google-site-verification: google0b900d1b6390f203.html 2010
.

Klik salah satu iklan di bawah dan dapatkan income puluhan juta rupiah

Rabu, 08 Desember 2010

Persaudaraan Antara Suku Bima (Dou Mbojo) dan Makassar

Anda mungkin sudah tidak asing dengan salah satu suku di Nusa Tenggara Barat ini - Bima. Kota yang potensi utamanya masih berkisar pada pertanian ini secara historis mempunyai hubungan yang erat dengan kerajaan Gowa-Tallo. Pengenalan agama Islam awalnya dari pedagang Jawa dan Gujarat. Namun pengaruhnya tidak dalam cakupan yang luas hingga pada masa mulai kuatnya ekspedisi Belanda, kerajaan Gowa-Tallo memutuskan mengirimkan pasukan untuk mematahkan serangan mereka melalui perairan Bima dan Lombok. Intervensi ini merupakan tapak baru bagi perkembangan silsilah suku Bima.
Seiring dengan pengaruh agama Islam yang lebih intensif dari ulama kerajaan Gowa-Tallo, maka gelar raja diganti menjadi sultan. Sedangkan mengenai penduduk asli dari daratan Bima adalah suku Donggo. Suku ini awalnya menganut kepercayaan animisme, lalu perlahan tertekan oleh agama Islam. Suku lain yang merupakan generasi baru dari suku Bima adalah suku pendatang dari Gowa-Tallo yang membawa amanat persaudaraan melalui perjuang melawan Belanda pada abad ke-14 itulah yang lalu menetap di Bima dan disebut Dou Mbojo (orang Bima). Suku inilah yang sekarang ini lebih menyebut dirinya sebagai suku asli Bima.
Tidak hanya suku Gowa–tallo yang menginjakkan kaki sejarahnya di Kerajaan Bima, situs kuburan dengan julukan Duta Bima di Kuburan Raja Gowa-Tallo membuktikan bahwa pengaruh pemuka agama Islam Bima juga turut berperan serta dalam perjuangan Kerajaan Gowa-Tallo di masa lalu.
2. Latar Belakang Orang Bima Merantau ke Makassar dan kehidupannya
Melihat latar belakang sejarah antara Suku Bima dan Makassar, wajar jika hingga saat ini hubungan historikal yang terjalin sejak lama itu masih terlihat. Terbukti, orang-orang Bima sudah tersebar menetap di seluruh wilayah Sulawesi Selatan termasuk kabupaten Takalar, Gowa, Kota Makassar dan lainnya. Mereka merantau ke Makassar baik itu untuk melanjutkan pendidikan, mencari kerja, atau malah menikah dengan suku asli Makassar.
Kota Makassar sebagai salah satu spot destinasi bagi orang-orang yang menginginkan hidup yang cukup tenang, namun kota yang juga tidak bisa disebut udik lagi, apalagi melihat perkembangan dari berbagai sektor dimana pemerintah kota Makassar telah menargetkan kesetaraan kota ini dengan kota metropolis di dunia. Kiranya inilah yang menjadi alasan mengapa calon-calon intelek di luar sana mempertimbangkan untuk menjadi salah satu jebolan universitas di Makassar. Selain suku Jawa, suku yang juga telah banyak mendiami Makassar dan sekitarnya adalah suku Bima. Orang-orang keturunan Bima memang dikenal sebagai pribadi yang memiliki etos kerja yang tinggi setelah suku Jawa.
Hampir di setiap kampus bisa ditemui mahasiswa yang sengaja datang dari Bima untuk mendapatkan pendidikan; negeri, swasta, ataupun kesehatan. Seperti persatuan mahasiswa dari kabupaten lain di Sulawesi Selatan, mahasiswa Bima juga biasanya memiliki cara yang hampir sama sebagai wujud persaudaraan mereka, seperti rumah kos yang dikhususkan bagi mahasiswa asal Bima.
Cara lain yang mereka lakukan untuk mempersatukan kesukuan mereka di tengah perantauan ini, adalah membentuk arisan ‘Dou Mbojo’. Penulis menemukan perkumpulan arisan ini ada di Takalar dan Makassar. Arisan ini rutin mereka adakan tiap bulannya, selain untuk mempererat persaudaraan (cukup klasik namun sangat dalam maknanya bagi para perantau), juga untuk saling mengenal satu sama lain yang pada kenyataannya tersebar di pelosok kota ataupun kabupaten di sekitar Makassar. Moment ini juga akan menjadi ajang berbagi cerita mengenai keluarga masing-masing, tentang lingkungan kerja istri atau suami, tentang sekolah atau pekerjaan anak-anak kebanggaan mereka dan lain sebagainya. Arisan ini dikemas dalam bentuk yang umum dimana selain tradisi mengocok nama, juga dengan sajian makanan khas Makassar; Baro’bo (bubur jagung), Kapurung, ikan bakar, Racca’ Mangga, dan lainnya.
Dengan komunitas yang cukup besar ini, maka tidak jarang hampir di setiap keramaian, akan anda temui orang-orang yang berbahasa Bima. Hal ini mungkin karena kehidupan di kampung halaman yang nota bene belum begitu menjanjikan jika dibandingkan dengan kota Makassar dari segi infrastruktur yang lebih lengkap.
Beragam cerita dan latar belakang menjadi motivasi perantau Bima untuk datang ke Makassar; tuntutan profesi yang menugaskan mereka di kota yang tengah gencar membangun ini. Arif, seorang tentara jebolan dari pendaftaran Catam Jakarta tahun 2000 yang kini berpangkat Pratu, berasal dari suku Bima asli dan kini bertugas pada kesatuan Armed Makassar, lalu menyunting gadis asal Bima.
Nadimin S. Kes, M. Kes., yang tinggal di perumahan IDI Daya adalah seorang dosen suku Bima dan mengajar di kampus IDI dulunya menyelesaikan studinya di Makassar, kini menetap di Makassar dengan istri bersuku Bugis-Jawa.
Bimbim, seorang jebolan mahasiswa UNM merupakan pemuda kelahiran Dompu - kabupaten tak jauh dari kota Bima - kini menangani laboratorium jurusan Teknik UNM. Awalnya Bimbim menjatuhkan pilihannya di kota Makassar sebagai kota untuk mengambil gelar Sarjana Tekniknya ini karena pengalaman kakaknya yang sudah lebih dulu menyandang gelar Sarjana Agama di UIN.
Seperti yang banyak terjadi pada suku-suku yang lainnya, walaupun sekian persen mereka menikah dengan suku Bugis atau Makassar, tetapi secara prinsip, mereka akan menikah dengan suku yang sama lalu menetap di Makassar dengan alasan sumber kehidupan mereka ada di sini. Anak-anak yang kemudian lahir, tentunya akan lebih familiar dengan tata cara, budaya, logat, ataupun pola hidup orang Makassar.
Walaupun sebagian besar orang-orang Bima menuntut ilmu di Makassar lalu melanjutkannya juga dengan bekerja di Makassar, tak jarang juga dari mereka akan kembali ke kampung halaman untuk mengabdi di sana. Pada umumnya mereka yang berprofesi sebagai guru, perawat, bidan, pelayanan kesehatan lain, sedangkan untuk profesi pengacara, seperti Arsyad, yang tinggal di daerah Sudiang beristrikan suku Bugis, lebih memilih membentuk sebuah wadah konsultan di Makassar. Sekiranya di Bima mungkin masih belum populer dengan pemanfaatan jasa pengacara.
3. Hubungan Orang Bima dengan kampung Halaman
Berada di kampung orang lain walaupun sampai berpuluh tahun, bukan berarti melupakan sepenuhnya keberadaaan keluarga di kampung asal. Transportasi yang paling lumrah dan murah sebagai jalur utama orang Bima ke Makassar ataupun sebaliknya adalah kapal laut; Kelimutu, Tilongkabila, Labobar. Maka jangan heran kalau Anda sedang berada di Gedung Pelni Jl. Jenderal Sudriman 38, Anda akan menemukan pemuda pemudi bercakap dalam bahasa Bima.
Musim pulang kampung masyarakat Bima tidaklah jauh berbeda dengan masa-masa mudik suku lain. Menjelang Idul Fitri adalah mudik yang paling dinanti-nantikan. Namun itu hanya berlaku bagi mereka yang berprofesi sebagai mahasiswa. Kalaupun ternyata biaya ditangan tidak cukup untuk membeli tiket, mahasiswa ini biasanya akan ikut ke kampung halaman teman dekatnya sesama mahasiswa atau jika memiliki keluarga di Makassar, mereka akan merayakan hari besar itu bersama mereka. Orang Bima yang sudah berkeluarga dan memiliki anak memiliki jedah waktu yang lebih panjang untuk melakukan mudik. Dari segi pengeluaran budget tentunya akan lebih besar jika harus melakukan tradisi mudik tiap tahunnya.
Salah satu resiko yang cukup dramatis yang mesti dihadapkan kepada para perantau ini adalah, jika sanak keluarga, entah itu ayah, ibu, nenek, kakek, atau saudara tertimpa musibah atau bahkan meninggal, para perantau ini tentu tidak akan langsung bisa berada di tempat itu untuk sekedar berada di samping sanak keluarga yang tertimpa musibah.
Saat Idul Fitri harus dirayakan bertahun-tahun di Makassar, permohonan maaf hanya bisa dikirimkan lewat sms atau telepon, lalu menyadari betapa jauhnya sang anak telah meninggalkan orang tua, membuat cucu jauh dan asing pada kakek dan neneknya. Para sepupu bahkan akan sulit untuk saling mengakrabkan diri saat akhirnya dipertemukan.
4. Budaya Masyarakat Bima di Makassar
Kebudayaan suku Bima dengan Makassar sebenarnya tidaklah jauh berbeda. Lihat saja gaun pengantin adat yang hampir mirip dengan baju bodo suku Makassar. Perhelatan pesta pernikahanlah yang akan memperlihatkan perbedaan yang cukup menonjol. Apalagi mengingat budaya Makassar dengan nilai Panaik yang cukup tinggi. Suku Bima terbilang lebih sederhana dalam melaksanakan prosesi pernikahan.
Dari segi bahasapun, jika ciri khas dari bahasa Makassar lebih dominasi dengan akhiran huruf mati, maka bahasa Bima lebih dengan akhiran huruf hidup. Sampel yang bisa kita ambil seperti kata ‘tantongang’ dalam bahasa Makassar yang artinya jendela, maka dalam bahasa Bima ‘tantonga’. ‘jangang’ dalam bahasa Makassar, maka bahasa Bima disebut ‘janga’. Salah satu kata yang paling sering mereka ucapkan bagi saudara yaitu bermakna salam, doa, atau menunjukkan rasa empati adalah ‘kalembo ade’. Kata yang tidak memiliki arti yang spesifik ini adalah untuk menunjukkan penghargaan satu sama lainnya.
Untuk silsilah keluarga, suku Bima memanggil saudara ayah atau ibu yang lebih tua dengan Ua’. Sedangkan saudara ibu atau ayah yang lebih muda, mereka sebut bibi dan om.
Demikianlah sekilas tentang kehidupan masyarakat Bima (Dou Mbojo) di kota Anging Mammiri ini.
Continue reading...

Budaya Rimpu Mbojo di persimpangan Jaman


Tak kala saya masih kecil dan hidup di sebuah pedesaan di kabupaten bima tepat nya di kecematan BELO (desa tonggorisa) saya sangat senang sekali dengan keadaan desa yang begitu damai tentram dan sejahtera. Hampir setiap hari saya jarang sekali melihat muka para kaum hawa (bukannya saya buta) dan tidak ada bagian tubuhnya yang seksi kelihatan sama sekali ini semua dikarenakan mereka memakai cadar ala ninja atau kalau orang BIMA bilang Rimpu mbojo (sarung yang dipakai persis ninja) dan saya sangat senang sekali melihat hal ini semua dan ini sudah menjadi budaya bima karena kemana-mana mereka selalu memakainya. Namun setelah saya dan keluarga pindah ke KOTA BIMA saya pun masih melihat kaum hawa yang memakai RIMPU.(kalau teman yang belum tahu bima sedikit saya kasih tahu kalau bima itu merupaka daerah yang ada di Pulau sumbawa dan masuk Kedalam Propinsi NTB)

Namun perjalanan Roda Jaman memang terlalu cepat berputar pengaruh modernisasi dan trend masa kini telah melanda daerah ku tercinta (BIMA) ini terlihat dari corak dan mode yang di pakai kaum hawa saat ini..saya seperti melihat suatu pemandangan yang luar biasa berubahnya karena di kota ini kaum hawa kelihatan seperti manusia yang tidak memakai baju karena liuk-liuk tubuhnya yang seksi kelihatan sangat jelas dan tentu saja ini bisa menimbulkan birahi kaum adam apalgi bagi si lelaki buaya ini merupakan lahan yang basah untuk di pelototi. Ini semua adalah korban dari keganasan jaman yang makin moderen dan dibarengi dengan si Pelaku yang tidak mau menyaring serta mengklarifikasi dulu apa ini baik atau tidak apa ini bertentangan dengan budaya atau tidak dan lebih dengan ketentuan agama. Namun ini semua telah terjadi dan budaya RIMPU tinggalah kenangan saja karena kaum hawa sekarang ini tidak lagi begitu mau mengikuti saran dan kata-kata orang tua kalau dilarang pasti di jawabnya seperti ini “ini kan jaman moderen kalau pakai rimpu tidak gaul gitu” (kata ini pernah saya dengar karena yang bilang masih kerabat jauh saya!!! Tapi alhamdulillah sekarang walaupun tidak memakai rimpu dia mengganti dengan Jilbaber) inilah salah satu contoh yang bisa menyebabkan budaya itu runtuh karena anak cucu tidak mau mengikuti saran-saran dari orang tua atau dewasa..dan lebih kejamnya lagi karena pengaruh modernisasi bukan saja melanda kota yang baru saya tempati tapi udah merembes ke desa yang pernah saya tinggal dulu dan didesa hanya sebagian kaum hawa aja yang masih bertahan untuk memakai rimpu tersebut yaitu hanya ibu-ibu dan nenek-nenek saja. Melihat dari fenoma ini pengaruh modernisasi itu bisa masuk lewat:

1.Orang bule yang suka jalan pakai baju dalam aja

2.Karena kebanyakan nonton sinetron anak muda atau ABG

3.Karena tidak mau di bilang ketinggalan jaman

4.DLL

Semoga ada para kaum hawa dari daerah saya yang nyasar ke blog ini dan membaca tulisan ini dan merenungi kembali akan budaya RIMPU yang hamper punah ini…
Continue reading...

Minggu, 07 November 2010

Sejarah Bima perlu diluruskan


Rimpu Mbojo, http://Gaelby.blogspot.comSebagai Dou Mbojo, ketika membaca sebuah literatur dalam Bahasa Ingris yang diterbitkan sebagai disertasi ilmiah sebuah universitas ternama di USA oleh Kennedy 1943, ternyata sejarah Bima sangat perlu direvisi oleh kita sebagai Orang Bima, karena terdapat informasi-informasi yang relevansinya tidak terarah dan melenceng dari realita.
Dalam literatur tersebut dijumpai hal-hal yang janggal, antara lain yang membahas panggilan untuk bangsawan Bima yang mencampuradukkan dengan Suku Sasak (Lombok) yang tentu saja berbeda dengan apa yang selama ini diceritakan oleh nenek moyang secara turun temurun.
Kita sebagai generasi penerus leluhur, harus melakukan langkah pelurusan sejarah Bima agar tidak terkesan "sembarangan" dan kurang komprehensif, apalagi dalam bentuk disertasi ilmiah.
Yang perlu juga dikoreksi adalah Buku yang diterbitkan oleh Depdikbud 1977/1978, 1989; Lebar 1982. Untuk mengetahui ketidak sempurnaan tersebut, dalam postingan ini juga, kami kutip sejarah Bima dari sumber-sumber tersebut. Kami sangat berharap untuk dikoreksi dan dilengkapi oleh para pembaca. Kutipannya antara lain sebagai berikut :

Orang Bima berdiam di Kabupaten Bima yang terletak di pulau Sumbawa, sebagian lagi berdiam di Kabupaten Dompu dan di Pulau Sangiang di Propinsi Nusa Tenggara Barat.
Jumlah populasinya pada tahun pada tahun 1989 sekitar 350.000 jiwa.
Bahasa Bima terdiri atas beberapa dialek yaitu : Bima, Bima Donggo dan Sangiang. Dalam kehidupan sehari-hari digunakan bahasa halus dan kasar.
Mata pencaharian utama masyarakat Bima adalah bercocok tanam di sawah dan perladangan berpindah (Ngoho).
Sebagian lagi hidup dari meramu hasil huta (ngupa le'de) dan menangkap ikan.
Sistem kekerabatannya adalah patrilinear. Keluarga inti tinggal bersama dengan keluarga luas terbatasnya dalam sebuah rumah panggung yang besar yang disebut uma panggu.
Setiap desa yang disebut kampo dikepalai oleh seorang kepala desa yang disebut ncuhi, ompu, atau ghelarang.
Dalam tugasnya kepala desa didampingi oleh beberapa penasehat yang terdiri dari para pemimpin kelompok kelompok kekerabatan dalam desa yang disebut dou matua.
Kepala desa biasanya dipilih dari keturunan cikal bakal desa itu sendiri.
Masyarakat Bima juga terdiri atas lapisan sosial bangsawan, rakyat biasa, dan kaum hamba sahaya.
Golongan bangsawan biasanya adalah keeturunan raja-raja dan pemimpin adat zaman dulu, mereka biasanya bergelar Datu. Golongan bangsawan yang masih bujang dise
but Lalu, kalau sudah menikah dan mempunyai anak dipanggil Ruma.
Golongan bangsawan perempuan yang masih gadis dipanggil Lala dan kalau sudah menikah dipanggil Dae.
Orang Bima umumnya memeluk agama Islam. Sebagian kecil di antara mereka masih memuja roh nenek moyang dan sistem kepercayaan yang disebut pare no bongi.
Dalam kegiatan pertanian orang Bima mengenal kegiatan gotong royong yang disebut weha rima. Sedangkan gotong royong dalam kegiatan upacara daur hidup disebut hanboku.

Sumber, Depdikbud 1977/1978, 1989, Lebar 1982; Kennedy 1943.
Continue reading...

Selasa, 02 November 2010

Uma Lengge
`` `` Uma Lengge Sambori is the peak area which is located in the city bima in this area is still thick with sambori native culture, where people over there still use the original language of society sambori without changes. Masyarakatan and kinship systems to the community, the community there are still close and still could not adapt to the immigrant population. But there also has been able to adapt to the immigrant population and only tetrtentu residents only. Community sambori using native language sambori used as the language of everyday conversation. The main livelihood of villagers sambori namely cultivation of rice, and other tuber crops, which are located directly on the mountain they were working on the mountain. The belief system that is embraced by the community sambori embrace and uphold the religious teachings of Islam, the belief is still also have a mystical belief of animism, but only certain people only. As the development of the era, all animistic belief was almost extinct and even totally absent. Sambori society should be entitled history of uma lengge namely a house and its unique nature that is in use sambori society as a storage of agricultural products as well as a place tingal once. Uma lengge consists of three parts, namely, the composition of which point to menyimmpan yields, the center is used as a residence and bottom composition is as a place to store cattle. Uma lengge made from natural wood each chamber and the pole using a rope uma lengge the root of the tree that is in use as a binder or amplifier pole pole uma lengge. Pole uma lengge made in using wood as a buffer. Mystical value inherent in these lengge uma. But the inherited value of mystical value on objects in the uma lengge, only one boy from Ompu and wa'i the same name. At the location of which is owned uma lengge Ompu bowel (yusuf) and wa `i obi, there are also areas that are not indiscriminate in passing bus, which is on the left side of the page uma lengge, prohibitions or restrictions apply to all, both for residents sambori itself well as the immigrant population. Uma lengge has a section which comprises a roof section uma, or butu uma leaf made of coarse grass, sky sky or taja uma made of palm wood and floor dwelling made of wood or palm nut tree. In the pole uma also used wood in use as a buffer, which functions as a booster every pole pole uma lengge. Uma lengge is a cultural object that still exists in sambori, despite being nearly extinct. As shown in the picture below is one of uma lengge still in sambori. In sambori also has a historical origin uma lengge are still thick with mystical values, namely uma lengge who inhabited by Ompu and wa `i, who is said to still keep uma lengge objects that stores the value of mystical, among other objects buja which has a name that is lalino respectively, and lajaro and la aji, in uma lengge juag there was a black dog (Lako me `e) which is said to often appear as a watchman in the uma lengge it. Ompu uma those who have been long dead and his `i wa still there and now living in the house Ompu and wa` I have three children namely first a daughter whose name is Mi, a, then the two together, and ketiha Hama, three children Ompu and wa `i is that still there is that one can inherit the value.
Continue reading...

Jumat, 08 Oktober 2010

Bo Sangaji Kai: Naskah Kuno Warisan Kerajaan Bima

Pada pembahasan yang dulu saya sudah membahas tentang BO KITABNYA ORANG BIMA dan kali ini saya akan membahas masalah yang sama tapi cenderung  menjelaskan tentang perubahan perubahan yang dilakukan dalam penulisan dan lainya akan kitab kebanggaan masyarakat kota bima.untuk anda yang menyukai suatu yang kuno/yang berkaitan dengan sejarah bisa membaca dan mungkin anda membutuhkanya untuk tugas pemberian dosennya bisa ambildah sebagai referensi akhir kata saya ucapkan selamat membaca.

Bo Sangaji Kai, naskah kuno milik Kerajaan Bima, aslinya ditulis menggunakan aksara Bima. Naskah ini kemudian ditulis ulang pada abad ke-19 dengan menggunakan huruf Arab-Melayu, menggunakan kertas dari Belanda dan Cina.

Kerajaan Bima memang punya tradisi kuat mencatat dan menyalin kejadian, dilakukan terus-menerus selama berabad-abad,terakhir ditulis dalam bahasa Arab-Melayu. Perubahan dari aksara Bima ke Arab dilakukan setelah Islam masuk Bima. Dalam naskah tersebut tertulis, menggunakan “bahasa yang diridhoiAllah”.

Kitab ini mengisahkan kelahiran kerajaan-kerajaan di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, berikut kisah-kisah legenda Sumbawa, susunan pemerintahan kerajaan di Sumbawa dari abad ke abad, hubungan Bima dengan raja-raja Jawa, hingga perjanjian sultan-sultan Bima dengan Belanda.

Bo Sangaji Kai menceritakan sejarah Bima dimulai pada abad ke-14, ketika Sumbawa diperintah kepala suku yang disebut Ncuhi. Wilayah Bima terbagi dalam lima wilayah: selatan, barat, utara, timur, dan tengah. “Terkuat dan tertua ialah Ncuhi Dara. Kini wilayahnya disebut Kampung Dara,” cerita Siti Maryam Salahuddin, keturunan Sultan Bima terakhir Muhammad Salahuddin (1915-1951). Maryam ialah satu dari sedikit orang yang bisa membaca huruf Arab Melayu pada Bo Sangaji Kai.

Struktur Ncuhi mulai mengalami perubahan ketika Indra Zamrud diangkat menjadi Raja Bima pertama. Ayahnya bernama Sang Bima, karena itu nama kerajaannya disebut Bima, yang dalam bahasa setempat disebut Mbojo, yang meliputi Pulau Sumbawa.

Dikisahkan, Indra. Zamrud tatkala kanak-­kanak dikirim oleh ayahnya ke Pulau Sumbawa menggunakan keranjang bambu. Dia mendarat di Danau Satonda, dekat Tambora. Kedatangannya sudah didengar Ncuhi Dara. Dia pun kemudian menyambut serta mengangkatnya menjadi anak angkat. Setelah dewasa, lima ncuhi di Sumbawa sepakat mengangkat Indra Zamrud sebagai raja setempat, sedangkan para ncuhi itu sendiri menjadi menteri. Pada suatu masa, ada keturunan Indra Zamrud yang memiliki 30 anak, dua puluh lelaki dan sepuluh perempuan. Anak lelakinya dijadikan raja di beberapa daerah Sumbawa, antara lain di Dompu, Bima, dan Sumbawa.

Siti Maryam mengisahkan, “Cerita ini diperkirakan terjadi abad 14. Tapi kemudian diperbarui karena di Kitab Negarakertagama, Kerajaan Bima disebut sudah memiliki pelabuhan besar pada 1365. Ini cocok dengan kisah di Bo Sangaji Kai. Jadi, kemungkinan Kerajaan Bima dimulai pada 1340.”

Menurut Maryam, dalam versi Arab-Melayu ada sepotong kisah yang hilang, yang tidak terdapat dalam naskah kuno Bo Sangaji Kai yang beraksara huruf Bima yang baru sebagian kecil sempat ia baca. Setelah cerita tentang keturunan Indra Zamrud, teks Arab-Melayu langsung masuk pada bagian tentang perubahan kerajaan menjadi kesultanan yakni saat pertama Islam masuk Bima sekitar abad ke-16. Catatan ini melahirkan banyak kisah baru, antara lain berdirinya Kampung Melayu di Kota Bima.

Kesultanan Bima mengakhiri masa pemerintahan saat Indonesia merdeka 1945. Saat itu raja-raja Sumbawa memutuskan untuk bergabung ke dalam Republik Indonesia. Sultan Muhammad Salahuddin, ayahanda Siti Maryam, merupakan sul­tan terakhir Bima. Sesuai dengan UU No 1 Tahun 1957 tentang penghapusan daerah swapraja, Maryam kemudian menyerahkan bangunan kerajaan kepada Pemda dan kini dijadikan museum. Sebagian peninggalan kesultanan berupa mahkota, pedang, hingga furnitur disumbangkan; sedangkan sebagian lagi disimpan di Samparaja, museum pribadi Maryam bersaudara guna dirawat untuk melengkapi berbagai kenangan tentang ayahanda juga jejak langkah sultan-sultan Bima .

Naskah Kuno Beraksara Arab-Melayu yang Terlantar
Diketahui bahwa ada dua peti yang berisi naskah Bo Sangaji Kai! Siti Maryam Salahuddin, salah seorang keturunan Kerajaan Bima yang telah berusia 80 tahun, setelah lima tahun membacanya bersama beberapa ahli, baru bisa menyelesaikan satu kitab saja. Siti Maryam juga kemudian membuat katalog naskah-naskah kuno warisan Kerajaan Bima, bersama almarhum sahabatnya, Rujiati S.W. Mulyadi dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia yang juga pernah menjabat Ketua Pusat Dokumentasi HB Jassin.

Siti Maryam begitu khawatir melihat kenyataan masih menumpuknya naskah kuno tersebut. Ia heran, kenapa ge­nerasi muda jarang tertarik untuk mengetahui sejarah negeri sendiri, Bima. Kekhawatirannya jelas beralasan karena Bo Sangaji Kai yang beraksara Arab-Melayu ini tak mudah untuk diterjemahkan, sebab banyak memakai istilah-istilah dalam bahasa Bima.

Kecenderungan akan punahnya aksara Bima membuat Maryam makin gelisah. Ia hingga kini mengaku masih terus belajar dan merasa belum begitu lancar. Namun kekhawatirannya mulai berkurang setelah seorang mahasiswa IAIN Mataram, Lombok, tertarik dan kini mulai lancar membaca aksara kuno tersebut.

Sebenarnya dulu, tutur Siti Maryam, ada seorang filolog dari Belanda yang berminat terhadap aksara Bima. Ia lalu menemui Maryam di Mataram, membawa foto kopi huruf yang diperoleh dari sebuah lontar yang sudah lama disimpan di salah satu museum di Negeri Belanda. "Setelah dicocok­kan, huruf itu ternyata aksara Bima. Dia belajar, mengeja satu per satu, kemudian saya rangkai. Tapi sekarang dia sudah meninggal. Jadi berku­rang satu orang yang mengenal aksara Bima," ungkap Maryam.

Untuk melestarikan bahasa dan aksara Bima, Maryam bercita-cita, pada Juli 2007, dia akan meluncurkan kebera­daan aksara Bima pada seminar internasional naskah Bima di Bima. Seminar itu sendiri akan dihadiri banyak ahli sejarah, arkeologi, dan filologi. Sedikitnya 10 negara sudah memberi konfirmasi kehadiran para ahlinya.

Digarap Filolog Prancis, Henry Chambert Loir
Suatu hari pada tahun 1984 Pangeran Bernard dan Duta Besar Belanda van Dongen berkunjung ke Bima. Ketika itu, Siti Maryam Salahuddin, salah satu putri Sultan Bima terakhir Muhammad Salahuddin, diminta pemerintah daerah untuk mempersiapkan semacam pameran benda-benda peninggalan Kerajaan Bima. Maryam pun lalu mengeluarkan berbagai senjata, perhiasan emas, dan permata untuk diperlihatkan kepada tamu kehormatan. Namun Maryam merasa tidak puas. “Rasanya ada yang kurang tanpa kehadiran kitab Bo Sangaji Kai,”ujarnya.

Maryam pun kemudian melakukan pencarian, dan hasilnyatidak sia-sia: dua peti naskah kuno berhasil dikumpulkan meski berserakan di mana-mana. “Ada di banyak lemari dan banyak tempat di istana. Halamannya pun kacau, bahkan bagian terakhir ada yang rusak,”ungkap Maryam.

Setelah terkumpul, naskah Bo Sangaji Kai pun dipamerkan dan menyedot perhatian Pangeran Bernard dan van Dongen. Merekatidak mengacuhkan emas permata. Bo Sangali Kai justru menjadi perhatian.

Pangeran Bernard lalu bertanya, "Apakah Anda sudah mempunyai kopi naskah untuk berjaga-jaga jika hilang atau rusak?" Maryam tersentak, menjawab jujur, belum.

Maryam pun mengaku malu sekali:mengapa orang asing yang justru peduli dengan peninggalan Bima? Siang itu, Maryam pun langsung ke pasar mengopi semua naskah. “Tapi tidak selesai karena terlalu banyak hingga membuat mesin fotokopi rusak. Akhirnya proses itu dilanjutkan di Mataram, Lombok,” kenang Maryam yang harus bolak-balik Mataram-Bima.

Kini, kopian naskah kuno sudah tersebar di beberapa tempat,antara lain di Perpustakaan Nasional dan museum di Belanda. Maryam masih memegang naskah yang asli.

Henry Chambert Loir, filolog dari Prancis, sangat terkejut ketika diberi tahu ada dua peti naskah kuno Bo Sangaji Kai. Didorong semangat keilmuannya, Henry segera mendatangi Maryam. Bersama-sama mereka melakukan penelitian, kemudian melahirkan buku berjudul Bo Sangaji Kai: Catatan Kerajaan Bimayang diterbitkan Ecole Francaise d'Extreme Orient bekerja sama dengan Yayasan Obor. Buku itu merupakan sumbangan besar dalam dunia sejarah. Namun begitu, banyak naskah kuno Bima yang belum tersentuh, apalagi digarap secara ilmiah.
Continue reading...

Selasa, 05 Oktober 2010

The eruption of Mount Tambora in 1815 Terdahsyat World

The eruption of Mount Tambora in 1815 Terdahsyat World
By Efim
Friday, August 22, 2008 20:20:22 Clicks: 887 Print :



MATARAM - The eruption of Mount Tambora in the Regency , West Nusa Tenggara ( NTB ), which occurred in 1815 was the terdahsyat world , killing 92,000 people. " The eruption of Mount Tambora was occurred 10 - 11 April 1815 about 30 miles southeast Satonda , " kaka Dr . Chess Sugiyanto , MA from the Center for Public Policy Studies and University of Gajah Mada ( UGM ) in Yogyakarta in Mataram
Tambora VS Vesuvius
Taukah you about the explosion of Mount Vesuvius that occurred on 79 meters . ? . volcano eruption meneggelamkan a city that is in romawai called Pompeii serlama 1600 years . From the information I can from vcd harunyahya , there is said that the eruption was instantly killed people in the city of Pompeii , this is the proof of finding more bodies of people who eat at the dinner table with his family and many other evidence .
It turns out that not only has the Vesuvius eruptions, in Dompu has ever happened that a very powerful eruption of the mountain named Tambora .
In 1815 , Mount Tambora suffered the massive eruption , which generated thunderous sounds of the mountain until macassar , Batavia , Ternate and to Sumatra, a distance of more than 2,600 km from Tambora . earthquakes cause volcanic eruptions over approximately 7 SR .
As a result of the eruption of Tambora , among others Tsunami attacking large beach a few islands in Indonesia on 10 April, with a height of over 4 m in Aanggar at 10:00 tonight . 1-2 m -high Tsunami occurred in Besuki dikaoirjab , East Java before midnight and 2 m high tsunami occurred in Moluccas. High smoke eruption reached stratosphere, with a height of more than 43 km.[3] ash particles fell 1 to 2 weeks after the eruption , but there is ash particles , which stay in atmosphere earth for several months to several years at an altitude of 10-30 km. longitude wind particles spread around the globe , making the occurrence of the phenomenon . Colored sunsets and twilights were seen in London, England between the date June 28 and July 2 1815 and 3 September and October 7 1815. Gleam twilight sky appear orange or red near the horizon the sky pink and purple or above .
The explosion was also in the estimate to bury the small sultanate on the foot of the mountain.
The eruption of Mount Tambora eruption melampauhi very powerful distant Mount Vesuvius . If the harun yahya , Vesusius eruption said to be the doom of the Roman people behave so that bury people alive in the city Pomeii , so if in Dompu because what ????? What if more than orang2 behavior in Rome ... ... I think harun yahya must survey the Tambora , too.
Continue reading...

Minggu, 03 Oktober 2010

Bima As Identity

BIMA has given inner resources - to those who were born and had a drink of water this area - to face life with more success . Bima residents closer to the esoteric life even transcendent . Strong Islamic tradition become the driving engine in the Milky Way to be a tough , tenacious and have character . Name Bima , was assessed a number of people , have the legality with the Bima in the puppet . There is an assumption that the " character " stocky in the family is the founder of the Kingdom of the Milky Pandavas . Sensations such as these have evolved for centuries. Almost all the educated Milky always give an explanation that smells of myths about the process of establishment of Bima . As a result of prolonged misunderstanding about this area . Unfortunately again , we too see the Milky Way as a Hindu figure . We never see the Milky Way in the eyes of Islam as a person who has the perfection of life ( the Shari'a , the orders, the nature and makrifat ) . He never boasted. With a difficult position like that , when going to see self-identity , we too become giddy . In Javanese culture , the puppet is the one of their identities . So common that people love to identify themselves with Javanese figures certain puppet . Javanese people even more to name their children with puppet characters such as Bima , Permadi and Wibisana . For girls, the names of loved is Utari , Pertiwi and Lara . Bima instead of Javanese society . We can not immediately identify themselves with the figures of wayang . Bima culture is not close to the puppet world . Bima people do not even know anything about puppets . Name Bima dicantelkan only just in our society to be the name of this area but not as an identity . So how do we find our identity ? Bima really should not be seen physically because dita spiritual leaders . So in this discourse , the name is not a noun Bima (noun) but more accurately described as adjectives (adjective.) Similarly, the term " Malay " , in the words of historian Taufik Abdullah , also not a noun but an adjective , a concept of history. So is the image or picture Bima Bima man who has the main properties with the base value of creativity , work ethic , excellence to compete , to values such as respect for our common good of the process , appreciate and respect the elderly , male , open, resilient , honest even heroistik .
ISLAMIC CHARACTER . Bima people have a distinctive religious character . Dutch historian Dr . Peter Carey (1986) praised this area as an empire in Eastern Indonesia are famous because of his obedience to the Islamic religion . Praise is not excessive . Many leading scholars from Bima . Among Ashhab Al - Jawiyyin or our brother people Jawi - Arabic such sources - in Mecca around the 18th century , Sheikh Abdul Gani Bima has been a professor at the madrasa Haramayn . One of his students is KH . Asy'ary Hashim , the founder of Nahdlatul Ulama ( NU ) . Thus Islam is attached , partly because of the strong role of the empire , which make Islam the religion of the king and kingdom . All the elements of power utilized for the benefit of Islam . King example, by setting the rules for building Jami Masjid in each district . Funds from the state on the land either Dana Pajakai and Dana Ngaji. Sultan also appoint religious leaders in each district ie Lebe Na'e. Impressive , such as how to Sultan Muhammad Salahuddin . He is not just building a house of worship but increasing function of the mosque , mushalla , and the mosque became a place violated the Quran recitation for children and the assessment of religious knowledge for adults . As a result the mosque became the center of all social activity . Recognizing the importance of education , the sultan even send its best students to study overseas to Mecca and other Arab countries . They were given scholarships by the terms must be re- served for the Milky Way after a successful study. To officials , the sultan stressed to behave un-Islamic. He requires that officials have such major properties taqwallah ( taqwa to Allah ) , Sidiq ( telling the truth ) , amana ( honest ) , tablig ( deliver the message ) as well as smart . Another factor that makes Islam could become the leading ideology in this area is a Sufi pattern . Islam with this style is so compelling because it emphasizes the perfection of life sciences . People call it the Milky Old Ngaji. The emphasis is on the soul and the heart ( tarikat , The Nature and makhrifat ) and of course the Shari'a. The Sufi wanderer like Datu In Bandang and Di Tiro in the 17th century Sufi Islam is very meritorious stuck in Bima . Sufis this step that the Islamize Gowa - Makassar and Sulawesi kingdoms . Not surprisingly, then people Bima like Sulawesi to study religion while trading . There is the spiritual chains of Sulawesi because the practice Bima with Saman Order or Khalwatiyah very dominant there. That congregation that loved a lot of people Bima and underlying Old Ngaji or Inner Sciences . The student of knowledge and the origin of the Milky mukimin in Mecca also accelerate the growth of Islam this Sufic . On his return from Mecca , they become teachers who greatly admired even believed to have karomah . One of the sheik who had a mystical piety and is legendary among the people of Bima and Dompu is Sheikh Mahdali or Sehe Boe . As Islamic classes in Java , in Bima was there abangan and aristocratic , in addition to the students. In practice congregations - in certain people - teaching congregations that are blended with the tradition of magical- mystical to gain spiritual power or supernatural powers. In its development , especially after the dissolution of the empire, the traditional scholars gradually cease to exist. Bima was like experiencing an incredible sense of sleepiness . Islamic character slowly faded . This area is to be no different from elsewhere in Indonesia , decadent behavior began to emerge such as prostitution , alcohol , drugs and gambling . now the skyline of Islam in the Milky back glowing . As there is a glimmer of light on the horizon , so about the atmosphere when it emerged a new generation who is more pious . Call it H. Ramli Ahmad ( Caregiver Pondok Pesantren Al - Husainy ) , H. Zainul Arifin ( Caregiver Pondok Pesantren Al - Ikhwanuddin ) and KH . Abdul Haris , caregivers boarding school in Lela , Kota Bima . They are the generation of new Bima , which could be a moral tank , amid an atmosphere of spiritual drought now . We hope that the Islamic character of our region will be present with a more robust performance .
HUMAN BIMA . Badrul Munir original author praised the Bima Sumbawa was tenacious , resilient and has a strong spirit of togetherness . So he said, Bima do not need to have a real gold mine for local people with all the advantages that are the real gold mine . He is a tremendous resource , which is priceless. HL . Anggawa Nuraksi , a figure of say Lombok , Bima endurance people in difficult situations is second to none . Mamiq put forward a small example about his experiences send their children to Malang , East Java . Her children before migrated to the area people first " bully " parents, "Sir , just have to have the motor, must have pocket money so per month , must have a cell phone , should have a good bed . " And more "should be " other . When a time to Malang , Mamiq almost did not believe a group of students watched the beggar , consisting of four to five people in one room . They can live on just one meal a day . They live huddled in shabby room , no bedding except cement floor . Of course it does not have a dorm room furniture . Tragically again they only had one glove that is used interchangeably . If you smoke , just one cigarette , sipped alternately . Compliments as well as the fact the above is true , although not all of this . such resistance - like a parasite that can live in the rock - was born of a process. Islamic ideology which Is essentially inherent in Bima . That means the role of education [ of religion ] are very strong behind the positive attitudes like that. We know , religion teaches us to work hard , honest and simple life and do not lamented. And it becomes a fad people Bima earlier . The values that are instilled by generations of children and grandchildren . When LB . Moerdani became commander , in amazement, why some children Milky screwed in Jakarta ? A prominent Bima ( Mbojo ) , Aziz Parady , said , " That as a manifestation of their honest attitude . From the village were taught to be honest . a lot of lies all around him , they fight . " At first glance it looks stupid but attitude reflects the strength probadi such children . Tetntu role of public education is also very strong to give change . Netherlands, for example choosing a place to establish the Milky Holland Inlandsche School ( HIS ) in Raba in 1921 . At that time there were only similar schools in Bali and Flores . " Why did the Dutch choose Rabbah ? Of course they see the benefits of the Milky Way . " said Dr . Joseph Merukh , owners Newmont gold mine in West Sumbawa . Intervening 10 years later (1931) , Sultan Salahuddin Muhammad founded the Islamic School Darul MT , as well as in Rana . In line with the times , emerged a new generation of more casual and even softening . They are usually easily satisfied , do not appreciate the process (ncao kite) and likes to take shortcuts. Attitudes take this shortcut , such as cultural observers said Mochtar Lubis , a common disease of the Malays in particular Indonesia . Imagine a state institution that receives cadets each year , could be dominated by the Milky Way . Apparently the only people able to bribe the Milky up to Rp . 75 million even more , as long as you pass . Though the market payoff , initially approximately Rp . 30-40 million . , the Milky earlier success after passing through an extraordinary period concerned . Prof . Dr . Afan Gaffar , Harun al- Rashid , Prof . Dr . Gen. Farouk Muhammad , and others when their studies to Java or Jakarta , just stay in your home. They live with concern. They never complain . Finally they succeed . The secret is they work hard . You say John C. Maxwell , ' there is no magic solution to success . " Examples of success that we can also see the Milky traders in the era of the '70s such as H. Fadjar Saleh , H. Mubin Ibrahim , H. Yasin Hope and others. They started from zero , as traders even Palele. They continue to organize yourself , life is concerned and not wasteful . Eventually they became a successful merchant crops . New Bima fact that human beings are no longer tough does not even have fighting spirit great . To print a tough man Bima , Bima people have to return and hold on the Islamic tradition through education. Bima person must be proactive . old saying goes , " Noah did not wait for his ship to come , he woke up alone ship it . " Remember ! Successful culture of even the great civilizations in the world is always preceded by the excellence of Human Resources ( HR) of his .
TRACK HISTORY. " History of the Milky indirectly into the correct historical period . Field limited to the fairy tale and a great mixed traditions from different times and varied sources. " As soon as the Dutch historian said Zollinger . In the formulation of Bo , the region had passed one time led by the elders , the village chief who was given the title " Ncuhi " . This is the era prakerajaan . It is not clear right at this time because it covered a myth. Moreover, the grouping Ncuhi very smelly Java so that this version of the traditional power-sharing was said to have developed in the Milky Way , it seems very absurd. Whatever the past history is very vague but as the Milky Rouffaer words , from religious relics such as Shiva Wadu Pa'a ( stone carving ) , it is obvious that the Java people have come to the Milky Way since the founding of Majapahit . Bima kingdom established after the Ncuhi " agreed " to form a federation . Milky or Mbojo become the center of the kingdom. Thus was born the term Rasanae or the Great State . This area , originally led Ncuhi Dara . Opponents said Rasanae is Rasatoi Small or Home Affairs which is the name for the region outside the Milky Way or the countryside . There is an assumption , if referring to the old site Wadu Pa'a a Buddha - patterned Shiva , Bima kingdom founded in 709 AD. Its founders - supposedly historians - is the Bima . It is said Bima - around the 16th century - had become a prosperous kingdom . This is evident from the description of Portuguese traveler Tome Pires who called the Milky rich rice , fish and woven fabrics . This area is very strategic because it was in the trade routes of the archipelago. It was led by the King of Bima Manggampo Donggo . Portuguese heard the name of the Milky Way . They came to this country . It was led by King Sarise Bima . For the Kingdom of Gowa - Makassar , Portuguese presence will certainly bring a lot to bring obstacles. to the Gowa make friendship agreement with the Milky agreed to accept Islam and not trading with the Portuguese . In the XV century , the Milky become prominent kingdom . Tureli Nggampo Bilmana even expand the area with menaklukka Sumba Bima , Manggarai , Sabu , Ende , Larantuka and Komodo to Alor Islands . In areas that apply customary Bima kingdom . They are also required to submit a tribute in the form of goods or slaves. In this century, Islam arrived in Bima . Islam is the Bearer of Prapen Sunan Gresik . Zollonger conclude Islamic religion entered the Milky 1450 or 1540. But the religion of Islam became the king and kingdom in 1620 , after King La Kai who later changed its name to Abdul end of a claim to be Islamic . The Gowa - Makassar mubalig landed in Sape and founded the first mosque in Kalodu . In the King Ma Ntau Asi Sawo , Dutch merchant ship stranded in Bima . Contacts between the two pihakpun intertwined . Its end is the King of Bima friendship treaty with the Netherlands for not hostile to each other . That's the first treaty with foreign nations Bima kingdom . Soon the Portuguese arrived. Dutch and Portuguese and then clashed . After the incident following the VOC -flagged ships , led by Steven van de Hagnen in 1605 . 1624, Dutch expeditionary forces came under the leadership of Commander Roos . He served in the Kingdom under the pretext Bima Bima help the kingdom of Gowa against the Company . The Dutch managed to bind the Kingdom of the Milky with various agreements , such as Rotterdam Treaty I ( 1669 ) which was signed by Abdul Rahim Tureli Nggampo with Johan Laksaman Truitman . The contents of the agreement are willing to let go of the Milky alliance with the Kingdom of Gowa . The agreement continues to be updated in 1908 . With this agreement is in the grip of the Milky Netherlands . Pamungkas agreement was even included in the folder of the skin . So -called Letter of Leather . Its contents , the Kingdom of the Milky become part Dutch East Indies. Netherlands accidentally entered the manuscript in leather folder , as a sign that the Kingdom of the Milky live skin alone . people Suffering from imperialist actions , gave birth to the people's war ( 1908-1909 ) . One of the war waged by the people Dena raising war against the Dutch . In 1910 , Haji Abdurrahman Abu Sara et al against Dutch troops led Lieutenant Colonel GT King. Resistance can be broken . Dena has not been extinguished War , Donggo people also took up arms , led Gelarang Kala Ntehi . Kala leaders can ultimately be defeated through trickery by the Dutch . When it Tureli Donggo Viceroy Muhammad Salahuddin invite the leaders of Donggo join peace talks in the palace . But after sitting at the negotiating table , the Dutch laid siege to and capture the leader Donggo , Ntihu , Ngita and Jeru Ncahu . After the war people could be annihilated, the Dutch tax imposed belasting . Authority of the Sultan Ibrahim had been torn down. He died on December 16, 1915. Sultan Salahuddin Mohammed succeeded his father . Along with the emergence of national movements , in the Milky movement was born as well . In 1920 , political parties SI ( SI ) was founded in Bima . Following the 1937 Union of Prosecutors of Muhammadiyah and Sciences in 1938. To promote education also established Islamic Unity Bima ( PIB ) on November 3, 1938. 1939. Party branch Indonesia Raya ( Parindra ) is formed . On the initiative of Sultan M. Salahuddin , NU then formed in this area . Its chairman H. Usman Abidin . Following the events of the Supreme Commander of the Royal Dutch surrender in kalijati on March 9, 1943 , the pioneers of the movement in the Milky follow these events closely. They then prepare the Action Committee , an organization which prepares itself to seize power from the hands of Holland in Bima . The Committee is supported by 14 soldiers KNIL minded nationalist . Bima can break away from Dutch colonization on April 5, 1942. After over 103 years free from the grip of the Dutch East Indies , the Kingdom of the Milky again visited Japan . July 17, 1942, the Japanese Navy under the command of Saito landed in Bima . Since then , everything is in control of Japan ranging from education to household appliances. Only when Japan's request Comfort women, female entertainers, the king and the people of the Milky flatly refused . To avoid the local young woman fell to the Japanese , the Sultan ordered to Nika Baronta or Married rebel. After the Japanese destroyed the Allies in the Pacific War in 1944 , things began to change . End of August 1945, Japanese military leader Major -General Tanaka's eastern Sumbawa in touch hand over power to the Kingdom of Bima . Local governments are Parties to celebrate the Proclamation of the Kingdom of Bima Bima Palace on December 17, 1945 . NICA troops landed in Sumbawa Besar on January 1, 1946 . NICA then sent a telegram to the Sultan of Bima to receive NICA . Sultan and all the forces in society refuse NICA . Finally a company of soldiers landed in the Milky NICA January 12, 1946. Momentum is referred to as loss of independence Milky second stage . The idea of Dr . HJ . van Mook as Acting Supreme Kingdom of the Netherlands , formed the State of East Indonesia include Maluku , Sulawesi and Lesser Sunda Islands . Government in Sumbawa island run by the Council of Kings . Sultan of Bima become chairman . Bima kingdom had become separated wilayhnya Bima and Dompu . But the 12 September 1947 , the Kingdom of Dompu restored . Bima Dompu release , which includes 10 Kejenelian ( subdistrict ) . Under Law No. NIT . 44/1950 , the Kingdom of the Milky changed its status to a local unoccupied following the Milky Regional Representatives Council unoccupied Bima on October 2, 1950 . Since that's the end of the travel history of the Kingdom of the Milky for about 350 years . Head of Government is Muhammad Salahuddin Bima unoccupied . After he died at the age of 64 years on July 11, 1951 , the head of government was empty . In the period 1951 - 1955 , son of Abdul end of a head of government. Haji Muhammad in a row (1955-1958) ; Putra Abdul end of a (1958-1959) ; Junaidin Amir Hamzah (1959-1965) ; Abidin Ishak (1965-1968) ; Soeharmaji (1968-1974) ; M. Toehir (1974-1979) ; Haji Oemar Aaron (1979-1989) ; Abdul Halim Djafar (1989-1994) ; Adi Haryanto (1995-1999) ; H. Zainul Arifin (2000-2005) and Ferry Zulkarnaen (2006 - present ) .
( Quoted from The Muslim Hamzah in BIMA Encyclopedia , 2004)
Continue reading...

Jumat, 01 Oktober 2010

DILEMA PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL

Di satu sisi, pantai Toro Wamba kini tengah dikembangkan sebagai salah satu zona pariwisata Kabupaten Bima oleh salah seorang pengusaha. Pengembangannya kini dicemaskan dengan kehadiran pengembangan tambak kira-kira seluas 4 hektar. Di sisi yang lain, pengembangan tambak ini merupakan usaha pengembangan ekonomi lokal Kecamatan Sape Bagian Utara. Bila keuntungan ekonomi harus digapai, lalu kemanakah sisi humanis kita terhadap alam?
LUKISAN TUHAN ITU ADALAH TORO WAMBA
Toro Wamba, benih mutiara yang tersembunyi. Tidak banyak orang tahu akan keberadaannya. Lokasi ini merupakan salah satu dari sekian banyak panorama, buah karya Yang Maha Indah yang ada di ujung pulau Sumbawa. Lokasi ini menjadi alternatif pilihan bagi masyarakat untuk melakukan darmawisata. Selain itu keberadaannya juga sebagai tambang pengembangan ekonomi lokal yang dapat menghasilkan tambahan Pendapatan Asli daerah (PAD) secara tidak langsung.
Ketika musim kemarau mampir ke Wilayah Timur Indonesia, tampak jelas lokomotif kepulauan nusantara, yang memiliki sejuta keanekaragaman pantai dan panorama keindahan, gugusan mutiara di barisan Timur Samudra Hindia. Toro Wamba berada diantara rangkaian pegunungan dataran rendah, tepatnya ada diantara Dusun Lamere dengan Desa Poja. Desa lamere merupakan sebuah desa persiapan pemekaran berjarak sebelas kilometer ke arah utara Kecamatan Sape yang ditempuh melalui jalan berliku dan berkelok meliwati hamparan lahan kering yang dibiarkan terbakar matahari.
Untuk memasuki wilayah tersebut bisa ditempuh dengan menggunakan kendaraan roda dua dan roda empat sejauh 1.5 kilometer ke arah timur setelah melintasi jalan dari Kecamatan Sape menembus Kecamatan Wera Kabupaten Bima. Jangan kaget, saat memasuki areal tersebut, debu-debu meneriaki laju kendaraan dan pejalan kaki, seperti badai pasir berterbangan menyambut hangat tetamunya. Harus hati-hati saat melaju roda-roda, itu karena jalannya hanya cukup untuk satu badan kendaraan roda empat, sehingga ketika berpapasan, kitapun harus rela antri.
Saat memasuki areal Toro Wamba yang luasnya 2 hektar kita disambut deburan ombak dan hamparan pasir putih sepanjang 200 meter. Air laut yang jernih, pasir berkilau sebagai pengobat penat sepanjang perjalanan. Pantai yang luar biasa, bak benih mutiara, yang diimpikan para pemburu kemewahan. Sekali berpijak seribu keinginan untuk melangkah kembali menemui pesona alamnya. Sungguh Toro Wamba adalah magis yang bernuansa romantis, yang menghantui jiwa untuk tetap berada dan berlama-lama di pantai, hingga senja mengajak kita pulang bersamanya.
Tengok saja, sejauh mata memandang, sejauh hamparan pasir putihnya, kita bisa menikmati pemandangan hamparan gugusan bukit kecil yang berhadapan dengan selat dan pulau Gilibanta, seolah-olah bukit itu berkata nikmatilah anugrah sang pencipta. Jika mata lelah memandang, menyelam adalah pilihan yang tepat. Kita bisa menikmati karang biru yang beraneka warna dan berbagai macam ikan hias. Toro Wamba benar-benar lukisan Tuhan tentang keindahan.
KECEMASAN TORO WAMBA
Pengembangan ekonomi lokal wilayah pesisir pantai belum banyak dilirik oleh Pemerintah Daerah. Padahal pengembangan wilayah pesisir merupakan salah satu alternatif bagi pengembangan ekonomi daerah yang dapat menambah pendapatan masyarakat setempat dan meningkatkan pemasukan bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Kabupaten Bima misalnya, daerah yang ada di ujung pulau Sumbawa ini memiliki ragam kekhasan wilayah pantai berpasir putih yang indah. Sebut saja misalnya, Pantai Wane - Monta, Pantai Rontu – Langgudu, Pulau Ular – Wera, Pasir Putih –Langgudu, dan Pantai Toro Wamba – Sape.
Toro Wamba diantara sekian pantai yang ada memiliki keunikan tersendiri, seperti pasir putih yang panjang, air laut yang jernih, keindahan panorama laut dengan ragam jenis ikan dan batuan karang laut yang biru, dihadapannya terdapat bukit kecil yang menjadi daya tarik tersendiri untuk memikat siapa saja yang lewat.
Di satu sisi, pantai Toro Wamba kini tengah dikembangkan sebagai salah satu zona pariwisata Kabupaten Bima oleh salah seorang pengusaha. Pengembangannya kini dicemaskan dengan kehadiran pengembangan tambak kira-kira seluas 4 hektar. Di sisi yang lain, pengembangan tambak ini merupakan usaha pengembangan ekonomi lokal Kecamatan Sape Bagian Utara.
Kenyataan ini menjadi sangat dilematis bagi pengusaha pengelola pantai Toro Wamba. Ia mencemaskan biota laut yang merupakan salah satu kekhasan pantai Toro wamba akan terancam oleh limbah dan membunuh biota laut sekitar pantai. Jika pengembangan ini benar-benar terjadi, maka usaha pengembangan pantai Toro wamba yang sudah dilaksanakan beberapa tahun ini akan menemui jalan buntu. Ini berarti kegagalan bagi pengembangan ekonomi lokal. Pertanyaaannya, bagaimana jadinya kalau lokasi wisata pantai Toro Wamba berada diantara gugusan usaha pengembangan tambak di sekitar bibir pantai?
Malam belum larut, rasa kantuk belum bisa diajak mendendangkan mimpi, bulir-bulir cahaya rembulan menyusup sukma penjaga malam. Terbayang masa depan pantai, akan kemana bermuara tatkala pelancong enggan lagi menikmati pagi dan senja karena lautnya makin cemas.
Dingin membungkus sepagi itu, tak larut dalam genggaman malam. Hati masih risau, benih mutiara hanya sunggingkan riak ombak menyapa tetamunya. Mentaripun masih mencari sandarannya di bahu bungalow. Sia-siakah perumpamaan yang dibangun dalam bingkai pesona panorama laut ? Entahlah, hanya hamparan pasir putih dan bukit yang mengitarinya yang dapat menjawabnya, memberikan kerisauan bagi karang biru yang mencumbui mahluk disekitarnya, dan ikan – ikan hias yang merana.
HARUSNYA PEMERINTAH MEMILIH TORO WAMBA
Belum lama usia pengembangan Toro Wamba sebagai zona pariwisata yang menjanjian, tiba-tiba hamparan pasirnya tak lagi merestui pelabuhan jiwa untuk tetap bersemedi dipelataran pasir putihnya yang indah. Sebab, tak lama lagi disebelah barat persis lokasi wisata tersebut akan dikembangkan usaha tambak seluas 8 hektar milik salah seorang pengusaha. Bahkan pengerjaannya sekarang telah digali berpetak – petak.
Bukan suatu kesalahan akan adanya pengembangan tambak di pinggir pantai seperti sekarang dan yang pernah ada sebelum itu dimanapun tempatnya. Tetapi, haruskah keindahan itu menjadi mubajir dan hambar bahkan tiada arti, tatkala hasil pembuangan dan sisa-sisa limbahnya bakal mencemari pantai Toro Wamba dan sekitarnya. Biota laut yang memiliki kekhasan harus rela berganti warna dan mengungsi ke tempat yang lebih aman dari polusi air. Atau mereka akan menjadi tumbal yang tiada artinya, sebab mereka adalah mahluk yang tak pernah paham bahasa manusia. Inilah ketakutan yang sesungguhnya dikemudian hari yang perlu dipikirkan
Disatu sisi pengembangan tambak memang sangat menguntungkan baik bagi pengusaha sendiri, pemerintah daerah dan masyarakat itupun jika dilibatkan dalam pengelolaannya sebagai tenaga kerja. Namun, kerusakan lingkungan tidak dapat dibayar dengan uang milyar sekalipun. Sebab, Sang Maha Pencipta hanya menciptakan sekali saja keindahan tersebut, tidak dua kali. Karena itu pemerintah perlu melakukan Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) terhadap pengembangan tambak. Perlu diingat, dibeberapa tempat pengerukan tambak, hanya menyisakan tanah-tanah mati.
Salah seorang yang kami ajak wawancara di lokasi wisata Toro Wamba mengatakan, sepintas kehadiran pengembangan tambak sangat baik dan menguntungkan. Selain, membuka peluang kerja bernilai ekonomi. Namun, limbah sisa buangan dari tambak itu nantinya menyebabkan pencemaran terhadap air laut. Padahal daya tarik di pantai Toro Wamba adalah air laut yang sangat jernih, jauh dari polusi limbah, dan terkenal sangat bersih. Terumbu karangnya membiru mata batin menghipnotis hingga lelah pun tak terpatri ketika kita berada di dekatnya.
Lebih lanjut dikatakannya, dijadikan pantai Toro Wamba sebagai daerah tujuan wisata sangat berdampak positif terhadap kelestarian terumbu karang. “…Makanya, orang-orang senang kesini. Bahkan sejak dibukanya lokasi tersebut untuk tempat wisata, perburuan dan pengeboman ikan sudah tidak ada lagi…”. Ini berarti, satu kali mendayung dua tiga pulau terlampaui. Ada dampak secara ekologis yang diperoleh dari pengembangan pantai Toro Wamba sebagai daerah tujuan wisata.
Senada dengan itu, pengunjung yang lain mengatakan kalau seandainya pantai yang indah ini dengan panorama pasir putih dan terumbu karangnya tercemar limbah pembuangan tambak, maka sangat disayangkan. Apalagi, tempat ini kini sudah mulai tertata rapi. ”…Sekarang saja sudah terlihat kerusakan pantai, akibat pengerukan pasir di sekitar lokasi itu, apalagi jika nantinya tambak-tambak sudah beroperasi. Ini sungguh disayangkan, harusnya pemerintah dapat mengkaji akibat yang ditimbulkannya ketimbang mencari solusi ketika semuanya terlanjur terjadi…”
Hal lain yang juga menjadi sorotannya, para nelayan tidak lagi leluasa melaut, asa dan keinginan mendapatkan hasil tangkapan yang bisa mencukupi kebutuhan keluarga sirna sudah. Sebab, biota-biota disekitarnyapun tak rela melabuhkan anggannya mendekati pantai. Inipun menjadi sebuah pilihan di antara kecemasan yang bakal membumi. Pertanyaannya kemana para nelayan itu bertepi merajut asa?
Karang-karang biru penyaksi tak mampu membendung, butir-butir pasir bisu diterpa ombak, bertanya kemanakah nantinya deru ombak, hamparan karang biru dan buritan pasir putih? Ranting pohon asam menggerutu tebarkan kecutnya hawa siang, dan puluhan pohon asam tumbang dibuldoser pemangsa. Tak peduli tanah ini milik siapa, tak peduli siapa kawan siapa saudara. Matahari sematkan sombong di pundak bukit yang gersang.
Kelak panomanyanya menduka ketika akan menebarkan aroma kekhasannya. Bukannya wangi air laut yang dirasa, tetapi bangkai-bangkai biota laut yang ingin merasakan hidup terapung dalam cemas. Desahan sepoi angin tidak lagi sesegar kemarinnya, satu persatu bungalow akan ditinggalkan penghuninya. Sementara sang pujangga masih bersayir bersama kecemasannya, sebab ajal mendekati senja.
Meski cemas terus memburu, waktu masih tersisa walau sekedar untuk berdamai dengan keinginan., sejalan dengan keihlasan semua pihak duduk bersama demi pengembangan ekonomi lokal yang dapat mensejahterakan masyarakat . Ayo, mumpung matahari belum tertidur, dan pasir putihnya masih angkuh, dan terumbu karang masih sombong dengan warna – warninya yang indah.
Continue reading...

Kisah kehidupan dalam Sepotong Bambu

Pada zaman dahulu hiduplah sepasang suami istri setia bernama Ompu La Mpoa dan Wa’I La Mpoa. Mereka hidup bahagia meskipun tidak dikaruniai anak keturunan. Mereka tinggal di sebuah gubuk di tengah kebun yang sangat luas di pinggir pantai Malola sebelah selatan Dompu.
Setiap hari, Ompu La Mpoa bekerja di kebunnya dari pagi hingga petang. Beragam jenis umbi-umbian, sayur-sayuran dan buah-buahan di tanam di kebun itu. Ada pula yang tumbuh secara alami seperti pohon mangga, jambu dan pohon asam. Sedangkan Wa’I La Mpoa tetap setia menemani sang suami menyuguhkan makanan dan minuman dikala melepas lelah dari bekerja. Jika mereka ingin makan ikan laut, maka tiap pagi keduanya menyiapkan kail dan jala untuk menangkap ikan.
Pada suatu malam ketika Ompu La Mpoa sedang duduk santai di balai-balai depan gubuknya, tiba-tiba ia mendengar bunyi gendang, gong serta serunai di pinggir laut itu. Ompu La Mpoa memanggil Wai’I La Mpoa yang sedang membakar Ubi.
“ Wa’I ……. Wa’I datanglah kemari ! “
“ Ada Apa Ompu ? ” Wa’I La Mpoa lari terbirit- birit.
“ Coba kau dengar, bunyi apakah gerangan yang sangat ramai di pinggir laut itu ?”
Wa’I La Mpoa mencoba mendengar secara seksama.
“ Barangkali ada orang yang berlayar di tengah laut yang memukul gendang dan gong itu, atau ada perahu yang akan berlabuh.”
“ Jika memang betul, besok kita lihat.”
Keesokan harinya Ompu La Mpoa keluar dari kebunnya menuju tepi pantai untuk melihat apa betul ada perahu yang berlabuh di sana. Akan tetapi ia tidak melihat sesuatu apapun. Ompu La Mpoa semakin heran dan bingung. Ia bertanya-tanya dalam hatinya. Bunyi apakah tadi malam itu ? Apakah yang akan terjadi ? Atau apakah orang-orang yang ramai semalam sudah kembali ? Pertanyaan demi pertanyaan terus hadir dalam benaknya. Perasaan takut dan cemas terus menerawang.
Bunyi gendang dan gong itu hanya terdengar pada malam hari. Dan berlangsung selama beberapa malam berturut-turut. Bunyian itu mengganggu pikiran keduanya. Mereka ingin tahu apa gerangan yang sebenarnya terjadi. Setiap malam diintai dan diamati, namun tiada satupun yang tampak. Bunyi-bunyian itu semakin riuh bertalu-talu dan tetap terdengar. Keanehan itu tetap menjadi tanda tanya keduanya. Apakah bunyi itu dilakukan oleh manusia atau mahluk lain ?
Ompu dan Wa’I La Mpoa menghimpun keberanian untuk datang ke tempat itu sekali lagi. Tiada satupun yang tampak. Sedangkan bunyian itu semakin jauh kedengarannya. Namun mereka tetap tabah menunggu di tepi pantai dengan harapan mungkin akan ada sesuatu yang akan muncul.
Maka beberapa saat lamanya Ompu dan wa’I La Mpoa duduk di pinggir pantai itu, tidak juga terlihat apa-apa melainkan hanya sepotong bambu yang terdampar di pinggir pantai itu. Ompu dan wa’i La Mpoa tidak dapat menahan rasa kantuk. Wa'i La Mpoa mengajak Ompu La Mpoa untuk pulang, namun mata Ompu La Mpoa selalu tertuju kepada sepotong bambu itu. Lalu ia berkata kepada istrinya. " Tunggulah aku sebentar ." " Ompu mau kemana ?" Tanya Wa’I La Mpoa cemas. " Aku akan mengambil bambu itu untuk bahan perkakas gubuk kita."
Bambu yang terdampar itu dibawa pulang dan diletakan begitu saja di pekarangan. Ompu dan Wa’I La Mpoa tertidur untuk melepaskan kelelahan dan kekesalan. Bunyi-bunyian aneh selama beberapa malam sebelumnya telah menyita waktu dan perhatian sehingga pekerjaan sehari-hari terbengkalai. Dan kini sudah tidak terdengar lagi seiring dengan terdamparnya bambu itu.
Pada suatu pagi yang cerah, ketika Ompu La Mpoa pulang dari pantai, Ia sangat lapar dan lelah. Disuruhnya Wa’I La Mpoa untuk mengambil beberapa potong Ubi untuk dibakar. Di kala Ubi akan dibakar, sepotongpun kayu bakar tidak ada. Yang ada hanyalah sepotong bambu yang dipungut dari pantai. Karena kebutuhan akan kayu bakar, terpaksa bambu yang sedianya untuk bahan perkakas gubuk dijadikan kayu bakar. Ompu La Mpoa mengambil parang untuk memotong bambu itu, namun sebuah keanehan terjadi. Sebelum parangnya tertambat pada bambu itu, tiba-tiba terdengar suara dari dalam.
“ Hai Ompu Jangan potong bambu ini. Kami ada di sini. Dan kami akan keluar sendiri.”
Ompu La Mpoa kaget. Bulu kuduknya merinding. Wajahnya pucat pasi. Lalu ia memanggil Wa’I La Mpoa. Dan dengan langkah tergopoh-gopoh Wa’I La Mpoa menghampiri suaminya.
Belum habis keheranannya akan bunyian aneh itu, kini suami istri itu dikejutkan lagi oleh suara gaib dari dalam bambu itu. Dalam keadaan keheranan bercampur takut, bambu itu pecah. Dan keluarlah dua orang pemuda yang sangat baik parasnya dengan membawa dua buah gendang, satu gong dan satu serunai bersama perlengkapannya.
“Wahai anak muda, Tuan hamba manusia, peri atau jin ?”
“ Anda berdua siapa dan darimana ?” Wa’I La Mpoa menyambung.
“ Kami adalah putera Sang Bima. Kami datang kemari dititahkan oleh Ayahanda. Nama saya Indra Zamrud dan inilah adik saya yang bernama Indra Komala. Kami datang hendak bertemu dengan Bapak kami Ncuhi Parewa dan Ncuhi Dara yang menjadi wakil Raja di sini.”.
“ Jika tuan tidak keberatan, sudilah kiranya tuan menginap dulu di gubuk kami sebelum menemui Ncuhi Parewa dan Ncuhi Dara.” Wa’I La Mpoa menawarkan mereka untuk menginap.
“ Dengan senang hati kami menerima tawaran Ompu dan Wa’i.” Indra Komala menerima ajakan itu.
Beberapa hari kemudian Ompu La Mpoa pergi ke tampat Ncuhi Parewa yang tidak jauh letaknya dari tempat itu. Kepergian Ompu La Mpoa tentunya tidak lain adalah untuk melaporkan tentang kedatangan putera Sang Bima.
“ Mohon maaf tuan, hamba datang untuk melaporkan kedatangan dua orang putera sang Bima yang bernama Indra Zamrut dan Indra Komala.”
“ Dimana mereka sekarang ? ” Ncuhi Parewa penasaran.
“ Untuk sementara mereka menginap di gubuk kami.”
“ Baiklah ! Saya akan menjemput mereka.”
Tak lama kemudian, bergegaslah Ncuhi Parewa, para pengawal dan seluruh rakyat menjemput Indra Zamrut dan Indra Komala. Setibanya di kebun Ompu La Mpoa, Ncuhi Parewa memberi hormat kepada kedua putra Sang Bima itu. Mereka saling berpelukan. Tak lupa pula Ncuhi Parewa menanyakan tentang keadaan Sang Bima.
Ncuhi Parewa mengajak mereka untuk menginap di tempatnya sebelum menemui Ncuhi Dara. Ajakan itu diterima pula oleh Indra Zamrut dan Indra Komala. Dengan penuh suka cita mereka berjalan beriringan mendaki bukit dan menuruni lembah, bahkan menyeberangi sungai. Ikut pula dalam rombongan itu Ompu dan Wa’I La Mpoa bersama gendang, gong dan serunai beserta seluruh perlengkapannya.
Dengan penuh ketabahan serta kasih sayang Ncuhi Parewa membina dan mendidik Indra Zamrut dan Indra Komala untuk beberapa bulan lamanya. Hal itu ditujukan untuk mempersiapkan keduanya yang akan menjadi pemimpin Dana Mbojo kelak. Kegiatan sehari-hari mereka adalah berladang dan berhuma. Setiap empat belas hari bulan mereka diajak menuju teluk Bima untuk memancing. Dan sekaligus melihat-lihat keadaan negeri dimana Ncuhi Dara melaksanakan pemerintahan. Jalur yang kerap mereka lalui adalah dari kediaman Ncuhi Parewa, berjalan turun lembah Samili, terus melalui daratan yang berada di Talabiu, kemudian mendaki gunung Londa dan selanjutnya turun di Lawata.
Setelah persiapan dianggap selesai dan cukup, Ncuhi Parewa melaporkan kedatangan kedua putera Sang Bima itu. Berita disebarluaskan ke seluruh negeri. Ncuhi padolo, Ncuhi Dorowuni dan Ncuhi Banggapupa dikumpulkan di istana. Akhirnya semua Ncuhi setuju. Mereka sepakat untuk mengangkat Indra Zamrut untuk menjadi raja. Dari Mbojo sepakat menjemput Indra Zamrut dan Indra Komala di Gunung Parewa Monta.
“ Hai Bapak Ncuhi Dara, kedatanganmu ini apakah kehendakmu dan niatmu ?” Secara bersama-sama Indra Zamrut dan Indra Komala bertanya kepada Ncuhi Dara.
“ Ya tuanku syah alam, kedatangan hamba tidak lain adalah untuk menyerahkan diri kepada Sri Paduka tuan berdua. Dan Hamba sekalian telah bersepakat dan semufakat dalam mempersembahkan dan mempersilahkan Sri Paduka Tuanku berdua untuk pergi ke Istana.”
Mendengar jawaban Ncuhi Dara yang bertindak atas nama Dari Mbojo, hilanglah keraguan antara keduanya. Mereka yakin bahwa Dari Mbojo dan seluruh rakyat tetap berpegang teguh pada ikrarnya dulu di hadapan Sang Bima. Dari Mbojo tidak menghianati amanat.
Indra Zamrut dan Indra Komala bergegas berangkat ke Bima diiringi para Dari Mbojo dan seluruh rakyat. Rombongan berangkat pada malam hari. Ncuhi Dorowuni diperintahkan untuk berangkat mendahului, agar mempunyai kesempatan mengadakan persiapan penyambutan bersama rakyat di depan istana Ncuhi Dara.
Setibanya di istana Ncuhi Dara, rombongan disambut dengan suka cita oleh seluruh rakyat. Ncuhi Dorowuni dalam kedudukannya selaku Bicara Mbojo(Perdana Menteri) menyerahkan seperangkat tempat sirih pinang( TA UA) kepada Indra Zamrut dan Indra Komala. Penyerahan TA UA adalah upacara simbolik penyerahan kembali kekuasaan sebagai lambang keramahan dan ketulusan hati. Sejak penyerahan itu, kekuasaan perwalian yang diemban Ncuhi Dara dikembalikan kepada putera Sang Bima. Dan keselamatan Indra Zamrut dan Indra Komala menjadi tanggung jawab Ncuhi Dara, Ncuhi Dorowuni dan Dari Mbojo.
Indra Zamrut menyerahkan sebilah keris berhulu besi dan satu azimat yang menjadi tanda dan mengukuhkan sumpah masing-masing turunan selama-lamanya. Lalu Indra Zamrut mengangkat Ompu La Mpoa menjadi DARI GENDA (Orang yang mengurus dan ahli di bidang Gendang dan alat musik tradisional) dan menetap di istana sebagai ungkapan terima kasih dan balas jasa kepada suami istri yang telah menolongnya.
Continue reading...

Selasa, 14 September 2010

Sejarah Kerajaan Bima

Sejarah Bima

Kabupaten Bima berdiri pada tanggal 5 Juli 1640 M, ketika Sultan Abdul Kahir dinobatkan sebagai Sultan Bima I yang menjalankan Pemerintahan berdasarkan Syariat Islam. Peristiwa ini kemudian ditetapkan sebagai Hari Jadi Bima yang diperingati setiap tahun. Bukti-bukti sejarah kepurbakalaan yang ditemukan di Kabupaten Bima seperti Wadu Pa’a, Wadu Nocu, Wadu Tunti (batu bertulis) di dusun Padende Kecamatan Donggo menunjukkan bahwa daerah ini sudah lama dihuni manusia. Dalam sejarah kebudayaan penduduk Indonesia terbagi atas bangsa Melayu Purba dan bangsa Melayu baru. Demikian pula halnya dengan penduduk yang mendiami Daerah Kabupaten Bima, mereka yang menyebut dirinya Dou Mbojo, Dou Donggo yang mendiami kawasan pesisir pantai. Disamping penduduk asli, juga terdapat penduduk pendatang yang berasal dari Sulawesi Selatan, Jawa, Madura, Kalimantan, Nusa Tenggara Timur dan Maluku.

Kerajaan Bima dahulu terpecah –pecah dalam kelompok-kelompok kecil yang masing-masing dipimpin oleh Ncuhi. Ada lima Ncuhi yang menguasai lima wilayah yaitu :
1. Ncuhi Dara, memegang kekuasaan wilayah Bima Tengah

2. Ncuhi Parewa, memegang kekuasaan wilayah Bima Selatan

3. Ncuhi Padolo, memegang kekuasaan wilayah Bima Barat

4. Ncuhi Banggapupa, memegang kekuasaan wilayah Bima Utara

5. Ncuhi Dorowani, memegang kekuasaan wilayah Bima Timur.


Kelima Ncuhi ini hidup berdampingan secara damai, saling hormat menghormati dan selalu mengadakan musyawarah mufakat bila ada sesuatu yang menyangkut Profil Kabupaten Bima tahun 2008 2 kepentingan bersama. Dari kelima Ncuhi tersebut, yang bertindak selaku pemimpin dari Ncuhi lainnya adalah Ncuhi Dara. Pada masa-masa berikutnya, para Ncuhi ini dipersatukan oleh seorang utusan yang berasal dari Jawa. Menurut legenda yang dipercaya secara turun temurun oleh masyarakat Bima. Cikal bakal Kerajaan Bima adalah Maharaja Pandu Dewata yang mempunyai 5 orang putra yaitu :

1. Darmawangsa

2. Sang Bima

3. Sang Arjuna

4. Sang Kula

5. Sang Dewa.


Salah seorang dari lima bersaudara ini yakni Sang Bima berlayar ke arah timur dan mendarat disebuah pulau kecil disebelah utara Kecamatan Sanggar yang bernama Satonda. Sang Bima inilah yang mempersatukan kelima Ncuhi dalam satu kerajaan yakni Kerajaan Bima, dan Sang Bima sebagai raja pertama bergelar Sangaji. Sejak saat itulah Bima menjadi sebuah kerajaan yang berdasarkan Hadat, dan saat itu pulalah Hadat Kerajaan Bima ditetapkan berlaku bagi seluruh rakyat tanpa kecuali. Hadat ini berlaku terus menerus dan mengalami perubahan pada masa pemerintahan raja Ma Wa’a Bilmana. Setelah menanamkan sendi-sendi dasar pemerintahan berdasarkan Hadat, Sang Bima meninggalkan Kerajaan Bima menuju timur, tahta kerajaan selanjutnya diserahkan kepada Ncuhi Dara hingga putra Sang Bima yang bernama Indra Zamrud sebagai pewaris tahta datang kembali ke Bima pada abad XIV/ XV.



Beberapa perubahan Pemerintahan yang semula berdasarkan Hadat ketika pemerintahan Raja Ma Wa’a Bilmana adalah :
- Istilah Tureli Nggampo diganti dengan istilah Raja Bicara.
- Tahta Kerajaan yang seharusnya diduduki oleh garis lurus keturunan raja sempat diduduki oleh yang bukan garis lurus keturunan raja.

Perubahan yang melanggar Hadat ini terjadi dengan diangkatnya adik kandung Raja Ma Wa’a Bilmana yaitu Manggampo Donggo yang menjabat Raja Bicara untuk menduduki tahta kerajaan. Pada saat pengukuhan Manggampo Donggo sebagai raja dilakukan dengan sumpah bahwa keturunannya tetap sebagai Raja sementara keturunan Raja Ma Wa’a Bilmana sebagai Raja Bicara. Kebijaksanaan ini dilakukan Raja Ma Wa’a Bilmana karena keadaan rakyat pada saat itu sangat memprihatinkan, kemiskinan merajalela, perampokan dimana-mana sehingga rakyat sangat menderita. Keadaan yang memprihatinkan ini hanya bisa di atasi oleh Raja Bicara. Akan tetapi karena berbagai kekacauan tersebut tidak mampu juga diatasi oleh Manggampo Donggo akhirnya tahta kerajaan kembali di ambil alih oleh Raja Ma Wa’a Bilmana. Kira-kira pada awal abad ke XVI Kerajaan Bima mendapat pengaruh Islam dengan raja pertamanya Sultan Abdul Kahir yang penobatannya tanggal 5 Juli tahun 1640 M. Pada masa ini susunan dan penyelenggaraan pemerintahan disesuaikan dengan tata pemerintahan Kerajaan Goa yang memberi pengaruh besar terhadap masuknya Agama Islam di Bima. Gelar Ncuhi diganti menjadi Galarang (Kepala Desa). Struktur Pemerintahan diganti berdasarkan Majelis Hadat yang terdiri atas unsur Hadat, unsur Sara dan Majelis Hukum yang mengemban tugas pelaksanaan hukum Islam. Dalam penyelenggaraan pemerintahan ini Sultan dibantu Oleh : 1. Majelis Tureli ( Dewan Menteri ) yang terdiri dari Tureli Bolo, Woha, Belo, Sakuru, Parado dan Tureli Donggo yang dipimpin oleh Tureli Nggampo/ Raja Bicara. 2. Majelis Hadat yang dikepalai oleh Kepala Hadat yang bergelar Bumi Lumah Rasa NaE dibantu oleh Bumi Lumah Bolo. Majelis Hadat ini beranggotakan 12 orang dan merupakan wakil rakyat yang menggantikan hak Ncuhi untuk mengangkat/ melantik atau memberhentikan Sultan. 3. Majelis Agama dikepalai oleh seorang Qadhi ( Imam Kerajaan ) yang beranggotakan 4 orang Khotib Pusat yang dibantu oleh 17 orang Lebe Na’E.
Seiring dengan perjalanan waktu, Kabupaten Bima juga mengalami perkembangan kearah yang lebih maju. Dengan adanya kewenangan otonomi yang luas dan bertanggungjawab yang diberikan oleh pemerintah pusat dalam bingkai otonomi daerah sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang (UU) No. 22 tahun 1999 dan direvisi menjadi UU No. 33 tahun 2004, Kabuapten Bima telah memanfaatakan kewenangan itu dengan Profil Kabupaten Bima tahun 2008 3 terus menggali potensi-potensi daerah baik potensi sumberdaya manusia maupun sumberdaya alam agar dapat dimanfaatkan secara optimal untuk mempercepat pertumbuhan daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.


Untuk memenuhi tuntutan dan meningkatkan pelayanan pada masyarakat, Kabupaten Bima telah mengalami beberapa kali pemekaran wilayah mulai tingkat dusun, desa, kecamatan, dan bahkan dimekarkan menjadi Kota Bima pada tahun 2001. Hal ini dilakukan tidak hanya untuk memenuhi semakin meningkatkan tuntutan untuk mendekatkan pelayanan pada masyarakat yang terus berkembang dari tahun ke tahun tetapi juga karena adanya daya dukung wilayah. Sejarah telah mencatat bahwa Kabuapten Bima sebelum otonomi daerah hanya terdiri dari 10 kecamatan, kemudian setelah otonomi daerah kecamatan sebagai pusat ibukota Kabupaten Bima dimekarkan menjadi Kota Bima, dan Kabupaten Bima memekarkan beberapa wilayah kecamatannya menjadi 14 kecamatan dan pada tahun 2006 dimekarkan lagi menjadi 18 kecamatan dengan pusat ibukota kabupaten Bima yang baru dipusatkan di Kecamatan Woha. (Bappeda Kab. Bima)
Continue reading...

DIMENSI KEARIFAN LOKAL DALAM SÊRAT BIMA SUCI

(Akulturasi Harmonis Ajaran Islam dengan Budaya Jawa)

Saya kutip dari : Purwadi

Abstract

One of the literatures that fill ethics and mysticism is Sêrat Bima Suci. It was created by Yasadipura I in the

earlier period of Surakarta. Historically Sêrat Bima Suci, is still related with Sêrat Nawaruci that was

created by Empu Siwamurti in the end period of Majapahit Kingdom. Sêrat Bima Suci is a literature that

,has acculturation between Javaism, Hinduism and Islamism. The harmony of relation between God, human

.and nature become focal of Sêrat Bima Suci

Salah satu literatur kuno yang masih dijadikan sebagai rujukan dan dianggap

mempunyai nilai mistik adalah Sêrat Bima Suci. Naskah buku ini ditulis oleh Yasadipura I

pada pertengahan kerajaan Surakarta. Sejarah munculnya Sêrat Bima Suci ini juga masih

sangat terkait dengan Sêrat Nawaruci yang ditulis oleh Empu Siwamurti di akhir kerajaan

Majapahit. Sêrat Bima Suci ini merupakan salah satu teks kuno yang mempunyai akulturasi

budaya antara budaya Jawa dan budaya Islam. Oleh karenannya, hubungan harmonis antara

.Tuhan, manusia, dan alam terasa sangat erat dalam Sêrat Bima Suci ini

ﺃﺣﺪ ﺍﻟﻨﺼﻮﺹ ﺍﻷﺩﺑﻴﺔ ﺍﻟﱵ ﲤﻸ ﺍﳋﻠﻔﻲ

....

ﺳﲑﺍﺕ ﺑﻴﻤﺎ ﺳﻮﺟﻲ

.

ﻟﻘﺪ ﻛﺘﺒﻪ ﻳﺴﺎﺩﻓﺮﺍ ﺍﻷﻭﻝ ﰲ

ﺃﻭﺍﺋﻞ ﻋﺼﺮ ﺳﻮﺭﻛﺮﺗﺎ

.

ﻣﻦ ﺟﻬﺔ ﺍﻟﺘﺎﺭﳜﻴﺔ، ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻨﺺ ﻳﺘﻌﻠﻖ ﺑﺴﲑﺍﺕ ﻧﻮﺍﺭﲡﻲ ﺍﻟﺬﻱ ﻛﺘﺒﻪ ﺃﻣﻔﻮ

ﺳﻴﻮﺍﻣﺮﰐ ﰲ ﺃﻭﺍﺧﺮ ﻋﺼﺮ ﳑﻠﻜﺔ ﳎﺎﻓﻨﻴﺖ

.

ﺳﲑﺍﺕ ﺑﻴﻤﺎﺳﻮﲡﻲ ﻧﺺ ﺗﺒﺎﻝ ﺑﲔ ﺍﳉﻮﺍﻭﻳ



ﻭﺍﳍﻨﺪﻭﻛﻴﺔ ﻭﺍﻹﺳﻼﻡ ﺛﻘﺎﻓﺔ

.

ﺗﻼﺋﻢ ﺍﻟﻌﻼﻗﺔ ﺑﲔ ﺍﻹﳍﻴﺔ ﻭﺍﻹﻧﺴﺎﻧﻴﺔ ﻭﺍﻟﻌﺎﱂ ﻳﻜﻮﻥ ﺑﺆﺭﺓ ﺳﲑﺍﺕ

ﺑﻴﻤﺎﺳﻮﲡﻲ

.

.Abstrak di atas dikutip dari Jurnal Studi Agama MILLAH Vo. V, No. 1, Agustus 2005

Jurnal Studi Agama MILLAH adalah Jurnal yang diterbitkan oleh Magister Studi Islam

Program Pascasarjana Universitas Islam Indonesia (MSI PPs UII). Jurnal ini

.Terakreditasi A
Continue reading...

Nika Baronta (Kisah Cinta Zaman Jepang )

Sebuah Novel Sejarah Perjuangan Masyarakat Bima Pada Masa Pendudukan Jepang
Penerbit : Genta Press Yogyakarta tahun 2007
Cerita ini juga termasuk kategori cerita sejarah, karena cerita ini banyak terilhami oleh kejadian-kejadian dalam buku-buku sejarah Bima antara tahun 1942 sampai 1945. Masa itu adalah masa yang sangat menegangkan. Karena proses peralihan kekuasaan dari tangan Pemerintah Hindia Belanda kepada Bala Tentara Jepang berlangsung sangat cepat setelah jepang berhasil menguasai Jawa. Kejadian demi kejadian sangat cepat merambat ke Bima hingga proses itu pun dimanfaatkan oleh elemen pejuang pergerakan kemerdekaan untuk membentuk kesatuan Aksi perebutan kekuasaan.
Namun kekosongan keuasaan itu tidak berlangsung lama. Bendera kesultanan Bima hanya berkibar beberapa hari saja. Jepang pun menginjakkan kaki di Bumi Maja Labo Dahu ini. Semula rakyat sangat menaruh harapan besar kepada Dai Nipon yang mengaku dirinya sebagai SAUDARA TUA bagi rakyat Asia Timur Raya termasuk Bima. Namun ibarat pepatah” Keluar dari mulut Harimau masuk ke Mulut Buaya.”. Penjajah tetap saja penjajah. Dan sifat itu tidak ada bedanya. Hanya penampilan saja yang memebedakan.Buaya tetap saja buaya. Harimau tetap saja harimau.
Penindasan Jepang jauh lebih mengenaskan daripada Belanda. Kerja paksa teramat berat dilakukan rakyat. Demikian pula dalam dunia pendidikan. Dan puncak kemarahan Sultan dan rakyat Bima terjadi ketika Bala Tentara Jepang ingin menjadikan para Gadis Bima sebagai Jugun Ianfu(Wanita Penghibur) untuk memuaskan nafasu tentara Dai Nippon. Hal itu ditolak oleh sultan dan rakyat. Untuk mengelabui dan mengantisipasi pengambilan paksa oleh Jepang, maka rakyat Bima menyusun siasat yang dinamakan dengan “NIKAH BARONTA( Kawin Berontak).”
Continue reading...

Letak dan Lingkungan Kota Dan Kabupaten Bima

Istana Bima yang disebut Asi Mbojo merupakan salah satu tinggalan arkeologi yang awalnya merupakan tempat tinggal Raja-raja Bima. Dalam perkembanganya Istana ini pernah beberapa kali berubah fungsi antara lain : sebagai barak tentara, kantor ruang kerja dan terakhir (saat ini) sebagai Museum Asi Mbojo yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan benda-benda peninggalan kerajaan Bima.
Sebagai mana layaknya sebuah bangunan istana, Istana Bima terletak di pusat pemerintahan Kasultanan Bima, yaitu di Kota Bima yang kita kenal sekarang.
Kota Bima terletak di kabupaten Bima merupakan salah satu daerah otonomi di propinsi Nusa Tenggara Barat, terletak di ujung timur pulau Sumbawa tepatnya pada posisi 0-477,50 M diatas permukaan laut dan berada pada 117 ‘ 40’ sampai 119’ 10 Bujur timur dan 70’30 Lintang selatan. Dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :
Sebelah utara : Laut Flores
Sebelah selatan : Samudra Indonesia
Sebelah Timur : Selat Sape
Sebelah Barat : Kabupaten Dompu
Luas wilayah kabupaten Bima adalah 4.596,90 Km2 atau 22.5% dari total luas Propinsi NTB. Secara administratif Kabupaten Bima terdiri dari 16 Kecamatan dan terdapat satu kota Administratif yakni kotif Bima.Semula hanya ada 10 Kecamatan, namun pada Tahun 2000 enam kecamatan mengalami pemekaran yang telah didefinitifkan Tahun 2001. Secara umum topografi kabupaten Bima berbukit-bukit setiap wilayahnya mempunyai topografi yang cukup berpariasai dari datar hingga bergunung-gunung.
Kabupaten Bima beriklim tropis dengan musim hujan yang relatif pendek yakni dari bulan desember sampai dengan maret. Sedangkan berdasarkan data kependudukan jumlah penduduk di akhir tahun 2008 adalah 509,951 jiwa.
Sebagai kota yang pernah menjadi ibukota sebuah negara (Bima), dan kini dikembangkan sebagai kota terbesar di Kabupaten Bima, sarana transportasi dan komunikasi dengan dunia luar sangat memadai. Kita dapat berkunjung ke Bima melalui jalan darat, laut, ataupun dengan pesawat udara. Disamping pelabuhan laut yang berjarak hanya sekitar satu kilometer dari komplek Istana Bima, di Bima juga terdapat sebuah Bandar udara yang dapat didarati pesawat F 27.
Latar Sejarah
Sejarah keberadaan sebuah istana terkait erat dengan keberadaan dari kerajaan itu sendiri. Dalam hal ini sejarah kerajaan Bima, khususnya masa awal berdirinya kerajaan Bima, masih diselimuti kabut misteri karena diantara sumber-sumber yang ada masih berbau cerita legenda. Bukti-bukti sejarah kepurbakalaan yang ditemukan di kabupaten Bima seperti Wadu Paa dan Wadu Noco, Wadu Tunti (batu bertulis) di dusun Padende Kecamatan Dongo menunjukan bahwa daerah ini sudah lama dihuni manusia.
Menurut legenda nama Bima diambil dari nama tokoh “ Sang Bima “, seorang bangsawan dari Jawa yang berhasil mempersatukan kerajaan-kerajaan kecil di daerah ini menjadi satu kerajaan, yaitu kerajaan Bima.
Sang Bima kawin dengan seorang putri yang cantik jelita, bernama Tasi Naring Naga. Dari perkawinanya itu lahir Indra Jambrud dan Indra Kumala, yang kelak menjadi cikal bakal dan menurunkan raja-raja Bima dan Dompu. Braam Morris menyebutkan bahwa tidak kurang dari 49 raja yang pernah memerintah di Bima, sedangkan Maharaja (“Sang”) Bima ditempatkan pada urutan ke sebelas.
Kronik Bima (naskah “ Bo” kerajaan Bima) mencatat bahwa pada masa pemerintahan Sariese, raja Bima yang ke- 36, terjadilah kontak pertama dengan orang-orang Eropa (mungkin Portugis). Sedangkan raja ke- 37, raja Sawo adalah raja terakhir yang belum menganut agama Islam. Ia digantikan oleh anaknya, bernama Abdul Kahar, sebagai raja ke- 38, raja pertama dari dinasti Kasultanan Bima yang memeluk agama Islam dan bergelar Sultan.
Tentang kapan masuknya ajaran agama Islam di Bima diperoleh imformasi yang beragam. Naskah “Bo” kerajaan Bima menyebutkan bahwa ketika raja Bima dalam tahun 1015 H (= 1616 M) pergi ke Gowa untuk kawin dengan putri raja Gowa, ia kemudian bergelar Sultan Abdul Kahir atau Kahar, yang mungkin sekali adalah Sultan yang oleh Zollinger disebut Abdul Galir.
Abdul Kahir menjadi Sultan Bima sejak tahun 1630, sampai dengan 1640, sedangkan Braam Morris mengatakan sejak 1640, tanpa menyebutkan tahun berakhirnya. Ia dikenal sebagai peletak dasar agama Islam di Bima dan menjadikan kerajaan Bima sebagai kerajaan Islam. Di dalam sejarah daerah Bima maupun dalam catatan lontar Gowa, ia dikenal dan sering disejajarkan dengan Sultan Alaudin dan Sultan Malikul Said dari kerajaan Gowa dan Tallo, baik dalam hal penyebaran agama Islam maupun dalam perebutan pengaruh terhadap Belanda yang ingin menguasai perdagangan di Indonesia bagian timur pada waktu itu. Setelah beliau wafat pada tahun 1640, digantikan oleh puteranya, yaitu Sultan Abdul Khair Sirajuddin.
Masih menurut catatan “ Bo” kerajaan Bima, ketika istri Sultan Abdul Kahir melahirkan puteranya yang pertama, Sultan Abdul Kahir mendatangi Bicara/Bumi Renda La Mbila Manuru Suntu untuk meminta nama dari puteranya yang baru lahir. Oleh Rumata Menuru Suntu diberikan nama La Mbila, sebagai peringatan bagi Rumata Tureli Nggampo Ma Kapiri Solor yang telah mengatur adat dan pemerintahan sehingga menjadi dasar yang kokoh bagi tata cara pemerintahan kerajaan Bima pada waktu itu. Kemudian, La Mbila mendapat pula nama secara Islam, yaitu Abdul Khair Sirajuddin sehinga nama lengkapnya menjadi La Mbila Abdul Khair Sirajuddin. Sayang sekali hingga kini belum ditemukan catatan yang menjelaskan kapan Abdul Khair dilahirkan.
Sejak kecil Abdul Khair sangat besar perhatianya terhadap kesenian, terutama seni tari. Bahkan, menurut riwayat, ia adalah seorang seniman.
Ketika ayahandanya, Sultan Abdul Kahar meninggal dunia, Abdul Khair baru menginjak usia dewasa, sehingga ia terpaksa memangku jabatan sebagai Sultan dalam usia muda.
Dalam lontara Gowa disebutkan bahwa Sultan Abdul Khair kawin di Makasar pada tahun 1646 dengan puteri Raja Gowa Malikul Said yang bernama Karaeng Bonto Jene, setelah beberapa tahun menjadi Sultan. Dari perkawinan ini lahir seorang putra yang kelak menjadi Sultan Bima III (Sultan Nuriddin), dan tiga anak perempuan lainya.
Pada masa pemerintahan Sultan Abdul Khair Sirajuddin tercatat beberapa peristiwa penting bagi kerajaan Bima, diantaranya :
1. Penyesuaian hukum adat dengan hukum islam sehinga pemerintahan kerajaan Bima berjalan sebagaimana lazimnya kerajaan islam.
2. Penyesuain bentuk majelis kerajaan dengan memasukan unsur-unsur agam Islam
3. Memperluas penyiaran agama Islam dengan mewajibkan pelaksanaan “syariat” Islam Dan memberikan kedudukan tersendiri bagi mubaligh-mubaligh.
4. Memerintahkan penyempurnaan Kitab catatan Kerajaan dengan membuat “BO” yang tertulis di atas kertas dengan hurup arab berbahasa melayu.
5. Melindungi dan mengembangkan kesenian dan memerintahkan untuk mempertunjukan kesenian terbaik di Istana Kerajaan pada waktu perayaan di istana, seperti peringatan Maulud Nabi Muhamadan S.A.W. yang disebut “ sirih puan”.
6. Menetapkan hari-hari besar kerajaan yang diperingati secara adat pada setiap tahunya. Oleh majelis kerajaan, hari-hari besar itu disebut Rawi Sara Ma Tolu Kali Sa Mbaa, yaitu :
a. Peringatan Maulud Nabi Muhammad s.a.w tanggal 12 Rabi’ulawal 1030 Hijrah. Upacara ini lebih dikenal dengan nama Upacara Sirih-puan, atau Ua-pua.
b. Hari Raya Idul Fitri.
c. Hari Raya Idul Adha.
Sebagai sekutu kerajaan Gowa, Sultan Abdul Khair selalu bahu membahu dengan iparnya, yaitu I Mallombasi Daeng Mattawang atau yang lebih dikenal dengan nama Sultan Hasanuddin dari Gowa dalam menentang Belanda.
Sultan Abdul Khair memerintah daerah yang cukup luas dan strategis bagi pelayaran perdagangan, seperti: Sumba, Flores Barat dan pulau-pulau di antara Flores dan Sumba. Oleh karena itu pula di dalam Perjanjian Bongaya yang ditandatangani pada hari jumat tanggal 18 Nopember 1667, tiga pasal diantaranya menyangkut kerajaan Bima. Walaupun perjanjian itu dengan terpaksa telah ditandatangani oleh Sultan Hasanuddin Dan raja-raja lainya, Karaeng Bontomarannu, Sultan Bima, Raja Tallo Sultan Harun Al Rasyid, dan Karaeng Lengkoso tetap belum mau menandatangani perjanjian Bongaya pada tanggal 9 dan 31 Maret 1668. Sedangkan kerajaan Bima baru menyerah kepada Belanda pada tanggal 8 Desember 1669 dengan suatu perjanjian yang ditandatangani di Jakarta oleh Jeneli Monta Abdul Wahid dan Jeneli Parado La Ibu atas nama Sultan Bima. Meskipun secara resmi kerajaan Bima telah menyerah, namun dalam prakteknya pemerintah kerajaan sepenuhnya berjalan menurut kebijakan Sultan Abdul Khair. Kekuasan Belanda hanya tampak dalam urusan perdagangan, yang dikendalikan seorang kuasa usaha, yang dikenal sebagai Khojah Ibrahim.
Sultan Abdul Khair wafat pada tanggal 17 Rajab 1093 H, bertepatan dengan tanggal 22 Juli 1682 M, dimakamkan di Makam Tolobali. Setelah beliau wafat, digelari Rumata Maatau Uma Jati, artinya Raja yang memiliki rumah jati, karena semasa hidupnya pernah mendirikan sebuah Istana yang keseluruhanya terbuat dari kayu jati, dengan corak konstruksi khas Bima. Bangunan Istana itu kini telah tiada.
Sultan Abdul Khair digantikan oleh putranya, Sultan Naruddin, tetapi masa pemerintahanya tidak begitu lama hanya berlangsung sekitar lima tahun, sehinga tidak banyak peristiwa penting yang terjadi selama masa pemerintahanya. Sultan Naruddin diangkat menjadi sultan pada tahun 1682.
Dalam masa pemerintahanya, Sultan Naruddin menyempurnakan jabatan-jabatan keagamaan Kerajaan Bima, yaitu dengan diadakanya jabatan-jabatan Qadli, Lebe, Khatib, dan sebagainya. Bahkan di istana diangkat pejabat-pejabat khusus yang mengurusi masalah-masalah keagamaan yang kedudukanya setingkat dengan mufti. Salah seorang diantaranya yang terkenal ialah Syah Umar Al Bantami yang menjadi mufti di istana kerajaan dan sebagai guru agama bagi putra-putri Sultan. Sultan Naruddin wafat pada tahun 1687, jenasahnya dimakamkan di Makam Tolobali, berdampingan dengan makam ayahndanya.
Sepeninggal Sultan Nuruddin, yang diangkat sebagai pengganti beliau ialah putera sulungnya, bergelar Sultan Jamaluddin, sebagai Sultan Bima ke 4 (1687- ?). Pada tahun 1688, Sultan Jamaluddin kawin dengan puteri bangsawan Gowa, bernama Karaeng Tanata. dari perkawinanya itu lahir empat anak laki-laki, seorang diantaranya bernama Hasanuddin Muhamad Syah, yang kelak menjadi Sultan Bima ke 5.
Sejak kecil Sultan Jamaluddin mendapat didikan Syeh Umar Al Bantami. Dari Syah Umar inilah ia mendapatkan cerita-cerita tentang kepahlawanan raja-raja banten, raja-raja Malaka, dan kepahlawanan Islam. Kisah-kisah itu berpengaruh besar terhadap pertumbuhan dan pembentukan kepribadianya yang anti penjajahan. Setelah menjadi sultan, ia menampakan ketegasan sikapnya tidak mau dicampuri oleh Belanda dalam urusan pemerintahan. Hal semacam ini sudah tentu tidak disenangi oleh Belanda.
Ketika terjadi pembunuhan atas diri permaisuri Sultan Dompu (bibi sultan jamaluddin) secara kebetulan Sultan Jamaluddin tengah berkunjung di sana. Belanda mengunakan kesempatan itu dengan sebaik-baiknya untuk menjebaknya. Atas pengaduan Sultan Dompu. Belanda memanggil Sultan Jamaluddin ke Makasar, kemudian ditahan. Dari Makasar dibawa ke Batavia dan di tahan disana sampai beliau wafat. Mengenai kapan Sulatan Jamaluddin wafat belum diketahui dengan pasti, hanya didalam catatan Belanda disebutkan bahwa Sultan Jamaluddin wafat di Batavia dan dikuburkan di Tajung Priok. Pada tahun 1701 Belanda mendirikan benteng dan loji di Bima dan menempatkan petugasnya, bergelar Koopman dan Onderkoopman. Setelah itulah baru diketahui bahwa Sultan Jamaluddin telah wafat. Pada waktu itu kerajaan Bima diperintahkan oleh Raja Muda, yang didampingi oleh Wazir Abdul Somad Ompo La Muni. Tiga tahun kemudian barulah tulang belulang kerangka jenasah Sultan Jamaluddin dipindahkan ke Bima dan dikuburkan di Makam Tolobali, disamping makam Syeh Umar Al Bantami yang telah mendahuluinya (1695).
Demikianlah sekilas tentang Kesultanan Bima, dari masa awal terbentuknya Kasultanan Bima (Sultan Bima I) sampai dengan Sultan Bima IV. Nama dan ketokohan keempat Sultan Bima ini cukup populer di kalangan masyarakat Bima.
Adapun, nama-nama tokoh yang dikenal sebagai Sultan Bima sepeninggal Sultan Jamaluddin ialah :

1. Sultan Bima IV, Sultan Hasanuddin Muhammad Syah, wafat tahun 1731
2. Sultan Bima V, Kamala (BUMI Partiga) atau Sultan I’Lauddin wafat tahun 1753
3. Sultan Bima VI, Abdul Kadim Sri Nawa (1751-1765)
4. Sultan Bima VII, Abdul Hamid (1792)
5. Sultan Bima VIII, Ismail (1819-1850)
6. Sultan Bima IX, Abdullah (1851-1868)
7. Sultan Bima X, Abdu Azis (1868- ?)
8. Sultan Bima XI, Ibrahim (1881-1916)
9. Sultan Bima XII, Muhamad Salahuddin (1916- ?) sebagian Sultan Bima yang terakhir.

Istana atau Asi dalam bahasa Bima mulai dikenal oleh masyarakat Bima pada sekitar abad ke 11 Masehi. Menurut mitos setempat Raja Bima pertama, Indra Zamrud membangun Istana Kaca. Begitu Sultan Abdul Hamid Membangun Asi Saninu (Istana Kaca), selanjutnya Sultan Ismail membangun Asi Mpasa (Istana Lama) pada tahun 1820 M. Asi Ntoi dibangun diera pemerintahan raja-raja dan Sultan-sultan Bima yang bisa disaksikan sampai sekarang yaitu istana-istana Asi Mbojo dan Asi Bou yang terletak berdampingan.
Asi Bou (Istana Baru) semula merupakan bangunan darurat untuk tempat tinggal sementara Sultan Muhammad Salahuddin dan keluarganya selama Asi Mbojo dalam pembangunan.
Bangunan Istana Bima yang kita saksikan sekarang ini ialah sebuah bangunan bergaya Eropa, dibangun pada tahun 1927-1929. Istana ini dibangun setelah Istana yang lama rusak. Bangunan Istana yang lama dibangun pada abad ke-19, juga bergaya Eropa (gaya Portugis), Ukuranya jauh lebih kecil dibanding istana yang ada sekarang. Perancang Asi Mbojo adalah Re hatta arsitek kelahiran Ambon yang diundang dan ditugaskan oleh pemerintah Kolonial Belanda untuk membangun Istana di maksud di bantu oleh Bumi Jero Istana, Istana ini rampung dikerjakan dan diresmikan menjadi istana kerajaan Bima tahun 1929.
Asi Bou (Istana Baru) semula merupakan bangunan darurat untuk tempat tinggal sementara Sultan Muhammad Salahuddin dan keluarganya selama Asi Mbojo dalam pembangunan.
Benda Cagar Budaya (BCB)
Benda Cagar Budaya (BCB) yang ada di Istana Bima terdiri dari BCB tidak bergerak dan BCB bergerak
a. Benda Cagar Budaya Tidak Bergerak
BCB tidak bergerak yang terdapat di Istana Bima antara lain :
- Istana Bima berupa bangunan eksotik bergaya Eropa mulai dibangun tahun 1927, dikerjakan dalam waktu tiga tahunrampung dan diresmikan menjadi istana Kerajaan Bima tahun 1929. Istana tersebut berupa bangunan permanen berlantai dua yang merupakan paduan arsitektur asli Bima dan Belanda. Pembangunanya dilakukan secara gotong royong oleh masyarakat ditambah pembiayaan anggaran belanja kesultanan. Istana dengan sendirinya menjadi bangunan paling indah dan megah pada masa kesultanan.Luas halamanya 500 meter persegi. Kala itu seputar Istana tumbuh pohon-pohon rindang dan taman bunga yang indah. Bangunan Istana diapit oleh dua pintu gerbang yang berada di bagian timur dan barat. Konsepsi tata letak bangunan istana tidak jauh berbeda dengan Istana lain di Tanah Air.
- Didepan Istana terdapat tanah lapang atau alun-alun berbentuk segi empat mendekati bujur sangkar namanya Serasuba. Di sinilah raja tampil secara terbuka di depan rakyat di saat-saat tertentu, misalnya waktu kesultanan menyelenggarakan upacara-upacara penting atau perayaan hari besar keagamaan lainya. Serasuba juga menjadi arena latihan pasukan kesultanan.
- Di sebelah selatan alun-alun terdapat sebuah bangunan masjid, kesultanan yang megah dibangun pada masa pemerintahan Sultan Abdul Hamid tahun 1872 Masehi, sebagai sarana kegiatan ritual keagamaan Islam. Kini Masjid itu bernama Masjid Sultan M. Salahuddin.
Alun-alun di satu sisi bersebelahan dengan bangunan Mesjid, dan sisi lain menyatu dengan halaman istana. Jelas menyiratkan bahwa ke 3 unsur bangunan tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh. Untuk memberi kesan sebagai bangunan monumental, istana bisa dipandang dari empat penjuru mata angina menggunakan konsepsi filosofi sebuah istana yang di dalamnya menyiratkan kesatuan unsur antara pemerintahan, agama dan rakyat (masyarakat).
- Pintu gerbang sebelah barat bernama Lare-Lare merupakan pintu resmi kesultanan yaitu tempat masuknya sultan, para pejabat kesultanan dan tamu-tamu sultan. Lare-Lare berbentuk Mesjid tiga tingkat. Tingkat atas (loteng) merupakan tempat untuk menyimpan tambur Rasanae dan dua buah lonceng. Tambur Rasanae dibunyikan sebagai tanda pemberitahuan adanya upacara kebesaran, sedangakan kedua lonceng dibunyikan untuk pemberitahuan tanda bahaya dan waktu.
- Pintu gerbang sebelah timur disebut Lawa Kala atau Lawa Se merupakan pintu masuk bagi anggota sara hukum dan ulama. Pintu masuk bagi anggota keluarga Raja berada di belakang Asi Bou, bernama Lawa Weki.
- Di depan Asi Mbojo bagian barat terdapat tiang bendera setinggi 50 meter yang disebut Kasi Pahu, terbuat dari kayu jati yang berasal dari Tololali. Tiang bendera tersebut dibangun oleh Sultan Abdullah untuk memperingati hari pembubaran angkatan laut kesultanan. Sultan Abdullah terpaksa membubarkan angkatan lautnya karena tidak mau memenuhi keinginan penjajah Belanda yang memaksa angkatan laut kesultanan Bima untuk menyerang pejuang-pejuang Gowa Makasar dan Bugis. Tiang Kasi Pahu sempat roboh karena lapuk. Tahun 2003 dibangun kembali atas inisiatif Hj S. Maryam Salahuddin.namun bahanya bukan jati karena jati di sana tidak ada lagi.
- Asi Bou, demikian orang Bima menyebut istana kayu ini. Asi Bou berarti istan baru. Dalam bahasa Bima, asi artinya istana dan bou artinya baru. Tidak banyak orang yang tau istana ini. Bangunan ini terkesan tertutup, karenanya Asi Bou penuh misteri. Asi Bou berdampingan dengan Istana Bima. Persisnya disebelah timur istana. Dia seperti mengawal bangunan disebelahnya. Istana ini sebenarnya hanya tempat tinggal keluarga kerajaan. Dia tidak digunakan sebagai pusat penyelenggaraan pemerintahan. Sebagian besar bangunan Asi Bou terbuat dari kayu. Itu sebabnya disebut istana kayu. Konstruksinya seperti rumah panggung Bima. Sesuai namanya, Asi Bou dibangun belakangan, di masa pemerintahan Sultan Ibrahim (1881-1916).
- Sumur tua istana terletak di sudut Barat daya halaman istana merupakan sumber air untuk memenuhi kebutuhan air istana
Benda cagar budaya (BCB) bergerak
BCB bergerak yang ada di lingkungan Istana Bima terdiri dari 2 (dua) komponen yaitu : BCB yang berada di halaman Istana dan BCB yang tersimpan di dalam Istana, dengan rincian sebagai berikut :
BCB yang berada di halaman Istana
Koleksi yang berada di halaman istana terdiri dari 7 buah meriam bahan perungu. Masing-masing meriam berukuran (panjang, lebar dan garis tengah) laras sebagai berikut :
1. Meriam berukuran panjang 152 cm dan garis tengah laras 20 cm
2. Meriam berukuran panjang 143 cm dan garis tengah laras 12 cm
3. Meriam berukuran panjang 164 cm dan garis tengah laras 21 cm
4. Meriem berukuran panjang 136 cm dan garis tengah laras 19 cm pada sisinya tertulis angka 1815 M
5. Meriam berukuran panjang 163 cm dan garis tengah laras 22 cm
6. Meriam berukuran panjang 121 dan garis tengah laras 16 cm
7. Meriam berukuran panjang 147 dan garis tengah laras 11 cm
Disamping Meriam kuno terdapat juga sebuah arca berupa Fragmen dari arca Nandi (lembu nandi), yang bagian kepalanya dalam keadaan patah. Arca ini berukuran panjang 75 cm dan lebarnya 53 cm, terbuat dari bahan batu andesit. Memperhatikan bentuknya diperkirakan kekunan ini dibuat pada abad ke 11 Masehi.
BCB yang tersimpan di dalam ruang Istana
Benda cagar budaya yang yang ada di dalam ruang Istana dimanfaatkan sebagai koleksi Museum Asi Mbojo Bima yang seluruhnya merupakan bekas koleksi Istana kesultanan Bima. Benda-benda tersebut masih berfungsi sebagai sarana kelengkapan dalam prosesi upacara kesultanan. BCB tersebut terdiri dari beberapa jenis yaitu : Senjata, Wadah (talam),jenis tempat air, serta koleksi yang diperoleh dari Negara Eropa pada masa penjajahan Belanda di Indonesia. Koleksi yang cukup penting dalam kaitan sebagai benda purbakala terdapat dalam dua buah ruangan, yakni berada diruangan bagian utara dan ditengah.
Adapun rincianya adalah sebagai berikut :
1. Keris
Koleksi keris kerajaan Bima yang dipajang di Museum Asi Mbojo berjumlah 20 buah masing-masing dengan nama dan fungsi sebagai berikut ;
- Keris yang disebut dengan istilah Tata Rupa adalah jenis peninggalan yang pada umumnya digunakan sebagai pusaka jabatan para raja muda kesultanan Bima. Pada bagian sisi (luar) sarung keris berlapis emas.
- Keris sebagai simbul kelengkapan pakaian upacara pejabat kesultanan Bima. Jumlah keris ini sebanyak 6 buah pada bagian sarung dan pegangannya berlapis emas.
- Keris tanpa sarung
Keris ini difungsikan sebagai sarana pembunuh dalam memutuskan hukuman mati pada zaman kesultanan Bima, jumlah keris ini 1 buah.
- Keris yang digunakan oleh pejabat tinggi kerajaan 3 buah
- Keris bumi Renda
Keris yang biasa digunakan oleh panglima kesultanan Bima. Keris ini berjumlah 3 buah sarungnya ini berlapis emas
- Keris
Sebuah keris yang biasa digunakan pejabat kesultanan Bima yang disebut Jeneli yang setara dengan jabatan camat pada jaman kesultanan Bima
- Keris
Keris dengan hiasan hulu berbentuk raksasa Niwata kawaca yang diperoleh dari jawa timur
2. Talam
Jenis talam yang dipajang dalam bahasa daerah Bima disebut “ tari, “ kampu”, dan “sampai”, “kampu”. Koleksi ini berfungsi sebagai tempat bunga dalam rangkaian prosesi upacara adat di Istana Sultan Bima, bahannya terbuat dari emas.
3. Tempat lilin
Berfungsi sebagai sarana penerangan dalam rangkaian upacara adat di Istana Sultan Bima terbuat dari bahan Emas.
4. Cerek
Berfungsi sebagai wadah air minum, bahannya terbuat dari perak.
5. Wadah pencuci tangan
Koleksi ini disebut dengan Ngamo ( wacarima ). Difungsikan sebagai wadah pencuci tangan ketika upacara pesta di Istana Sultan Bima, bahannya dari emas
6. Tempat sirih dan tempat pinang
Koleksi ini menurut bahasa Bima disebut Selapa dengan bahan emas.
7. Tempat pembuangan ludah
Koleksi ini terbuat dari bahan semacam kuningan.
8. Tongkat dan cambuk kuda
Koleksi ini merupakan peninggalan tongkat kebesaran Sultan Bima pada
jaman dahulu.
9. Pedang sebagai senjata pimpinan pasukan kesultanan Bima
Menurut bahasa daerah Bima jenis pedang ini disebut dengan istilah
“Sondi”, bagian sarung pedang berlapis emas berjumlah 1 buah.
10. Pedang
Berjumlah 3 buah yang biasanya digunakan oleh petugas kesultanan Bima yang bertugas di Reo (Flores barat)
11.Golok
Senjata jenis ini digunakan sebagai kelengkapan tanda jabatan kesultanan Bima yang bertugas di daerah Reo (Flores Barat)
12. Pedang (1 buah)
Digunakan oleh perwira kesultanan Bima
13. Rantai Kendali Kuda Sultan
14. Payung dan Tombak Kesultanan
Payung jenis ini difungsikan sebagai payung pelantikan Sultan, pada saat upacara penobatan Sultan Bima
15.Sebuah Genderang (tambur) kesultanan Bima
Tambur ini telah digunakan pada masa pemerintahan Sultan Abdul Khahir Sirajuddin, pada tahun 1640-1682 M.
16. Alat Upacara Kematian
Terdiri dari, cerek (cere), kain pembungkus mayat dan batu nisan
17. Lonceng
Bahan perunggu, Lonceng ini diperoleh dari negeri Belanda. Pada bagian sisinya memuat angka tahun pembuatan, yakni 1735 Masehi. Pada jaman pemerintahan kesultanan difungsikan sebagai pertanda waktu
18. Senapan (senjata)
Jenis senjata api yang dibuat tahun 1640-1682 M berasal dari Portugis
Continue reading...
 

Friends

url=http://www.buxp.info/advertise.php?ar=mbozoranevaku][img]http://buxp.net/images/b2.gif[/img][/url]

Followers

Enter a long URL to make tiny:

Fave This

MBOZO RANEVA Copyright © 2009 Not Magazine 4 Column is Designed by Ipietoon Sponsored by Dezigntuts