Jakarta, Sinar Harapan
Kerajaan Bima mungkin merupakan kerajaan yang tak kerap disebut dalam sejarah. Namun, kerajaan ini ternyata menyimpan banyak peninggalan teks tertulis berbahasa Kawi (Arab-Melayu). Dari teks-teks ini, terungkaplah sejarah religi, budaya, dan kondisi sosial masyarakat Nusantara. Dari naskah ini pula, diketahui sejarah masuknya agama Islam dan bahasa Melayu yang digunakan masyarakt Bima.
Teks-teks itu telah dikumpulkan, diterjemahkan, dan diterbitkan oleh Henri Chambert Loir, filolog asal Prancis. Ia meluncurkan buku berjudul Kerajaan Bima, dalam Sastra dan Sejarah yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia bekerja sama dengan Ecole Francaise d’Extreme-Orient, di Perpustakaan Nasional, Jl. Salemba Raya, Jakarta, Kamis (22/7).
Dalam kesempatan itu, digelar pula sebuah diskusi yang menghadirkan Loir, didampingi staf peneliti Universitas Indonesia, Prof. Dr. Achdiati Ikram dan dari Museum Samparaja, Bima, Hj. Siti Maryam R. Salahuddin SH.
Loir mengaku tertarik pada teks tulis Bima, ketika dia melihat naskah Cerita Asal secara tak sengaja. ”Saya berminat pada sejarah kerajaan Bima serta perkembangan sastra Melayu di Bima tiga puluh tahun lalu saat membaca naskah Cerita Asal itu. Naskah itu adalah koleksi Perpustakaan Nasional Jakarta...” demikian pendapat Henri Chambert-Loir, dalam Prakata (hal. 9) dalam bukunya itu.
Ketika itu, di Perpustakaan Nasional, dia justru sedang melakukan rutinitas sebagai filolog untuk keperluan edisi sebuah teks yang lain. Henri Chambert-Loir memang meminati naskah-naskah Sastra Melayu Lama dan menerbitkan naskah lama bahasa Jawi itu ke bahasa Latin untuk diterbitkan ke masyarakat luas.
”Pada waktu membacanya, saya melihat katalog di naskah, tentang dewa, mambang, peri, jin. Semua tentang makhluk halus. Saya jadi berminat. Lalu, setelah itu, saya baca dengan teliti. Akhirnya, saya pun mendapatkan kisah mengenai cerita raja-raja Bima di naskahnya (Cerita Asal),” paparnya.
Dia melihat ada naskah yang sangat panjang, sehingga memutuskan untuk menerbitkan naskah yang pendek karena dipikirnya itu tidak begitu lama. Namun, dia kemudian mendapati naskah-naskah yang lain, sehingga dia pun akhirnya baru bisa menyelesaikannya setelah bertahun-tahun bahkan ke Bima untuk mendapatkan informasi dan bertemu dengan orang yang bisa membantu termasuk Siti Maryam R. Salahuddin yang merupakan salah satu putri keturunan dari raja Bima.
Ada tiga naskah yang dihimpun untuk buku ini, berkaitan dengan sejarah Kerajaan Bima dan ditulis dalam bahasa Melayu antara kurun abad ke-17-19 M. Teks pertama judulnya ”Cerita Asal Bangsa Jin dan Segala Dewa-dewa” mengisahkan mitos pendirian wangsa raja-raja Bima, yang diperbandingkannya dengan Sejarah Melayu-Hikayat Banjar dan berbagai teks Melayu sejenis. Teks kedua adalah Hikayat Sang Bima, yang diolah dalam bentuk sastra dengan muatan kisah dari Mahabharata. Teks ketiga adalah Syair Kerajaan Bima yang juga berkategori sastra, berupa kesaksian seorang penduduk Bima tentang peristiwa zamannya.
Menurut Henri Chambert-Loir, cukup sukar membaca tulisan dalam bahasa Jawi, antara lain penulisan tanda titik, koma atau tanda baca lainnya, sehingga sangat sukar menentukan di mana akhir dan awal kalimat, untuk menentukan keutuhan sebuah narasi. ”Karena itu untuk menginterpretasi suatu naskah, diperlukan pengetahuan yang luas, penekunan naskah, lama dan rajin. Terutama berkomunikasi terhadap masyarakat setempat untuk mengetahui bahasa, adat-istiadat dan hal lainnya,” ujar Henri kepada SH.
Filologi yang Multidimensi
Sebelum masuknya Islam di Bima lewat Kerajaan Gowa di Makassar pada awal abad ke-17, Bima dipengaruhi oleh Jawa dan agama Hindu. Ada beberapa peninggalan agama Hindu di Bima mulai dari prasasti atau patung. ”Dinamakan Bima dari orang Jawa (disebut pada naskah Negarakertagama pada 1365 M), sedangkan dalam bahasa setempat bukan Bima tapi Mbojo. Daerah ini terkenal makmur di tengah perdagangan antara Jawa dan Maluku,” ujar Henri.
Henri, selain mengatakan tentang fenomena sejarah yang terangkat, juga tentang tradisi yang beberapa tak dominan lagi hingga akhir abad ke-19 karena pengaruh kebudayaan nasional. ”Kaba, pantun dan tembang tak ada, yang ada bentuk lokal yang dipengaruhi oleh Makasar,” ujarnya.
Prof. Dr. Achdiati Ikram mengatakan bahwa dengan terbitnya buku ini, kisah sejarah dari naskah itu dapat dibaca oleh masyarakat luas. Masyarakat Indonesia kurang membaca apalagi buku berupa karya filologi semacam ini, padahal itu merupakan bagian dari sejarah dan tradisi.
”Padahal karya filologi itu sangat komprehensif dan bisa digunakan dalam berbagai dimensi kehidupan,” ujar Achdiati. Misalnya saja, kisah tentang Gunung Tambora yang meletus, yang membuat reaksi berupa kebangkitan Islam karena selama ini mereka berpikir pasti gunung itu meletus akibat dosa mereka.
Achdiati merasa yakin bahwa naskah filologi semacam itu tak hanya berguna buat dunia kesusasteraan atau budaya saja, tetapi juga tentang sejarah, keadaan sosial dan banyak unsur lain yang dapat digali untuk kesejahteraan hidup masyarakat di masa sekarang. (srs)
Selasa, 14 September 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar