Pada zaman dahulu hiduplah sepasang suami istri setia bernama Ompu La Mpoa dan Wa’I La Mpoa. Mereka hidup bahagia meskipun tidak dikaruniai anak keturunan. Mereka tinggal di sebuah gubuk di tengah kebun yang sangat luas di pinggir pantai Malola sebelah selatan Dompu.
Setiap hari, Ompu La Mpoa bekerja di kebunnya dari pagi hingga petang. Beragam jenis umbi-umbian, sayur-sayuran dan buah-buahan di tanam di kebun itu. Ada pula yang tumbuh secara alami seperti pohon mangga, jambu dan pohon asam. Sedangkan Wa’I La Mpoa tetap setia menemani sang suami menyuguhkan makanan dan minuman dikala melepas lelah dari bekerja. Jika mereka ingin makan ikan laut, maka tiap pagi keduanya menyiapkan kail dan jala untuk menangkap ikan.
Pada suatu malam ketika Ompu La Mpoa sedang duduk santai di balai-balai depan gubuknya, tiba-tiba ia mendengar bunyi gendang, gong serta serunai di pinggir laut itu. Ompu La Mpoa memanggil Wai’I La Mpoa yang sedang membakar Ubi.
“ Wa’I ……. Wa’I datanglah kemari ! “
“ Ada Apa Ompu ? ” Wa’I La Mpoa lari terbirit- birit.
“ Coba kau dengar, bunyi apakah gerangan yang sangat ramai di pinggir laut itu ?”
Wa’I La Mpoa mencoba mendengar secara seksama.
“ Barangkali ada orang yang berlayar di tengah laut yang memukul gendang dan gong itu, atau ada perahu yang akan berlabuh.”
“ Jika memang betul, besok kita lihat.”
Keesokan harinya Ompu La Mpoa keluar dari kebunnya menuju tepi pantai untuk melihat apa betul ada perahu yang berlabuh di sana. Akan tetapi ia tidak melihat sesuatu apapun. Ompu La Mpoa semakin heran dan bingung. Ia bertanya-tanya dalam hatinya. Bunyi apakah tadi malam itu ? Apakah yang akan terjadi ? Atau apakah orang-orang yang ramai semalam sudah kembali ? Pertanyaan demi pertanyaan terus hadir dalam benaknya. Perasaan takut dan cemas terus menerawang.
Bunyi gendang dan gong itu hanya terdengar pada malam hari. Dan berlangsung selama beberapa malam berturut-turut. Bunyian itu mengganggu pikiran keduanya. Mereka ingin tahu apa gerangan yang sebenarnya terjadi. Setiap malam diintai dan diamati, namun tiada satupun yang tampak. Bunyi-bunyian itu semakin riuh bertalu-talu dan tetap terdengar. Keanehan itu tetap menjadi tanda tanya keduanya. Apakah bunyi itu dilakukan oleh manusia atau mahluk lain ?
Ompu dan Wa’I La Mpoa menghimpun keberanian untuk datang ke tempat itu sekali lagi. Tiada satupun yang tampak. Sedangkan bunyian itu semakin jauh kedengarannya. Namun mereka tetap tabah menunggu di tepi pantai dengan harapan mungkin akan ada sesuatu yang akan muncul.
Maka beberapa saat lamanya Ompu dan wa’I La Mpoa duduk di pinggir pantai itu, tidak juga terlihat apa-apa melainkan hanya sepotong bambu yang terdampar di pinggir pantai itu. Ompu dan wa’i La Mpoa tidak dapat menahan rasa kantuk. Wa'i La Mpoa mengajak Ompu La Mpoa untuk pulang, namun mata Ompu La Mpoa selalu tertuju kepada sepotong bambu itu. Lalu ia berkata kepada istrinya. " Tunggulah aku sebentar ." " Ompu mau kemana ?" Tanya Wa’I La Mpoa cemas. " Aku akan mengambil bambu itu untuk bahan perkakas gubuk kita."
Bambu yang terdampar itu dibawa pulang dan diletakan begitu saja di pekarangan. Ompu dan Wa’I La Mpoa tertidur untuk melepaskan kelelahan dan kekesalan. Bunyi-bunyian aneh selama beberapa malam sebelumnya telah menyita waktu dan perhatian sehingga pekerjaan sehari-hari terbengkalai. Dan kini sudah tidak terdengar lagi seiring dengan terdamparnya bambu itu.
Pada suatu pagi yang cerah, ketika Ompu La Mpoa pulang dari pantai, Ia sangat lapar dan lelah. Disuruhnya Wa’I La Mpoa untuk mengambil beberapa potong Ubi untuk dibakar. Di kala Ubi akan dibakar, sepotongpun kayu bakar tidak ada. Yang ada hanyalah sepotong bambu yang dipungut dari pantai. Karena kebutuhan akan kayu bakar, terpaksa bambu yang sedianya untuk bahan perkakas gubuk dijadikan kayu bakar. Ompu La Mpoa mengambil parang untuk memotong bambu itu, namun sebuah keanehan terjadi. Sebelum parangnya tertambat pada bambu itu, tiba-tiba terdengar suara dari dalam.
“ Hai Ompu Jangan potong bambu ini. Kami ada di sini. Dan kami akan keluar sendiri.”
Ompu La Mpoa kaget. Bulu kuduknya merinding. Wajahnya pucat pasi. Lalu ia memanggil Wa’I La Mpoa. Dan dengan langkah tergopoh-gopoh Wa’I La Mpoa menghampiri suaminya.
Belum habis keheranannya akan bunyian aneh itu, kini suami istri itu dikejutkan lagi oleh suara gaib dari dalam bambu itu. Dalam keadaan keheranan bercampur takut, bambu itu pecah. Dan keluarlah dua orang pemuda yang sangat baik parasnya dengan membawa dua buah gendang, satu gong dan satu serunai bersama perlengkapannya.
“Wahai anak muda, Tuan hamba manusia, peri atau jin ?”
“ Anda berdua siapa dan darimana ?” Wa’I La Mpoa menyambung.
“ Kami adalah putera Sang Bima. Kami datang kemari dititahkan oleh Ayahanda. Nama saya Indra Zamrud dan inilah adik saya yang bernama Indra Komala. Kami datang hendak bertemu dengan Bapak kami Ncuhi Parewa dan Ncuhi Dara yang menjadi wakil Raja di sini.”.
“ Jika tuan tidak keberatan, sudilah kiranya tuan menginap dulu di gubuk kami sebelum menemui Ncuhi Parewa dan Ncuhi Dara.” Wa’I La Mpoa menawarkan mereka untuk menginap.
“ Dengan senang hati kami menerima tawaran Ompu dan Wa’i.” Indra Komala menerima ajakan itu.
Beberapa hari kemudian Ompu La Mpoa pergi ke tampat Ncuhi Parewa yang tidak jauh letaknya dari tempat itu. Kepergian Ompu La Mpoa tentunya tidak lain adalah untuk melaporkan tentang kedatangan putera Sang Bima.
“ Mohon maaf tuan, hamba datang untuk melaporkan kedatangan dua orang putera sang Bima yang bernama Indra Zamrut dan Indra Komala.”
“ Dimana mereka sekarang ? ” Ncuhi Parewa penasaran.
“ Untuk sementara mereka menginap di gubuk kami.”
“ Baiklah ! Saya akan menjemput mereka.”
Tak lama kemudian, bergegaslah Ncuhi Parewa, para pengawal dan seluruh rakyat menjemput Indra Zamrut dan Indra Komala. Setibanya di kebun Ompu La Mpoa, Ncuhi Parewa memberi hormat kepada kedua putra Sang Bima itu. Mereka saling berpelukan. Tak lupa pula Ncuhi Parewa menanyakan tentang keadaan Sang Bima.
Ncuhi Parewa mengajak mereka untuk menginap di tempatnya sebelum menemui Ncuhi Dara. Ajakan itu diterima pula oleh Indra Zamrut dan Indra Komala. Dengan penuh suka cita mereka berjalan beriringan mendaki bukit dan menuruni lembah, bahkan menyeberangi sungai. Ikut pula dalam rombongan itu Ompu dan Wa’I La Mpoa bersama gendang, gong dan serunai beserta seluruh perlengkapannya.
Dengan penuh ketabahan serta kasih sayang Ncuhi Parewa membina dan mendidik Indra Zamrut dan Indra Komala untuk beberapa bulan lamanya. Hal itu ditujukan untuk mempersiapkan keduanya yang akan menjadi pemimpin Dana Mbojo kelak. Kegiatan sehari-hari mereka adalah berladang dan berhuma. Setiap empat belas hari bulan mereka diajak menuju teluk Bima untuk memancing. Dan sekaligus melihat-lihat keadaan negeri dimana Ncuhi Dara melaksanakan pemerintahan. Jalur yang kerap mereka lalui adalah dari kediaman Ncuhi Parewa, berjalan turun lembah Samili, terus melalui daratan yang berada di Talabiu, kemudian mendaki gunung Londa dan selanjutnya turun di Lawata.
Setelah persiapan dianggap selesai dan cukup, Ncuhi Parewa melaporkan kedatangan kedua putera Sang Bima itu. Berita disebarluaskan ke seluruh negeri. Ncuhi padolo, Ncuhi Dorowuni dan Ncuhi Banggapupa dikumpulkan di istana. Akhirnya semua Ncuhi setuju. Mereka sepakat untuk mengangkat Indra Zamrut untuk menjadi raja. Dari Mbojo sepakat menjemput Indra Zamrut dan Indra Komala di Gunung Parewa Monta.
“ Hai Bapak Ncuhi Dara, kedatanganmu ini apakah kehendakmu dan niatmu ?” Secara bersama-sama Indra Zamrut dan Indra Komala bertanya kepada Ncuhi Dara.
“ Ya tuanku syah alam, kedatangan hamba tidak lain adalah untuk menyerahkan diri kepada Sri Paduka tuan berdua. Dan Hamba sekalian telah bersepakat dan semufakat dalam mempersembahkan dan mempersilahkan Sri Paduka Tuanku berdua untuk pergi ke Istana.”
Mendengar jawaban Ncuhi Dara yang bertindak atas nama Dari Mbojo, hilanglah keraguan antara keduanya. Mereka yakin bahwa Dari Mbojo dan seluruh rakyat tetap berpegang teguh pada ikrarnya dulu di hadapan Sang Bima. Dari Mbojo tidak menghianati amanat.
Indra Zamrut dan Indra Komala bergegas berangkat ke Bima diiringi para Dari Mbojo dan seluruh rakyat. Rombongan berangkat pada malam hari. Ncuhi Dorowuni diperintahkan untuk berangkat mendahului, agar mempunyai kesempatan mengadakan persiapan penyambutan bersama rakyat di depan istana Ncuhi Dara.
Setibanya di istana Ncuhi Dara, rombongan disambut dengan suka cita oleh seluruh rakyat. Ncuhi Dorowuni dalam kedudukannya selaku Bicara Mbojo(Perdana Menteri) menyerahkan seperangkat tempat sirih pinang( TA UA) kepada Indra Zamrut dan Indra Komala. Penyerahan TA UA adalah upacara simbolik penyerahan kembali kekuasaan sebagai lambang keramahan dan ketulusan hati. Sejak penyerahan itu, kekuasaan perwalian yang diemban Ncuhi Dara dikembalikan kepada putera Sang Bima. Dan keselamatan Indra Zamrut dan Indra Komala menjadi tanggung jawab Ncuhi Dara, Ncuhi Dorowuni dan Dari Mbojo.
Indra Zamrut menyerahkan sebilah keris berhulu besi dan satu azimat yang menjadi tanda dan mengukuhkan sumpah masing-masing turunan selama-lamanya. Lalu Indra Zamrut mengangkat Ompu La Mpoa menjadi DARI GENDA (Orang yang mengurus dan ahli di bidang Gendang dan alat musik tradisional) dan menetap di istana sebagai ungkapan terima kasih dan balas jasa kepada suami istri yang telah menolongnya.
Jumat, 01 Oktober 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar