Istana Bima yang disebut Asi Mbojo merupakan salah satu tinggalan arkeologi yang awalnya merupakan tempat tinggal Raja-raja Bima. Dalam perkembanganya Istana ini pernah beberapa kali berubah fungsi antara lain : sebagai barak tentara, kantor ruang kerja dan terakhir (saat ini) sebagai Museum Asi Mbojo yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan benda-benda peninggalan kerajaan Bima.
Sebagai mana layaknya sebuah bangunan istana, Istana Bima terletak di pusat pemerintahan Kasultanan Bima, yaitu di Kota Bima yang kita kenal sekarang.
Kota Bima terletak di kabupaten Bima merupakan salah satu daerah otonomi di propinsi Nusa Tenggara Barat, terletak di ujung timur pulau Sumbawa tepatnya pada posisi 0-477,50 M diatas permukaan laut dan berada pada 117 ‘ 40’ sampai 119’ 10 Bujur timur dan 70’30 Lintang selatan. Dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :
Sebelah utara : Laut Flores
Sebelah selatan : Samudra Indonesia
Sebelah Timur : Selat Sape
Sebelah Barat : Kabupaten Dompu
Luas wilayah kabupaten Bima adalah 4.596,90 Km2 atau 22.5% dari total luas Propinsi NTB. Secara administratif Kabupaten Bima terdiri dari 16 Kecamatan dan terdapat satu kota Administratif yakni kotif Bima.Semula hanya ada 10 Kecamatan, namun pada Tahun 2000 enam kecamatan mengalami pemekaran yang telah didefinitifkan Tahun 2001. Secara umum topografi kabupaten Bima berbukit-bukit setiap wilayahnya mempunyai topografi yang cukup berpariasai dari datar hingga bergunung-gunung.
Kabupaten Bima beriklim tropis dengan musim hujan yang relatif pendek yakni dari bulan desember sampai dengan maret. Sedangkan berdasarkan data kependudukan jumlah penduduk di akhir tahun 2008 adalah 509,951 jiwa.
Sebagai kota yang pernah menjadi ibukota sebuah negara (Bima), dan kini dikembangkan sebagai kota terbesar di Kabupaten Bima, sarana transportasi dan komunikasi dengan dunia luar sangat memadai. Kita dapat berkunjung ke Bima melalui jalan darat, laut, ataupun dengan pesawat udara. Disamping pelabuhan laut yang berjarak hanya sekitar satu kilometer dari komplek Istana Bima, di Bima juga terdapat sebuah Bandar udara yang dapat didarati pesawat F 27.
Latar Sejarah
Sejarah keberadaan sebuah istana terkait erat dengan keberadaan dari kerajaan itu sendiri. Dalam hal ini sejarah kerajaan Bima, khususnya masa awal berdirinya kerajaan Bima, masih diselimuti kabut misteri karena diantara sumber-sumber yang ada masih berbau cerita legenda. Bukti-bukti sejarah kepurbakalaan yang ditemukan di kabupaten Bima seperti Wadu Paa dan Wadu Noco, Wadu Tunti (batu bertulis) di dusun Padende Kecamatan Dongo menunjukan bahwa daerah ini sudah lama dihuni manusia.
Menurut legenda nama Bima diambil dari nama tokoh “ Sang Bima “, seorang bangsawan dari Jawa yang berhasil mempersatukan kerajaan-kerajaan kecil di daerah ini menjadi satu kerajaan, yaitu kerajaan Bima.
Sang Bima kawin dengan seorang putri yang cantik jelita, bernama Tasi Naring Naga. Dari perkawinanya itu lahir Indra Jambrud dan Indra Kumala, yang kelak menjadi cikal bakal dan menurunkan raja-raja Bima dan Dompu. Braam Morris menyebutkan bahwa tidak kurang dari 49 raja yang pernah memerintah di Bima, sedangkan Maharaja (“Sang”) Bima ditempatkan pada urutan ke sebelas.
Kronik Bima (naskah “ Bo” kerajaan Bima) mencatat bahwa pada masa pemerintahan Sariese, raja Bima yang ke- 36, terjadilah kontak pertama dengan orang-orang Eropa (mungkin Portugis). Sedangkan raja ke- 37, raja Sawo adalah raja terakhir yang belum menganut agama Islam. Ia digantikan oleh anaknya, bernama Abdul Kahar, sebagai raja ke- 38, raja pertama dari dinasti Kasultanan Bima yang memeluk agama Islam dan bergelar Sultan.
Tentang kapan masuknya ajaran agama Islam di Bima diperoleh imformasi yang beragam. Naskah “Bo” kerajaan Bima menyebutkan bahwa ketika raja Bima dalam tahun 1015 H (= 1616 M) pergi ke Gowa untuk kawin dengan putri raja Gowa, ia kemudian bergelar Sultan Abdul Kahir atau Kahar, yang mungkin sekali adalah Sultan yang oleh Zollinger disebut Abdul Galir.
Abdul Kahir menjadi Sultan Bima sejak tahun 1630, sampai dengan 1640, sedangkan Braam Morris mengatakan sejak 1640, tanpa menyebutkan tahun berakhirnya. Ia dikenal sebagai peletak dasar agama Islam di Bima dan menjadikan kerajaan Bima sebagai kerajaan Islam. Di dalam sejarah daerah Bima maupun dalam catatan lontar Gowa, ia dikenal dan sering disejajarkan dengan Sultan Alaudin dan Sultan Malikul Said dari kerajaan Gowa dan Tallo, baik dalam hal penyebaran agama Islam maupun dalam perebutan pengaruh terhadap Belanda yang ingin menguasai perdagangan di Indonesia bagian timur pada waktu itu. Setelah beliau wafat pada tahun 1640, digantikan oleh puteranya, yaitu Sultan Abdul Khair Sirajuddin.
Masih menurut catatan “ Bo” kerajaan Bima, ketika istri Sultan Abdul Kahir melahirkan puteranya yang pertama, Sultan Abdul Kahir mendatangi Bicara/Bumi Renda La Mbila Manuru Suntu untuk meminta nama dari puteranya yang baru lahir. Oleh Rumata Menuru Suntu diberikan nama La Mbila, sebagai peringatan bagi Rumata Tureli Nggampo Ma Kapiri Solor yang telah mengatur adat dan pemerintahan sehingga menjadi dasar yang kokoh bagi tata cara pemerintahan kerajaan Bima pada waktu itu. Kemudian, La Mbila mendapat pula nama secara Islam, yaitu Abdul Khair Sirajuddin sehinga nama lengkapnya menjadi La Mbila Abdul Khair Sirajuddin. Sayang sekali hingga kini belum ditemukan catatan yang menjelaskan kapan Abdul Khair dilahirkan.
Sejak kecil Abdul Khair sangat besar perhatianya terhadap kesenian, terutama seni tari. Bahkan, menurut riwayat, ia adalah seorang seniman.
Ketika ayahandanya, Sultan Abdul Kahar meninggal dunia, Abdul Khair baru menginjak usia dewasa, sehingga ia terpaksa memangku jabatan sebagai Sultan dalam usia muda.
Dalam lontara Gowa disebutkan bahwa Sultan Abdul Khair kawin di Makasar pada tahun 1646 dengan puteri Raja Gowa Malikul Said yang bernama Karaeng Bonto Jene, setelah beberapa tahun menjadi Sultan. Dari perkawinan ini lahir seorang putra yang kelak menjadi Sultan Bima III (Sultan Nuriddin), dan tiga anak perempuan lainya.
Pada masa pemerintahan Sultan Abdul Khair Sirajuddin tercatat beberapa peristiwa penting bagi kerajaan Bima, diantaranya :
1. Penyesuaian hukum adat dengan hukum islam sehinga pemerintahan kerajaan Bima berjalan sebagaimana lazimnya kerajaan islam.
2. Penyesuain bentuk majelis kerajaan dengan memasukan unsur-unsur agam Islam
3. Memperluas penyiaran agama Islam dengan mewajibkan pelaksanaan “syariat” Islam Dan memberikan kedudukan tersendiri bagi mubaligh-mubaligh.
4. Memerintahkan penyempurnaan Kitab catatan Kerajaan dengan membuat “BO” yang tertulis di atas kertas dengan hurup arab berbahasa melayu.
5. Melindungi dan mengembangkan kesenian dan memerintahkan untuk mempertunjukan kesenian terbaik di Istana Kerajaan pada waktu perayaan di istana, seperti peringatan Maulud Nabi Muhamadan S.A.W. yang disebut “ sirih puan”.
6. Menetapkan hari-hari besar kerajaan yang diperingati secara adat pada setiap tahunya. Oleh majelis kerajaan, hari-hari besar itu disebut Rawi Sara Ma Tolu Kali Sa Mbaa, yaitu :
a. Peringatan Maulud Nabi Muhammad s.a.w tanggal 12 Rabi’ulawal 1030 Hijrah. Upacara ini lebih dikenal dengan nama Upacara Sirih-puan, atau Ua-pua.
b. Hari Raya Idul Fitri.
c. Hari Raya Idul Adha.
Sebagai sekutu kerajaan Gowa, Sultan Abdul Khair selalu bahu membahu dengan iparnya, yaitu I Mallombasi Daeng Mattawang atau yang lebih dikenal dengan nama Sultan Hasanuddin dari Gowa dalam menentang Belanda.
Sultan Abdul Khair memerintah daerah yang cukup luas dan strategis bagi pelayaran perdagangan, seperti: Sumba, Flores Barat dan pulau-pulau di antara Flores dan Sumba. Oleh karena itu pula di dalam Perjanjian Bongaya yang ditandatangani pada hari jumat tanggal 18 Nopember 1667, tiga pasal diantaranya menyangkut kerajaan Bima. Walaupun perjanjian itu dengan terpaksa telah ditandatangani oleh Sultan Hasanuddin Dan raja-raja lainya, Karaeng Bontomarannu, Sultan Bima, Raja Tallo Sultan Harun Al Rasyid, dan Karaeng Lengkoso tetap belum mau menandatangani perjanjian Bongaya pada tanggal 9 dan 31 Maret 1668. Sedangkan kerajaan Bima baru menyerah kepada Belanda pada tanggal 8 Desember 1669 dengan suatu perjanjian yang ditandatangani di Jakarta oleh Jeneli Monta Abdul Wahid dan Jeneli Parado La Ibu atas nama Sultan Bima. Meskipun secara resmi kerajaan Bima telah menyerah, namun dalam prakteknya pemerintah kerajaan sepenuhnya berjalan menurut kebijakan Sultan Abdul Khair. Kekuasan Belanda hanya tampak dalam urusan perdagangan, yang dikendalikan seorang kuasa usaha, yang dikenal sebagai Khojah Ibrahim.
Sultan Abdul Khair wafat pada tanggal 17 Rajab 1093 H, bertepatan dengan tanggal 22 Juli 1682 M, dimakamkan di Makam Tolobali. Setelah beliau wafat, digelari Rumata Maatau Uma Jati, artinya Raja yang memiliki rumah jati, karena semasa hidupnya pernah mendirikan sebuah Istana yang keseluruhanya terbuat dari kayu jati, dengan corak konstruksi khas Bima. Bangunan Istana itu kini telah tiada.
Sultan Abdul Khair digantikan oleh putranya, Sultan Naruddin, tetapi masa pemerintahanya tidak begitu lama hanya berlangsung sekitar lima tahun, sehinga tidak banyak peristiwa penting yang terjadi selama masa pemerintahanya. Sultan Naruddin diangkat menjadi sultan pada tahun 1682.
Dalam masa pemerintahanya, Sultan Naruddin menyempurnakan jabatan-jabatan keagamaan Kerajaan Bima, yaitu dengan diadakanya jabatan-jabatan Qadli, Lebe, Khatib, dan sebagainya. Bahkan di istana diangkat pejabat-pejabat khusus yang mengurusi masalah-masalah keagamaan yang kedudukanya setingkat dengan mufti. Salah seorang diantaranya yang terkenal ialah Syah Umar Al Bantami yang menjadi mufti di istana kerajaan dan sebagai guru agama bagi putra-putri Sultan. Sultan Naruddin wafat pada tahun 1687, jenasahnya dimakamkan di Makam Tolobali, berdampingan dengan makam ayahndanya.
Sepeninggal Sultan Nuruddin, yang diangkat sebagai pengganti beliau ialah putera sulungnya, bergelar Sultan Jamaluddin, sebagai Sultan Bima ke 4 (1687- ?). Pada tahun 1688, Sultan Jamaluddin kawin dengan puteri bangsawan Gowa, bernama Karaeng Tanata. dari perkawinanya itu lahir empat anak laki-laki, seorang diantaranya bernama Hasanuddin Muhamad Syah, yang kelak menjadi Sultan Bima ke 5.
Sejak kecil Sultan Jamaluddin mendapat didikan Syeh Umar Al Bantami. Dari Syah Umar inilah ia mendapatkan cerita-cerita tentang kepahlawanan raja-raja banten, raja-raja Malaka, dan kepahlawanan Islam. Kisah-kisah itu berpengaruh besar terhadap pertumbuhan dan pembentukan kepribadianya yang anti penjajahan. Setelah menjadi sultan, ia menampakan ketegasan sikapnya tidak mau dicampuri oleh Belanda dalam urusan pemerintahan. Hal semacam ini sudah tentu tidak disenangi oleh Belanda.
Ketika terjadi pembunuhan atas diri permaisuri Sultan Dompu (bibi sultan jamaluddin) secara kebetulan Sultan Jamaluddin tengah berkunjung di sana. Belanda mengunakan kesempatan itu dengan sebaik-baiknya untuk menjebaknya. Atas pengaduan Sultan Dompu. Belanda memanggil Sultan Jamaluddin ke Makasar, kemudian ditahan. Dari Makasar dibawa ke Batavia dan di tahan disana sampai beliau wafat. Mengenai kapan Sulatan Jamaluddin wafat belum diketahui dengan pasti, hanya didalam catatan Belanda disebutkan bahwa Sultan Jamaluddin wafat di Batavia dan dikuburkan di Tajung Priok. Pada tahun 1701 Belanda mendirikan benteng dan loji di Bima dan menempatkan petugasnya, bergelar Koopman dan Onderkoopman. Setelah itulah baru diketahui bahwa Sultan Jamaluddin telah wafat. Pada waktu itu kerajaan Bima diperintahkan oleh Raja Muda, yang didampingi oleh Wazir Abdul Somad Ompo La Muni. Tiga tahun kemudian barulah tulang belulang kerangka jenasah Sultan Jamaluddin dipindahkan ke Bima dan dikuburkan di Makam Tolobali, disamping makam Syeh Umar Al Bantami yang telah mendahuluinya (1695).
Demikianlah sekilas tentang Kesultanan Bima, dari masa awal terbentuknya Kasultanan Bima (Sultan Bima I) sampai dengan Sultan Bima IV. Nama dan ketokohan keempat Sultan Bima ini cukup populer di kalangan masyarakat Bima.
Adapun, nama-nama tokoh yang dikenal sebagai Sultan Bima sepeninggal Sultan Jamaluddin ialah :
1. Sultan Bima IV, Sultan Hasanuddin Muhammad Syah, wafat tahun 1731
2. Sultan Bima V, Kamala (BUMI Partiga) atau Sultan I’Lauddin wafat tahun 1753
3. Sultan Bima VI, Abdul Kadim Sri Nawa (1751-1765)
4. Sultan Bima VII, Abdul Hamid (1792)
5. Sultan Bima VIII, Ismail (1819-1850)
6. Sultan Bima IX, Abdullah (1851-1868)
7. Sultan Bima X, Abdu Azis (1868- ?)
8. Sultan Bima XI, Ibrahim (1881-1916)
9. Sultan Bima XII, Muhamad Salahuddin (1916- ?) sebagian Sultan Bima yang terakhir.
Istana atau Asi dalam bahasa Bima mulai dikenal oleh masyarakat Bima pada sekitar abad ke 11 Masehi. Menurut mitos setempat Raja Bima pertama, Indra Zamrud membangun Istana Kaca. Begitu Sultan Abdul Hamid Membangun Asi Saninu (Istana Kaca), selanjutnya Sultan Ismail membangun Asi Mpasa (Istana Lama) pada tahun 1820 M. Asi Ntoi dibangun diera pemerintahan raja-raja dan Sultan-sultan Bima yang bisa disaksikan sampai sekarang yaitu istana-istana Asi Mbojo dan Asi Bou yang terletak berdampingan.
Asi Bou (Istana Baru) semula merupakan bangunan darurat untuk tempat tinggal sementara Sultan Muhammad Salahuddin dan keluarganya selama Asi Mbojo dalam pembangunan.
Bangunan Istana Bima yang kita saksikan sekarang ini ialah sebuah bangunan bergaya Eropa, dibangun pada tahun 1927-1929. Istana ini dibangun setelah Istana yang lama rusak. Bangunan Istana yang lama dibangun pada abad ke-19, juga bergaya Eropa (gaya Portugis), Ukuranya jauh lebih kecil dibanding istana yang ada sekarang. Perancang Asi Mbojo adalah Re hatta arsitek kelahiran Ambon yang diundang dan ditugaskan oleh pemerintah Kolonial Belanda untuk membangun Istana di maksud di bantu oleh Bumi Jero Istana, Istana ini rampung dikerjakan dan diresmikan menjadi istana kerajaan Bima tahun 1929.
Asi Bou (Istana Baru) semula merupakan bangunan darurat untuk tempat tinggal sementara Sultan Muhammad Salahuddin dan keluarganya selama Asi Mbojo dalam pembangunan.
Benda Cagar Budaya (BCB)
Benda Cagar Budaya (BCB) yang ada di Istana Bima terdiri dari BCB tidak bergerak dan BCB bergerak
a. Benda Cagar Budaya Tidak Bergerak
BCB tidak bergerak yang terdapat di Istana Bima antara lain :
- Istana Bima berupa bangunan eksotik bergaya Eropa mulai dibangun tahun 1927, dikerjakan dalam waktu tiga tahunrampung dan diresmikan menjadi istana Kerajaan Bima tahun 1929. Istana tersebut berupa bangunan permanen berlantai dua yang merupakan paduan arsitektur asli Bima dan Belanda. Pembangunanya dilakukan secara gotong royong oleh masyarakat ditambah pembiayaan anggaran belanja kesultanan. Istana dengan sendirinya menjadi bangunan paling indah dan megah pada masa kesultanan.Luas halamanya 500 meter persegi. Kala itu seputar Istana tumbuh pohon-pohon rindang dan taman bunga yang indah. Bangunan Istana diapit oleh dua pintu gerbang yang berada di bagian timur dan barat. Konsepsi tata letak bangunan istana tidak jauh berbeda dengan Istana lain di Tanah Air.
- Didepan Istana terdapat tanah lapang atau alun-alun berbentuk segi empat mendekati bujur sangkar namanya Serasuba. Di sinilah raja tampil secara terbuka di depan rakyat di saat-saat tertentu, misalnya waktu kesultanan menyelenggarakan upacara-upacara penting atau perayaan hari besar keagamaan lainya. Serasuba juga menjadi arena latihan pasukan kesultanan.
- Di sebelah selatan alun-alun terdapat sebuah bangunan masjid, kesultanan yang megah dibangun pada masa pemerintahan Sultan Abdul Hamid tahun 1872 Masehi, sebagai sarana kegiatan ritual keagamaan Islam. Kini Masjid itu bernama Masjid Sultan M. Salahuddin.
Alun-alun di satu sisi bersebelahan dengan bangunan Mesjid, dan sisi lain menyatu dengan halaman istana. Jelas menyiratkan bahwa ke 3 unsur bangunan tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh. Untuk memberi kesan sebagai bangunan monumental, istana bisa dipandang dari empat penjuru mata angina menggunakan konsepsi filosofi sebuah istana yang di dalamnya menyiratkan kesatuan unsur antara pemerintahan, agama dan rakyat (masyarakat).
- Pintu gerbang sebelah barat bernama Lare-Lare merupakan pintu resmi kesultanan yaitu tempat masuknya sultan, para pejabat kesultanan dan tamu-tamu sultan. Lare-Lare berbentuk Mesjid tiga tingkat. Tingkat atas (loteng) merupakan tempat untuk menyimpan tambur Rasanae dan dua buah lonceng. Tambur Rasanae dibunyikan sebagai tanda pemberitahuan adanya upacara kebesaran, sedangakan kedua lonceng dibunyikan untuk pemberitahuan tanda bahaya dan waktu.
- Pintu gerbang sebelah timur disebut Lawa Kala atau Lawa Se merupakan pintu masuk bagi anggota sara hukum dan ulama. Pintu masuk bagi anggota keluarga Raja berada di belakang Asi Bou, bernama Lawa Weki.
- Di depan Asi Mbojo bagian barat terdapat tiang bendera setinggi 50 meter yang disebut Kasi Pahu, terbuat dari kayu jati yang berasal dari Tololali. Tiang bendera tersebut dibangun oleh Sultan Abdullah untuk memperingati hari pembubaran angkatan laut kesultanan. Sultan Abdullah terpaksa membubarkan angkatan lautnya karena tidak mau memenuhi keinginan penjajah Belanda yang memaksa angkatan laut kesultanan Bima untuk menyerang pejuang-pejuang Gowa Makasar dan Bugis. Tiang Kasi Pahu sempat roboh karena lapuk. Tahun 2003 dibangun kembali atas inisiatif Hj S. Maryam Salahuddin.namun bahanya bukan jati karena jati di sana tidak ada lagi.
- Asi Bou, demikian orang Bima menyebut istana kayu ini. Asi Bou berarti istan baru. Dalam bahasa Bima, asi artinya istana dan bou artinya baru. Tidak banyak orang yang tau istana ini. Bangunan ini terkesan tertutup, karenanya Asi Bou penuh misteri. Asi Bou berdampingan dengan Istana Bima. Persisnya disebelah timur istana. Dia seperti mengawal bangunan disebelahnya. Istana ini sebenarnya hanya tempat tinggal keluarga kerajaan. Dia tidak digunakan sebagai pusat penyelenggaraan pemerintahan. Sebagian besar bangunan Asi Bou terbuat dari kayu. Itu sebabnya disebut istana kayu. Konstruksinya seperti rumah panggung Bima. Sesuai namanya, Asi Bou dibangun belakangan, di masa pemerintahan Sultan Ibrahim (1881-1916).
- Sumur tua istana terletak di sudut Barat daya halaman istana merupakan sumber air untuk memenuhi kebutuhan air istana
Benda cagar budaya (BCB) bergerak
BCB bergerak yang ada di lingkungan Istana Bima terdiri dari 2 (dua) komponen yaitu : BCB yang berada di halaman Istana dan BCB yang tersimpan di dalam Istana, dengan rincian sebagai berikut :
BCB yang berada di halaman Istana
Koleksi yang berada di halaman istana terdiri dari 7 buah meriam bahan perungu. Masing-masing meriam berukuran (panjang, lebar dan garis tengah) laras sebagai berikut :
1. Meriam berukuran panjang 152 cm dan garis tengah laras 20 cm
2. Meriam berukuran panjang 143 cm dan garis tengah laras 12 cm
3. Meriam berukuran panjang 164 cm dan garis tengah laras 21 cm
4. Meriem berukuran panjang 136 cm dan garis tengah laras 19 cm pada sisinya tertulis angka 1815 M
5. Meriam berukuran panjang 163 cm dan garis tengah laras 22 cm
6. Meriam berukuran panjang 121 dan garis tengah laras 16 cm
7. Meriam berukuran panjang 147 dan garis tengah laras 11 cm
Disamping Meriam kuno terdapat juga sebuah arca berupa Fragmen dari arca Nandi (lembu nandi), yang bagian kepalanya dalam keadaan patah. Arca ini berukuran panjang 75 cm dan lebarnya 53 cm, terbuat dari bahan batu andesit. Memperhatikan bentuknya diperkirakan kekunan ini dibuat pada abad ke 11 Masehi.
BCB yang tersimpan di dalam ruang Istana
Benda cagar budaya yang yang ada di dalam ruang Istana dimanfaatkan sebagai koleksi Museum Asi Mbojo Bima yang seluruhnya merupakan bekas koleksi Istana kesultanan Bima. Benda-benda tersebut masih berfungsi sebagai sarana kelengkapan dalam prosesi upacara kesultanan. BCB tersebut terdiri dari beberapa jenis yaitu : Senjata, Wadah (talam),jenis tempat air, serta koleksi yang diperoleh dari Negara Eropa pada masa penjajahan Belanda di Indonesia. Koleksi yang cukup penting dalam kaitan sebagai benda purbakala terdapat dalam dua buah ruangan, yakni berada diruangan bagian utara dan ditengah.
Adapun rincianya adalah sebagai berikut :
1. Keris
Koleksi keris kerajaan Bima yang dipajang di Museum Asi Mbojo berjumlah 20 buah masing-masing dengan nama dan fungsi sebagai berikut ;
- Keris yang disebut dengan istilah Tata Rupa adalah jenis peninggalan yang pada umumnya digunakan sebagai pusaka jabatan para raja muda kesultanan Bima. Pada bagian sisi (luar) sarung keris berlapis emas.
- Keris sebagai simbul kelengkapan pakaian upacara pejabat kesultanan Bima. Jumlah keris ini sebanyak 6 buah pada bagian sarung dan pegangannya berlapis emas.
- Keris tanpa sarung
Keris ini difungsikan sebagai sarana pembunuh dalam memutuskan hukuman mati pada zaman kesultanan Bima, jumlah keris ini 1 buah.
- Keris yang digunakan oleh pejabat tinggi kerajaan 3 buah
- Keris bumi Renda
Keris yang biasa digunakan oleh panglima kesultanan Bima. Keris ini berjumlah 3 buah sarungnya ini berlapis emas
- Keris
Sebuah keris yang biasa digunakan pejabat kesultanan Bima yang disebut Jeneli yang setara dengan jabatan camat pada jaman kesultanan Bima
- Keris
Keris dengan hiasan hulu berbentuk raksasa Niwata kawaca yang diperoleh dari jawa timur
2. Talam
Jenis talam yang dipajang dalam bahasa daerah Bima disebut “ tari, “ kampu”, dan “sampai”, “kampu”. Koleksi ini berfungsi sebagai tempat bunga dalam rangkaian prosesi upacara adat di Istana Sultan Bima, bahannya terbuat dari emas.
3. Tempat lilin
Berfungsi sebagai sarana penerangan dalam rangkaian upacara adat di Istana Sultan Bima terbuat dari bahan Emas.
4. Cerek
Berfungsi sebagai wadah air minum, bahannya terbuat dari perak.
5. Wadah pencuci tangan
Koleksi ini disebut dengan Ngamo ( wacarima ). Difungsikan sebagai wadah pencuci tangan ketika upacara pesta di Istana Sultan Bima, bahannya dari emas
6. Tempat sirih dan tempat pinang
Koleksi ini menurut bahasa Bima disebut Selapa dengan bahan emas.
7. Tempat pembuangan ludah
Koleksi ini terbuat dari bahan semacam kuningan.
8. Tongkat dan cambuk kuda
Koleksi ini merupakan peninggalan tongkat kebesaran Sultan Bima pada
jaman dahulu.
9. Pedang sebagai senjata pimpinan pasukan kesultanan Bima
Menurut bahasa daerah Bima jenis pedang ini disebut dengan istilah
“Sondi”, bagian sarung pedang berlapis emas berjumlah 1 buah.
10. Pedang
Berjumlah 3 buah yang biasanya digunakan oleh petugas kesultanan Bima yang bertugas di Reo (Flores barat)
11.Golok
Senjata jenis ini digunakan sebagai kelengkapan tanda jabatan kesultanan Bima yang bertugas di daerah Reo (Flores Barat)
12. Pedang (1 buah)
Digunakan oleh perwira kesultanan Bima
13. Rantai Kendali Kuda Sultan
14. Payung dan Tombak Kesultanan
Payung jenis ini difungsikan sebagai payung pelantikan Sultan, pada saat upacara penobatan Sultan Bima
15.Sebuah Genderang (tambur) kesultanan Bima
Tambur ini telah digunakan pada masa pemerintahan Sultan Abdul Khahir Sirajuddin, pada tahun 1640-1682 M.
16. Alat Upacara Kematian
Terdiri dari, cerek (cere), kain pembungkus mayat dan batu nisan
17. Lonceng
Bahan perunggu, Lonceng ini diperoleh dari negeri Belanda. Pada bagian sisinya memuat angka tahun pembuatan, yakni 1735 Masehi. Pada jaman pemerintahan kesultanan difungsikan sebagai pertanda waktu
18. Senapan (senjata)
Jenis senjata api yang dibuat tahun 1640-1682 M berasal dari Portugis
Selasa, 14 September 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar