Dou Mbojo, ketika membaca sebuah literatur dalam Bahasa Ingris yang diterbitkan sebagai disertasi ilmiah sebuah universitas ternama di USA oleh Kennedy 1943, ternyata sejarah Bima sangat perlu direvisi oleh kita sebagai Orang Bima, karena terdapat informasi-informasi yang relevansinya tidak terarah dan melenceng dari realita.
Dalam literatur tersebut dijumpai hal-hal yang janggal, antara lain yang membahas panggilan untuk bangsawan Bima yang mencampuradukkan dengan Suku Sasak (Lombok) yang tentu saja berbeda dengan apa yang selama ini diceritakan oleh nenek moyang secara turun temurun.
Kita sebagai generasi penerus leluhur, harus melakukan langkah pelurusan sejarah Bima agar tidak terkesan "sembarangan" dan kurang komprehensif, apalagi dalam bentuk disertasi ilmiah.
Yang perlu juga dikoreksi adalah Buku yang diterbitkan oleh Depdikbud 1977/1978, 1989; Lebar 1982. Untuk mengetahui ketidak sempurnaan tersebut, dalam postingan ini juga, kami kutip sejarah Bima dari sumber-sumber tersebut. Kami sangat berharap untuk dikoreksi dan dilengkapi oleh para pembaca. Kutipannya antara lain sebagai berikut :
Orang Bima berdiam di Kabupaten Bima yang terletak di pulau Sumbawa, sebagian lagi berdiam di Kabupaten Dompu dan di Pulau Sangiang di Propinsi Nusa Tenggara Barat.
Jumlah populasinya pada tahun pada tahun 1989 sekitar 350.000 jiwa.
Bahasa Bima terdiri atas beberapa dialek yaitu : Bima, Bima Donggo dan Sangiang. Dalam kehidupan sehari-hari digunakan bahasa halus dan kasar.
Mata pencaharian utama masyarakat Bima adalah bercocok tanam di sawah dan perladangan berpindah (Ngoho).
Sebagian lagi hidup dari meramu hasil huta (ngupa le'de) dan menangkap ikan.
Sistem kekerabatannya adalah patrilinear. Keluarga inti tinggal bersama dengan keluarga luas terbatasnya dalam sebuah rumah panggung yang besar yang disebut uma panggu.
Setiap desa yang disebut kampo dikepalai oleh seorang kepala desa yang disebut ncuhi, ompu, atau ghelarang.
Dalam tugasnya kepala desa didampingi oleh beberapa penasehat yang terdiri dari para pemimpin kelompok kelompok kekerabatan dalam desa yang disebut dou matua.
Kepala desa biasanya dipilih dari keturunan cikal bakal desa itu sendiri.
Masyarakat Bima juga terdiri atas lapisan sosial bangsawan, rakyat biasa, dan kaum hamba sahaya.
Golongan bangsawan biasanya adalah keeturunan raja-raja dan pemimpin adat zaman dulu, mereka biasanya bergelar Datu. Golongan bangsawan yang masih bujang dise
but Lalu, kalau sudah menikah dan mempunyai anak dipanggil Ruma.
Golongan bangsawan perempuan yang masih gadis dipanggil Lala dan kalau sudah menikah dipanggil Dae.
Orang Bima umumnya memeluk agama Islam. Sebagian kecil di antara mereka masih memuja roh nenek moyang dan sistem kepercayaan yang disebut pare no bongi.
Dalam kegiatan pertanian orang Bima mengenal kegiatan gotong royong yang disebut weha rima. Sedangkan gotong royong dalam kegiatan upacara daur hidup disebut hanboku.
Sumber, Depdikbud 1977/1978, 1989, Lebar 1982; Kennedy 1943.
Dalam literatur tersebut dijumpai hal-hal yang janggal, antara lain yang membahas panggilan untuk bangsawan Bima yang mencampuradukkan dengan Suku Sasak (Lombok) yang tentu saja berbeda dengan apa yang selama ini diceritakan oleh nenek moyang secara turun temurun.
Kita sebagai generasi penerus leluhur, harus melakukan langkah pelurusan sejarah Bima agar tidak terkesan "sembarangan" dan kurang komprehensif, apalagi dalam bentuk disertasi ilmiah.
Yang perlu juga dikoreksi adalah Buku yang diterbitkan oleh Depdikbud 1977/1978, 1989; Lebar 1982. Untuk mengetahui ketidak sempurnaan tersebut, dalam postingan ini juga, kami kutip sejarah Bima dari sumber-sumber tersebut. Kami sangat berharap untuk dikoreksi dan dilengkapi oleh para pembaca. Kutipannya antara lain sebagai berikut :
Orang Bima berdiam di Kabupaten Bima yang terletak di pulau Sumbawa, sebagian lagi berdiam di Kabupaten Dompu dan di Pulau Sangiang di Propinsi Nusa Tenggara Barat.
Jumlah populasinya pada tahun pada tahun 1989 sekitar 350.000 jiwa.
Bahasa Bima terdiri atas beberapa dialek yaitu : Bima, Bima Donggo dan Sangiang. Dalam kehidupan sehari-hari digunakan bahasa halus dan kasar.
Mata pencaharian utama masyarakat Bima adalah bercocok tanam di sawah dan perladangan berpindah (Ngoho).
Sebagian lagi hidup dari meramu hasil huta (ngupa le'de) dan menangkap ikan.
Sistem kekerabatannya adalah patrilinear. Keluarga inti tinggal bersama dengan keluarga luas terbatasnya dalam sebuah rumah panggung yang besar yang disebut uma panggu.
Setiap desa yang disebut kampo dikepalai oleh seorang kepala desa yang disebut ncuhi, ompu, atau ghelarang.
Dalam tugasnya kepala desa didampingi oleh beberapa penasehat yang terdiri dari para pemimpin kelompok kelompok kekerabatan dalam desa yang disebut dou matua.
Kepala desa biasanya dipilih dari keturunan cikal bakal desa itu sendiri.
Masyarakat Bima juga terdiri atas lapisan sosial bangsawan, rakyat biasa, dan kaum hamba sahaya.
Golongan bangsawan biasanya adalah keeturunan raja-raja dan pemimpin adat zaman dulu, mereka biasanya bergelar Datu. Golongan bangsawan yang masih bujang dise
but Lalu, kalau sudah menikah dan mempunyai anak dipanggil Ruma.
Golongan bangsawan perempuan yang masih gadis dipanggil Lala dan kalau sudah menikah dipanggil Dae.
Orang Bima umumnya memeluk agama Islam. Sebagian kecil di antara mereka masih memuja roh nenek moyang dan sistem kepercayaan yang disebut pare no bongi.
Dalam kegiatan pertanian orang Bima mengenal kegiatan gotong royong yang disebut weha rima. Sedangkan gotong royong dalam kegiatan upacara daur hidup disebut hanboku.
Sumber, Depdikbud 1977/1978, 1989, Lebar 1982; Kennedy 1943.
1 komentar:
mantab gan,,,gan follow balik ya,,,
Posting Komentar