google-site-verification: google0b900d1b6390f203.html September 2010
.

Klik salah satu iklan di bawah dan dapatkan income puluhan juta rupiah

Selasa, 14 September 2010

Sejarah Kerajaan Bima

Sejarah Bima

Kabupaten Bima berdiri pada tanggal 5 Juli 1640 M, ketika Sultan Abdul Kahir dinobatkan sebagai Sultan Bima I yang menjalankan Pemerintahan berdasarkan Syariat Islam. Peristiwa ini kemudian ditetapkan sebagai Hari Jadi Bima yang diperingati setiap tahun. Bukti-bukti sejarah kepurbakalaan yang ditemukan di Kabupaten Bima seperti Wadu Pa’a, Wadu Nocu, Wadu Tunti (batu bertulis) di dusun Padende Kecamatan Donggo menunjukkan bahwa daerah ini sudah lama dihuni manusia. Dalam sejarah kebudayaan penduduk Indonesia terbagi atas bangsa Melayu Purba dan bangsa Melayu baru. Demikian pula halnya dengan penduduk yang mendiami Daerah Kabupaten Bima, mereka yang menyebut dirinya Dou Mbojo, Dou Donggo yang mendiami kawasan pesisir pantai. Disamping penduduk asli, juga terdapat penduduk pendatang yang berasal dari Sulawesi Selatan, Jawa, Madura, Kalimantan, Nusa Tenggara Timur dan Maluku.

Kerajaan Bima dahulu terpecah –pecah dalam kelompok-kelompok kecil yang masing-masing dipimpin oleh Ncuhi. Ada lima Ncuhi yang menguasai lima wilayah yaitu :
1. Ncuhi Dara, memegang kekuasaan wilayah Bima Tengah

2. Ncuhi Parewa, memegang kekuasaan wilayah Bima Selatan

3. Ncuhi Padolo, memegang kekuasaan wilayah Bima Barat

4. Ncuhi Banggapupa, memegang kekuasaan wilayah Bima Utara

5. Ncuhi Dorowani, memegang kekuasaan wilayah Bima Timur.


Kelima Ncuhi ini hidup berdampingan secara damai, saling hormat menghormati dan selalu mengadakan musyawarah mufakat bila ada sesuatu yang menyangkut Profil Kabupaten Bima tahun 2008 2 kepentingan bersama. Dari kelima Ncuhi tersebut, yang bertindak selaku pemimpin dari Ncuhi lainnya adalah Ncuhi Dara. Pada masa-masa berikutnya, para Ncuhi ini dipersatukan oleh seorang utusan yang berasal dari Jawa. Menurut legenda yang dipercaya secara turun temurun oleh masyarakat Bima. Cikal bakal Kerajaan Bima adalah Maharaja Pandu Dewata yang mempunyai 5 orang putra yaitu :

1. Darmawangsa

2. Sang Bima

3. Sang Arjuna

4. Sang Kula

5. Sang Dewa.


Salah seorang dari lima bersaudara ini yakni Sang Bima berlayar ke arah timur dan mendarat disebuah pulau kecil disebelah utara Kecamatan Sanggar yang bernama Satonda. Sang Bima inilah yang mempersatukan kelima Ncuhi dalam satu kerajaan yakni Kerajaan Bima, dan Sang Bima sebagai raja pertama bergelar Sangaji. Sejak saat itulah Bima menjadi sebuah kerajaan yang berdasarkan Hadat, dan saat itu pulalah Hadat Kerajaan Bima ditetapkan berlaku bagi seluruh rakyat tanpa kecuali. Hadat ini berlaku terus menerus dan mengalami perubahan pada masa pemerintahan raja Ma Wa’a Bilmana. Setelah menanamkan sendi-sendi dasar pemerintahan berdasarkan Hadat, Sang Bima meninggalkan Kerajaan Bima menuju timur, tahta kerajaan selanjutnya diserahkan kepada Ncuhi Dara hingga putra Sang Bima yang bernama Indra Zamrud sebagai pewaris tahta datang kembali ke Bima pada abad XIV/ XV.



Beberapa perubahan Pemerintahan yang semula berdasarkan Hadat ketika pemerintahan Raja Ma Wa’a Bilmana adalah :
- Istilah Tureli Nggampo diganti dengan istilah Raja Bicara.
- Tahta Kerajaan yang seharusnya diduduki oleh garis lurus keturunan raja sempat diduduki oleh yang bukan garis lurus keturunan raja.

Perubahan yang melanggar Hadat ini terjadi dengan diangkatnya adik kandung Raja Ma Wa’a Bilmana yaitu Manggampo Donggo yang menjabat Raja Bicara untuk menduduki tahta kerajaan. Pada saat pengukuhan Manggampo Donggo sebagai raja dilakukan dengan sumpah bahwa keturunannya tetap sebagai Raja sementara keturunan Raja Ma Wa’a Bilmana sebagai Raja Bicara. Kebijaksanaan ini dilakukan Raja Ma Wa’a Bilmana karena keadaan rakyat pada saat itu sangat memprihatinkan, kemiskinan merajalela, perampokan dimana-mana sehingga rakyat sangat menderita. Keadaan yang memprihatinkan ini hanya bisa di atasi oleh Raja Bicara. Akan tetapi karena berbagai kekacauan tersebut tidak mampu juga diatasi oleh Manggampo Donggo akhirnya tahta kerajaan kembali di ambil alih oleh Raja Ma Wa’a Bilmana. Kira-kira pada awal abad ke XVI Kerajaan Bima mendapat pengaruh Islam dengan raja pertamanya Sultan Abdul Kahir yang penobatannya tanggal 5 Juli tahun 1640 M. Pada masa ini susunan dan penyelenggaraan pemerintahan disesuaikan dengan tata pemerintahan Kerajaan Goa yang memberi pengaruh besar terhadap masuknya Agama Islam di Bima. Gelar Ncuhi diganti menjadi Galarang (Kepala Desa). Struktur Pemerintahan diganti berdasarkan Majelis Hadat yang terdiri atas unsur Hadat, unsur Sara dan Majelis Hukum yang mengemban tugas pelaksanaan hukum Islam. Dalam penyelenggaraan pemerintahan ini Sultan dibantu Oleh : 1. Majelis Tureli ( Dewan Menteri ) yang terdiri dari Tureli Bolo, Woha, Belo, Sakuru, Parado dan Tureli Donggo yang dipimpin oleh Tureli Nggampo/ Raja Bicara. 2. Majelis Hadat yang dikepalai oleh Kepala Hadat yang bergelar Bumi Lumah Rasa NaE dibantu oleh Bumi Lumah Bolo. Majelis Hadat ini beranggotakan 12 orang dan merupakan wakil rakyat yang menggantikan hak Ncuhi untuk mengangkat/ melantik atau memberhentikan Sultan. 3. Majelis Agama dikepalai oleh seorang Qadhi ( Imam Kerajaan ) yang beranggotakan 4 orang Khotib Pusat yang dibantu oleh 17 orang Lebe Na’E.
Seiring dengan perjalanan waktu, Kabupaten Bima juga mengalami perkembangan kearah yang lebih maju. Dengan adanya kewenangan otonomi yang luas dan bertanggungjawab yang diberikan oleh pemerintah pusat dalam bingkai otonomi daerah sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang (UU) No. 22 tahun 1999 dan direvisi menjadi UU No. 33 tahun 2004, Kabuapten Bima telah memanfaatakan kewenangan itu dengan Profil Kabupaten Bima tahun 2008 3 terus menggali potensi-potensi daerah baik potensi sumberdaya manusia maupun sumberdaya alam agar dapat dimanfaatkan secara optimal untuk mempercepat pertumbuhan daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.


Untuk memenuhi tuntutan dan meningkatkan pelayanan pada masyarakat, Kabupaten Bima telah mengalami beberapa kali pemekaran wilayah mulai tingkat dusun, desa, kecamatan, dan bahkan dimekarkan menjadi Kota Bima pada tahun 2001. Hal ini dilakukan tidak hanya untuk memenuhi semakin meningkatkan tuntutan untuk mendekatkan pelayanan pada masyarakat yang terus berkembang dari tahun ke tahun tetapi juga karena adanya daya dukung wilayah. Sejarah telah mencatat bahwa Kabuapten Bima sebelum otonomi daerah hanya terdiri dari 10 kecamatan, kemudian setelah otonomi daerah kecamatan sebagai pusat ibukota Kabupaten Bima dimekarkan menjadi Kota Bima, dan Kabupaten Bima memekarkan beberapa wilayah kecamatannya menjadi 14 kecamatan dan pada tahun 2006 dimekarkan lagi menjadi 18 kecamatan dengan pusat ibukota kabupaten Bima yang baru dipusatkan di Kecamatan Woha. (Bappeda Kab. Bima)
Continue reading...

DIMENSI KEARIFAN LOKAL DALAM SÊRAT BIMA SUCI

(Akulturasi Harmonis Ajaran Islam dengan Budaya Jawa)

Saya kutip dari : Purwadi

Abstract

One of the literatures that fill ethics and mysticism is Sêrat Bima Suci. It was created by Yasadipura I in the

earlier period of Surakarta. Historically Sêrat Bima Suci, is still related with Sêrat Nawaruci that was

created by Empu Siwamurti in the end period of Majapahit Kingdom. Sêrat Bima Suci is a literature that

,has acculturation between Javaism, Hinduism and Islamism. The harmony of relation between God, human

.and nature become focal of Sêrat Bima Suci

Salah satu literatur kuno yang masih dijadikan sebagai rujukan dan dianggap

mempunyai nilai mistik adalah Sêrat Bima Suci. Naskah buku ini ditulis oleh Yasadipura I

pada pertengahan kerajaan Surakarta. Sejarah munculnya Sêrat Bima Suci ini juga masih

sangat terkait dengan Sêrat Nawaruci yang ditulis oleh Empu Siwamurti di akhir kerajaan

Majapahit. Sêrat Bima Suci ini merupakan salah satu teks kuno yang mempunyai akulturasi

budaya antara budaya Jawa dan budaya Islam. Oleh karenannya, hubungan harmonis antara

.Tuhan, manusia, dan alam terasa sangat erat dalam Sêrat Bima Suci ini

ﺃﺣﺪ ﺍﻟﻨﺼﻮﺹ ﺍﻷﺩﺑﻴﺔ ﺍﻟﱵ ﲤﻸ ﺍﳋﻠﻔﻲ

....

ﺳﲑﺍﺕ ﺑﻴﻤﺎ ﺳﻮﺟﻲ

.

ﻟﻘﺪ ﻛﺘﺒﻪ ﻳﺴﺎﺩﻓﺮﺍ ﺍﻷﻭﻝ ﰲ

ﺃﻭﺍﺋﻞ ﻋﺼﺮ ﺳﻮﺭﻛﺮﺗﺎ

.

ﻣﻦ ﺟﻬﺔ ﺍﻟﺘﺎﺭﳜﻴﺔ، ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻨﺺ ﻳﺘﻌﻠﻖ ﺑﺴﲑﺍﺕ ﻧﻮﺍﺭﲡﻲ ﺍﻟﺬﻱ ﻛﺘﺒﻪ ﺃﻣﻔﻮ

ﺳﻴﻮﺍﻣﺮﰐ ﰲ ﺃﻭﺍﺧﺮ ﻋﺼﺮ ﳑﻠﻜﺔ ﳎﺎﻓﻨﻴﺖ

.

ﺳﲑﺍﺕ ﺑﻴﻤﺎﺳﻮﲡﻲ ﻧﺺ ﺗﺒﺎﻝ ﺑﲔ ﺍﳉﻮﺍﻭﻳ



ﻭﺍﳍﻨﺪﻭﻛﻴﺔ ﻭﺍﻹﺳﻼﻡ ﺛﻘﺎﻓﺔ

.

ﺗﻼﺋﻢ ﺍﻟﻌﻼﻗﺔ ﺑﲔ ﺍﻹﳍﻴﺔ ﻭﺍﻹﻧﺴﺎﻧﻴﺔ ﻭﺍﻟﻌﺎﱂ ﻳﻜﻮﻥ ﺑﺆﺭﺓ ﺳﲑﺍﺕ

ﺑﻴﻤﺎﺳﻮﲡﻲ

.

.Abstrak di atas dikutip dari Jurnal Studi Agama MILLAH Vo. V, No. 1, Agustus 2005

Jurnal Studi Agama MILLAH adalah Jurnal yang diterbitkan oleh Magister Studi Islam

Program Pascasarjana Universitas Islam Indonesia (MSI PPs UII). Jurnal ini

.Terakreditasi A
Continue reading...

Nika Baronta (Kisah Cinta Zaman Jepang )

Sebuah Novel Sejarah Perjuangan Masyarakat Bima Pada Masa Pendudukan Jepang
Penerbit : Genta Press Yogyakarta tahun 2007
Cerita ini juga termasuk kategori cerita sejarah, karena cerita ini banyak terilhami oleh kejadian-kejadian dalam buku-buku sejarah Bima antara tahun 1942 sampai 1945. Masa itu adalah masa yang sangat menegangkan. Karena proses peralihan kekuasaan dari tangan Pemerintah Hindia Belanda kepada Bala Tentara Jepang berlangsung sangat cepat setelah jepang berhasil menguasai Jawa. Kejadian demi kejadian sangat cepat merambat ke Bima hingga proses itu pun dimanfaatkan oleh elemen pejuang pergerakan kemerdekaan untuk membentuk kesatuan Aksi perebutan kekuasaan.
Namun kekosongan keuasaan itu tidak berlangsung lama. Bendera kesultanan Bima hanya berkibar beberapa hari saja. Jepang pun menginjakkan kaki di Bumi Maja Labo Dahu ini. Semula rakyat sangat menaruh harapan besar kepada Dai Nipon yang mengaku dirinya sebagai SAUDARA TUA bagi rakyat Asia Timur Raya termasuk Bima. Namun ibarat pepatah” Keluar dari mulut Harimau masuk ke Mulut Buaya.”. Penjajah tetap saja penjajah. Dan sifat itu tidak ada bedanya. Hanya penampilan saja yang memebedakan.Buaya tetap saja buaya. Harimau tetap saja harimau.
Penindasan Jepang jauh lebih mengenaskan daripada Belanda. Kerja paksa teramat berat dilakukan rakyat. Demikian pula dalam dunia pendidikan. Dan puncak kemarahan Sultan dan rakyat Bima terjadi ketika Bala Tentara Jepang ingin menjadikan para Gadis Bima sebagai Jugun Ianfu(Wanita Penghibur) untuk memuaskan nafasu tentara Dai Nippon. Hal itu ditolak oleh sultan dan rakyat. Untuk mengelabui dan mengantisipasi pengambilan paksa oleh Jepang, maka rakyat Bima menyusun siasat yang dinamakan dengan “NIKAH BARONTA( Kawin Berontak).”
Continue reading...

Letak dan Lingkungan Kota Dan Kabupaten Bima

Istana Bima yang disebut Asi Mbojo merupakan salah satu tinggalan arkeologi yang awalnya merupakan tempat tinggal Raja-raja Bima. Dalam perkembanganya Istana ini pernah beberapa kali berubah fungsi antara lain : sebagai barak tentara, kantor ruang kerja dan terakhir (saat ini) sebagai Museum Asi Mbojo yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan benda-benda peninggalan kerajaan Bima.
Sebagai mana layaknya sebuah bangunan istana, Istana Bima terletak di pusat pemerintahan Kasultanan Bima, yaitu di Kota Bima yang kita kenal sekarang.
Kota Bima terletak di kabupaten Bima merupakan salah satu daerah otonomi di propinsi Nusa Tenggara Barat, terletak di ujung timur pulau Sumbawa tepatnya pada posisi 0-477,50 M diatas permukaan laut dan berada pada 117 ‘ 40’ sampai 119’ 10 Bujur timur dan 70’30 Lintang selatan. Dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :
Sebelah utara : Laut Flores
Sebelah selatan : Samudra Indonesia
Sebelah Timur : Selat Sape
Sebelah Barat : Kabupaten Dompu
Luas wilayah kabupaten Bima adalah 4.596,90 Km2 atau 22.5% dari total luas Propinsi NTB. Secara administratif Kabupaten Bima terdiri dari 16 Kecamatan dan terdapat satu kota Administratif yakni kotif Bima.Semula hanya ada 10 Kecamatan, namun pada Tahun 2000 enam kecamatan mengalami pemekaran yang telah didefinitifkan Tahun 2001. Secara umum topografi kabupaten Bima berbukit-bukit setiap wilayahnya mempunyai topografi yang cukup berpariasai dari datar hingga bergunung-gunung.
Kabupaten Bima beriklim tropis dengan musim hujan yang relatif pendek yakni dari bulan desember sampai dengan maret. Sedangkan berdasarkan data kependudukan jumlah penduduk di akhir tahun 2008 adalah 509,951 jiwa.
Sebagai kota yang pernah menjadi ibukota sebuah negara (Bima), dan kini dikembangkan sebagai kota terbesar di Kabupaten Bima, sarana transportasi dan komunikasi dengan dunia luar sangat memadai. Kita dapat berkunjung ke Bima melalui jalan darat, laut, ataupun dengan pesawat udara. Disamping pelabuhan laut yang berjarak hanya sekitar satu kilometer dari komplek Istana Bima, di Bima juga terdapat sebuah Bandar udara yang dapat didarati pesawat F 27.
Latar Sejarah
Sejarah keberadaan sebuah istana terkait erat dengan keberadaan dari kerajaan itu sendiri. Dalam hal ini sejarah kerajaan Bima, khususnya masa awal berdirinya kerajaan Bima, masih diselimuti kabut misteri karena diantara sumber-sumber yang ada masih berbau cerita legenda. Bukti-bukti sejarah kepurbakalaan yang ditemukan di kabupaten Bima seperti Wadu Paa dan Wadu Noco, Wadu Tunti (batu bertulis) di dusun Padende Kecamatan Dongo menunjukan bahwa daerah ini sudah lama dihuni manusia.
Menurut legenda nama Bima diambil dari nama tokoh “ Sang Bima “, seorang bangsawan dari Jawa yang berhasil mempersatukan kerajaan-kerajaan kecil di daerah ini menjadi satu kerajaan, yaitu kerajaan Bima.
Sang Bima kawin dengan seorang putri yang cantik jelita, bernama Tasi Naring Naga. Dari perkawinanya itu lahir Indra Jambrud dan Indra Kumala, yang kelak menjadi cikal bakal dan menurunkan raja-raja Bima dan Dompu. Braam Morris menyebutkan bahwa tidak kurang dari 49 raja yang pernah memerintah di Bima, sedangkan Maharaja (“Sang”) Bima ditempatkan pada urutan ke sebelas.
Kronik Bima (naskah “ Bo” kerajaan Bima) mencatat bahwa pada masa pemerintahan Sariese, raja Bima yang ke- 36, terjadilah kontak pertama dengan orang-orang Eropa (mungkin Portugis). Sedangkan raja ke- 37, raja Sawo adalah raja terakhir yang belum menganut agama Islam. Ia digantikan oleh anaknya, bernama Abdul Kahar, sebagai raja ke- 38, raja pertama dari dinasti Kasultanan Bima yang memeluk agama Islam dan bergelar Sultan.
Tentang kapan masuknya ajaran agama Islam di Bima diperoleh imformasi yang beragam. Naskah “Bo” kerajaan Bima menyebutkan bahwa ketika raja Bima dalam tahun 1015 H (= 1616 M) pergi ke Gowa untuk kawin dengan putri raja Gowa, ia kemudian bergelar Sultan Abdul Kahir atau Kahar, yang mungkin sekali adalah Sultan yang oleh Zollinger disebut Abdul Galir.
Abdul Kahir menjadi Sultan Bima sejak tahun 1630, sampai dengan 1640, sedangkan Braam Morris mengatakan sejak 1640, tanpa menyebutkan tahun berakhirnya. Ia dikenal sebagai peletak dasar agama Islam di Bima dan menjadikan kerajaan Bima sebagai kerajaan Islam. Di dalam sejarah daerah Bima maupun dalam catatan lontar Gowa, ia dikenal dan sering disejajarkan dengan Sultan Alaudin dan Sultan Malikul Said dari kerajaan Gowa dan Tallo, baik dalam hal penyebaran agama Islam maupun dalam perebutan pengaruh terhadap Belanda yang ingin menguasai perdagangan di Indonesia bagian timur pada waktu itu. Setelah beliau wafat pada tahun 1640, digantikan oleh puteranya, yaitu Sultan Abdul Khair Sirajuddin.
Masih menurut catatan “ Bo” kerajaan Bima, ketika istri Sultan Abdul Kahir melahirkan puteranya yang pertama, Sultan Abdul Kahir mendatangi Bicara/Bumi Renda La Mbila Manuru Suntu untuk meminta nama dari puteranya yang baru lahir. Oleh Rumata Menuru Suntu diberikan nama La Mbila, sebagai peringatan bagi Rumata Tureli Nggampo Ma Kapiri Solor yang telah mengatur adat dan pemerintahan sehingga menjadi dasar yang kokoh bagi tata cara pemerintahan kerajaan Bima pada waktu itu. Kemudian, La Mbila mendapat pula nama secara Islam, yaitu Abdul Khair Sirajuddin sehinga nama lengkapnya menjadi La Mbila Abdul Khair Sirajuddin. Sayang sekali hingga kini belum ditemukan catatan yang menjelaskan kapan Abdul Khair dilahirkan.
Sejak kecil Abdul Khair sangat besar perhatianya terhadap kesenian, terutama seni tari. Bahkan, menurut riwayat, ia adalah seorang seniman.
Ketika ayahandanya, Sultan Abdul Kahar meninggal dunia, Abdul Khair baru menginjak usia dewasa, sehingga ia terpaksa memangku jabatan sebagai Sultan dalam usia muda.
Dalam lontara Gowa disebutkan bahwa Sultan Abdul Khair kawin di Makasar pada tahun 1646 dengan puteri Raja Gowa Malikul Said yang bernama Karaeng Bonto Jene, setelah beberapa tahun menjadi Sultan. Dari perkawinan ini lahir seorang putra yang kelak menjadi Sultan Bima III (Sultan Nuriddin), dan tiga anak perempuan lainya.
Pada masa pemerintahan Sultan Abdul Khair Sirajuddin tercatat beberapa peristiwa penting bagi kerajaan Bima, diantaranya :
1. Penyesuaian hukum adat dengan hukum islam sehinga pemerintahan kerajaan Bima berjalan sebagaimana lazimnya kerajaan islam.
2. Penyesuain bentuk majelis kerajaan dengan memasukan unsur-unsur agam Islam
3. Memperluas penyiaran agama Islam dengan mewajibkan pelaksanaan “syariat” Islam Dan memberikan kedudukan tersendiri bagi mubaligh-mubaligh.
4. Memerintahkan penyempurnaan Kitab catatan Kerajaan dengan membuat “BO” yang tertulis di atas kertas dengan hurup arab berbahasa melayu.
5. Melindungi dan mengembangkan kesenian dan memerintahkan untuk mempertunjukan kesenian terbaik di Istana Kerajaan pada waktu perayaan di istana, seperti peringatan Maulud Nabi Muhamadan S.A.W. yang disebut “ sirih puan”.
6. Menetapkan hari-hari besar kerajaan yang diperingati secara adat pada setiap tahunya. Oleh majelis kerajaan, hari-hari besar itu disebut Rawi Sara Ma Tolu Kali Sa Mbaa, yaitu :
a. Peringatan Maulud Nabi Muhammad s.a.w tanggal 12 Rabi’ulawal 1030 Hijrah. Upacara ini lebih dikenal dengan nama Upacara Sirih-puan, atau Ua-pua.
b. Hari Raya Idul Fitri.
c. Hari Raya Idul Adha.
Sebagai sekutu kerajaan Gowa, Sultan Abdul Khair selalu bahu membahu dengan iparnya, yaitu I Mallombasi Daeng Mattawang atau yang lebih dikenal dengan nama Sultan Hasanuddin dari Gowa dalam menentang Belanda.
Sultan Abdul Khair memerintah daerah yang cukup luas dan strategis bagi pelayaran perdagangan, seperti: Sumba, Flores Barat dan pulau-pulau di antara Flores dan Sumba. Oleh karena itu pula di dalam Perjanjian Bongaya yang ditandatangani pada hari jumat tanggal 18 Nopember 1667, tiga pasal diantaranya menyangkut kerajaan Bima. Walaupun perjanjian itu dengan terpaksa telah ditandatangani oleh Sultan Hasanuddin Dan raja-raja lainya, Karaeng Bontomarannu, Sultan Bima, Raja Tallo Sultan Harun Al Rasyid, dan Karaeng Lengkoso tetap belum mau menandatangani perjanjian Bongaya pada tanggal 9 dan 31 Maret 1668. Sedangkan kerajaan Bima baru menyerah kepada Belanda pada tanggal 8 Desember 1669 dengan suatu perjanjian yang ditandatangani di Jakarta oleh Jeneli Monta Abdul Wahid dan Jeneli Parado La Ibu atas nama Sultan Bima. Meskipun secara resmi kerajaan Bima telah menyerah, namun dalam prakteknya pemerintah kerajaan sepenuhnya berjalan menurut kebijakan Sultan Abdul Khair. Kekuasan Belanda hanya tampak dalam urusan perdagangan, yang dikendalikan seorang kuasa usaha, yang dikenal sebagai Khojah Ibrahim.
Sultan Abdul Khair wafat pada tanggal 17 Rajab 1093 H, bertepatan dengan tanggal 22 Juli 1682 M, dimakamkan di Makam Tolobali. Setelah beliau wafat, digelari Rumata Maatau Uma Jati, artinya Raja yang memiliki rumah jati, karena semasa hidupnya pernah mendirikan sebuah Istana yang keseluruhanya terbuat dari kayu jati, dengan corak konstruksi khas Bima. Bangunan Istana itu kini telah tiada.
Sultan Abdul Khair digantikan oleh putranya, Sultan Naruddin, tetapi masa pemerintahanya tidak begitu lama hanya berlangsung sekitar lima tahun, sehinga tidak banyak peristiwa penting yang terjadi selama masa pemerintahanya. Sultan Naruddin diangkat menjadi sultan pada tahun 1682.
Dalam masa pemerintahanya, Sultan Naruddin menyempurnakan jabatan-jabatan keagamaan Kerajaan Bima, yaitu dengan diadakanya jabatan-jabatan Qadli, Lebe, Khatib, dan sebagainya. Bahkan di istana diangkat pejabat-pejabat khusus yang mengurusi masalah-masalah keagamaan yang kedudukanya setingkat dengan mufti. Salah seorang diantaranya yang terkenal ialah Syah Umar Al Bantami yang menjadi mufti di istana kerajaan dan sebagai guru agama bagi putra-putri Sultan. Sultan Naruddin wafat pada tahun 1687, jenasahnya dimakamkan di Makam Tolobali, berdampingan dengan makam ayahndanya.
Sepeninggal Sultan Nuruddin, yang diangkat sebagai pengganti beliau ialah putera sulungnya, bergelar Sultan Jamaluddin, sebagai Sultan Bima ke 4 (1687- ?). Pada tahun 1688, Sultan Jamaluddin kawin dengan puteri bangsawan Gowa, bernama Karaeng Tanata. dari perkawinanya itu lahir empat anak laki-laki, seorang diantaranya bernama Hasanuddin Muhamad Syah, yang kelak menjadi Sultan Bima ke 5.
Sejak kecil Sultan Jamaluddin mendapat didikan Syeh Umar Al Bantami. Dari Syah Umar inilah ia mendapatkan cerita-cerita tentang kepahlawanan raja-raja banten, raja-raja Malaka, dan kepahlawanan Islam. Kisah-kisah itu berpengaruh besar terhadap pertumbuhan dan pembentukan kepribadianya yang anti penjajahan. Setelah menjadi sultan, ia menampakan ketegasan sikapnya tidak mau dicampuri oleh Belanda dalam urusan pemerintahan. Hal semacam ini sudah tentu tidak disenangi oleh Belanda.
Ketika terjadi pembunuhan atas diri permaisuri Sultan Dompu (bibi sultan jamaluddin) secara kebetulan Sultan Jamaluddin tengah berkunjung di sana. Belanda mengunakan kesempatan itu dengan sebaik-baiknya untuk menjebaknya. Atas pengaduan Sultan Dompu. Belanda memanggil Sultan Jamaluddin ke Makasar, kemudian ditahan. Dari Makasar dibawa ke Batavia dan di tahan disana sampai beliau wafat. Mengenai kapan Sulatan Jamaluddin wafat belum diketahui dengan pasti, hanya didalam catatan Belanda disebutkan bahwa Sultan Jamaluddin wafat di Batavia dan dikuburkan di Tajung Priok. Pada tahun 1701 Belanda mendirikan benteng dan loji di Bima dan menempatkan petugasnya, bergelar Koopman dan Onderkoopman. Setelah itulah baru diketahui bahwa Sultan Jamaluddin telah wafat. Pada waktu itu kerajaan Bima diperintahkan oleh Raja Muda, yang didampingi oleh Wazir Abdul Somad Ompo La Muni. Tiga tahun kemudian barulah tulang belulang kerangka jenasah Sultan Jamaluddin dipindahkan ke Bima dan dikuburkan di Makam Tolobali, disamping makam Syeh Umar Al Bantami yang telah mendahuluinya (1695).
Demikianlah sekilas tentang Kesultanan Bima, dari masa awal terbentuknya Kasultanan Bima (Sultan Bima I) sampai dengan Sultan Bima IV. Nama dan ketokohan keempat Sultan Bima ini cukup populer di kalangan masyarakat Bima.
Adapun, nama-nama tokoh yang dikenal sebagai Sultan Bima sepeninggal Sultan Jamaluddin ialah :

1. Sultan Bima IV, Sultan Hasanuddin Muhammad Syah, wafat tahun 1731
2. Sultan Bima V, Kamala (BUMI Partiga) atau Sultan I’Lauddin wafat tahun 1753
3. Sultan Bima VI, Abdul Kadim Sri Nawa (1751-1765)
4. Sultan Bima VII, Abdul Hamid (1792)
5. Sultan Bima VIII, Ismail (1819-1850)
6. Sultan Bima IX, Abdullah (1851-1868)
7. Sultan Bima X, Abdu Azis (1868- ?)
8. Sultan Bima XI, Ibrahim (1881-1916)
9. Sultan Bima XII, Muhamad Salahuddin (1916- ?) sebagian Sultan Bima yang terakhir.

Istana atau Asi dalam bahasa Bima mulai dikenal oleh masyarakat Bima pada sekitar abad ke 11 Masehi. Menurut mitos setempat Raja Bima pertama, Indra Zamrud membangun Istana Kaca. Begitu Sultan Abdul Hamid Membangun Asi Saninu (Istana Kaca), selanjutnya Sultan Ismail membangun Asi Mpasa (Istana Lama) pada tahun 1820 M. Asi Ntoi dibangun diera pemerintahan raja-raja dan Sultan-sultan Bima yang bisa disaksikan sampai sekarang yaitu istana-istana Asi Mbojo dan Asi Bou yang terletak berdampingan.
Asi Bou (Istana Baru) semula merupakan bangunan darurat untuk tempat tinggal sementara Sultan Muhammad Salahuddin dan keluarganya selama Asi Mbojo dalam pembangunan.
Bangunan Istana Bima yang kita saksikan sekarang ini ialah sebuah bangunan bergaya Eropa, dibangun pada tahun 1927-1929. Istana ini dibangun setelah Istana yang lama rusak. Bangunan Istana yang lama dibangun pada abad ke-19, juga bergaya Eropa (gaya Portugis), Ukuranya jauh lebih kecil dibanding istana yang ada sekarang. Perancang Asi Mbojo adalah Re hatta arsitek kelahiran Ambon yang diundang dan ditugaskan oleh pemerintah Kolonial Belanda untuk membangun Istana di maksud di bantu oleh Bumi Jero Istana, Istana ini rampung dikerjakan dan diresmikan menjadi istana kerajaan Bima tahun 1929.
Asi Bou (Istana Baru) semula merupakan bangunan darurat untuk tempat tinggal sementara Sultan Muhammad Salahuddin dan keluarganya selama Asi Mbojo dalam pembangunan.
Benda Cagar Budaya (BCB)
Benda Cagar Budaya (BCB) yang ada di Istana Bima terdiri dari BCB tidak bergerak dan BCB bergerak
a. Benda Cagar Budaya Tidak Bergerak
BCB tidak bergerak yang terdapat di Istana Bima antara lain :
- Istana Bima berupa bangunan eksotik bergaya Eropa mulai dibangun tahun 1927, dikerjakan dalam waktu tiga tahunrampung dan diresmikan menjadi istana Kerajaan Bima tahun 1929. Istana tersebut berupa bangunan permanen berlantai dua yang merupakan paduan arsitektur asli Bima dan Belanda. Pembangunanya dilakukan secara gotong royong oleh masyarakat ditambah pembiayaan anggaran belanja kesultanan. Istana dengan sendirinya menjadi bangunan paling indah dan megah pada masa kesultanan.Luas halamanya 500 meter persegi. Kala itu seputar Istana tumbuh pohon-pohon rindang dan taman bunga yang indah. Bangunan Istana diapit oleh dua pintu gerbang yang berada di bagian timur dan barat. Konsepsi tata letak bangunan istana tidak jauh berbeda dengan Istana lain di Tanah Air.
- Didepan Istana terdapat tanah lapang atau alun-alun berbentuk segi empat mendekati bujur sangkar namanya Serasuba. Di sinilah raja tampil secara terbuka di depan rakyat di saat-saat tertentu, misalnya waktu kesultanan menyelenggarakan upacara-upacara penting atau perayaan hari besar keagamaan lainya. Serasuba juga menjadi arena latihan pasukan kesultanan.
- Di sebelah selatan alun-alun terdapat sebuah bangunan masjid, kesultanan yang megah dibangun pada masa pemerintahan Sultan Abdul Hamid tahun 1872 Masehi, sebagai sarana kegiatan ritual keagamaan Islam. Kini Masjid itu bernama Masjid Sultan M. Salahuddin.
Alun-alun di satu sisi bersebelahan dengan bangunan Mesjid, dan sisi lain menyatu dengan halaman istana. Jelas menyiratkan bahwa ke 3 unsur bangunan tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh. Untuk memberi kesan sebagai bangunan monumental, istana bisa dipandang dari empat penjuru mata angina menggunakan konsepsi filosofi sebuah istana yang di dalamnya menyiratkan kesatuan unsur antara pemerintahan, agama dan rakyat (masyarakat).
- Pintu gerbang sebelah barat bernama Lare-Lare merupakan pintu resmi kesultanan yaitu tempat masuknya sultan, para pejabat kesultanan dan tamu-tamu sultan. Lare-Lare berbentuk Mesjid tiga tingkat. Tingkat atas (loteng) merupakan tempat untuk menyimpan tambur Rasanae dan dua buah lonceng. Tambur Rasanae dibunyikan sebagai tanda pemberitahuan adanya upacara kebesaran, sedangakan kedua lonceng dibunyikan untuk pemberitahuan tanda bahaya dan waktu.
- Pintu gerbang sebelah timur disebut Lawa Kala atau Lawa Se merupakan pintu masuk bagi anggota sara hukum dan ulama. Pintu masuk bagi anggota keluarga Raja berada di belakang Asi Bou, bernama Lawa Weki.
- Di depan Asi Mbojo bagian barat terdapat tiang bendera setinggi 50 meter yang disebut Kasi Pahu, terbuat dari kayu jati yang berasal dari Tololali. Tiang bendera tersebut dibangun oleh Sultan Abdullah untuk memperingati hari pembubaran angkatan laut kesultanan. Sultan Abdullah terpaksa membubarkan angkatan lautnya karena tidak mau memenuhi keinginan penjajah Belanda yang memaksa angkatan laut kesultanan Bima untuk menyerang pejuang-pejuang Gowa Makasar dan Bugis. Tiang Kasi Pahu sempat roboh karena lapuk. Tahun 2003 dibangun kembali atas inisiatif Hj S. Maryam Salahuddin.namun bahanya bukan jati karena jati di sana tidak ada lagi.
- Asi Bou, demikian orang Bima menyebut istana kayu ini. Asi Bou berarti istan baru. Dalam bahasa Bima, asi artinya istana dan bou artinya baru. Tidak banyak orang yang tau istana ini. Bangunan ini terkesan tertutup, karenanya Asi Bou penuh misteri. Asi Bou berdampingan dengan Istana Bima. Persisnya disebelah timur istana. Dia seperti mengawal bangunan disebelahnya. Istana ini sebenarnya hanya tempat tinggal keluarga kerajaan. Dia tidak digunakan sebagai pusat penyelenggaraan pemerintahan. Sebagian besar bangunan Asi Bou terbuat dari kayu. Itu sebabnya disebut istana kayu. Konstruksinya seperti rumah panggung Bima. Sesuai namanya, Asi Bou dibangun belakangan, di masa pemerintahan Sultan Ibrahim (1881-1916).
- Sumur tua istana terletak di sudut Barat daya halaman istana merupakan sumber air untuk memenuhi kebutuhan air istana
Benda cagar budaya (BCB) bergerak
BCB bergerak yang ada di lingkungan Istana Bima terdiri dari 2 (dua) komponen yaitu : BCB yang berada di halaman Istana dan BCB yang tersimpan di dalam Istana, dengan rincian sebagai berikut :
BCB yang berada di halaman Istana
Koleksi yang berada di halaman istana terdiri dari 7 buah meriam bahan perungu. Masing-masing meriam berukuran (panjang, lebar dan garis tengah) laras sebagai berikut :
1. Meriam berukuran panjang 152 cm dan garis tengah laras 20 cm
2. Meriam berukuran panjang 143 cm dan garis tengah laras 12 cm
3. Meriam berukuran panjang 164 cm dan garis tengah laras 21 cm
4. Meriem berukuran panjang 136 cm dan garis tengah laras 19 cm pada sisinya tertulis angka 1815 M
5. Meriam berukuran panjang 163 cm dan garis tengah laras 22 cm
6. Meriam berukuran panjang 121 dan garis tengah laras 16 cm
7. Meriam berukuran panjang 147 dan garis tengah laras 11 cm
Disamping Meriam kuno terdapat juga sebuah arca berupa Fragmen dari arca Nandi (lembu nandi), yang bagian kepalanya dalam keadaan patah. Arca ini berukuran panjang 75 cm dan lebarnya 53 cm, terbuat dari bahan batu andesit. Memperhatikan bentuknya diperkirakan kekunan ini dibuat pada abad ke 11 Masehi.
BCB yang tersimpan di dalam ruang Istana
Benda cagar budaya yang yang ada di dalam ruang Istana dimanfaatkan sebagai koleksi Museum Asi Mbojo Bima yang seluruhnya merupakan bekas koleksi Istana kesultanan Bima. Benda-benda tersebut masih berfungsi sebagai sarana kelengkapan dalam prosesi upacara kesultanan. BCB tersebut terdiri dari beberapa jenis yaitu : Senjata, Wadah (talam),jenis tempat air, serta koleksi yang diperoleh dari Negara Eropa pada masa penjajahan Belanda di Indonesia. Koleksi yang cukup penting dalam kaitan sebagai benda purbakala terdapat dalam dua buah ruangan, yakni berada diruangan bagian utara dan ditengah.
Adapun rincianya adalah sebagai berikut :
1. Keris
Koleksi keris kerajaan Bima yang dipajang di Museum Asi Mbojo berjumlah 20 buah masing-masing dengan nama dan fungsi sebagai berikut ;
- Keris yang disebut dengan istilah Tata Rupa adalah jenis peninggalan yang pada umumnya digunakan sebagai pusaka jabatan para raja muda kesultanan Bima. Pada bagian sisi (luar) sarung keris berlapis emas.
- Keris sebagai simbul kelengkapan pakaian upacara pejabat kesultanan Bima. Jumlah keris ini sebanyak 6 buah pada bagian sarung dan pegangannya berlapis emas.
- Keris tanpa sarung
Keris ini difungsikan sebagai sarana pembunuh dalam memutuskan hukuman mati pada zaman kesultanan Bima, jumlah keris ini 1 buah.
- Keris yang digunakan oleh pejabat tinggi kerajaan 3 buah
- Keris bumi Renda
Keris yang biasa digunakan oleh panglima kesultanan Bima. Keris ini berjumlah 3 buah sarungnya ini berlapis emas
- Keris
Sebuah keris yang biasa digunakan pejabat kesultanan Bima yang disebut Jeneli yang setara dengan jabatan camat pada jaman kesultanan Bima
- Keris
Keris dengan hiasan hulu berbentuk raksasa Niwata kawaca yang diperoleh dari jawa timur
2. Talam
Jenis talam yang dipajang dalam bahasa daerah Bima disebut “ tari, “ kampu”, dan “sampai”, “kampu”. Koleksi ini berfungsi sebagai tempat bunga dalam rangkaian prosesi upacara adat di Istana Sultan Bima, bahannya terbuat dari emas.
3. Tempat lilin
Berfungsi sebagai sarana penerangan dalam rangkaian upacara adat di Istana Sultan Bima terbuat dari bahan Emas.
4. Cerek
Berfungsi sebagai wadah air minum, bahannya terbuat dari perak.
5. Wadah pencuci tangan
Koleksi ini disebut dengan Ngamo ( wacarima ). Difungsikan sebagai wadah pencuci tangan ketika upacara pesta di Istana Sultan Bima, bahannya dari emas
6. Tempat sirih dan tempat pinang
Koleksi ini menurut bahasa Bima disebut Selapa dengan bahan emas.
7. Tempat pembuangan ludah
Koleksi ini terbuat dari bahan semacam kuningan.
8. Tongkat dan cambuk kuda
Koleksi ini merupakan peninggalan tongkat kebesaran Sultan Bima pada
jaman dahulu.
9. Pedang sebagai senjata pimpinan pasukan kesultanan Bima
Menurut bahasa daerah Bima jenis pedang ini disebut dengan istilah
“Sondi”, bagian sarung pedang berlapis emas berjumlah 1 buah.
10. Pedang
Berjumlah 3 buah yang biasanya digunakan oleh petugas kesultanan Bima yang bertugas di Reo (Flores barat)
11.Golok
Senjata jenis ini digunakan sebagai kelengkapan tanda jabatan kesultanan Bima yang bertugas di daerah Reo (Flores Barat)
12. Pedang (1 buah)
Digunakan oleh perwira kesultanan Bima
13. Rantai Kendali Kuda Sultan
14. Payung dan Tombak Kesultanan
Payung jenis ini difungsikan sebagai payung pelantikan Sultan, pada saat upacara penobatan Sultan Bima
15.Sebuah Genderang (tambur) kesultanan Bima
Tambur ini telah digunakan pada masa pemerintahan Sultan Abdul Khahir Sirajuddin, pada tahun 1640-1682 M.
16. Alat Upacara Kematian
Terdiri dari, cerek (cere), kain pembungkus mayat dan batu nisan
17. Lonceng
Bahan perunggu, Lonceng ini diperoleh dari negeri Belanda. Pada bagian sisinya memuat angka tahun pembuatan, yakni 1735 Masehi. Pada jaman pemerintahan kesultanan difungsikan sebagai pertanda waktu
18. Senapan (senjata)
Jenis senjata api yang dibuat tahun 1640-1682 M berasal dari Portugis
Continue reading...

Sejarah Awal Kerajaan Bima dan Masyarakat Bima


Oleh : Z a i n u d i n, S. Fil., M. Si. (Penulis adalah Lulusan S1 Ilmu Filsafat dan S2 Ilmu Politik UGM Yogyakarta, Asal Desa Ncera, Kec. Belo, Kab. Bima, NTB, Sekarang Menetap di Yogyakarta) MULA – MULA Kerajaan Bima telah menjadi legenda sejak Sang Jin Jan Wa Manjan sampai ke masa menjelang kedatangan Sang Bima yang melakukan pemahatan situs Wadu Pa’a banyak mempunyai keunikan secara langsung mempengaruhi keberadaan tanah Bima dan masyarakat Mbojo yang penuh ramah tamah dan keuletan yang bibarengi dengan prinsip hidup yang keras dan berpandangan luas serta bertatakrama yang tinggi. Masa sebelum ada penguasa di tanah Bima, yang walaupun berkelompok adanya, Tanah Bima merupakan suatu wilayah yang menjadi tempat terdamparnya suku pencari wilayah penyebaran yang berasal dari dataran Asia Tenggara yakni suku Dongsong dari Yunan (Vietnam). Mereka semula mendarat di pesisir utara Pulau Sumbawa (Bima) di desa yang sekarang namanya Sapunggu (Sam Mpung Ngun) menyebar ke Utara, Barat, Timur dan Selatan Negeri. Mereka hidup berkelompok dan membetuk marga sendiri-sendiri yang merupakan kelompok awal penduduk Bima. Setelah lama mereka hidup berkelompok dalam naungan pemerintahan versi dan adat masa itu, sampailah pada pencarian cara berpemerintahan yang baik dan berdirinya Kerajaan Bima yang diperkirakan terjadi tidak berapa lama setelah Situs Wadu Pa’a. Diperkirakan terjadi + 750 M. ASAL MULA KERAJAAN BIMA Raja Pertama Kerajaan Bima adalah Indra Zamrud yang seterusnya sebagaimana Silsilah “BO” Nuntu Mantoi sehingga sampai kepada masa Raja (Sangaji) Ma Wa’a Paju Longge yang mempunyai hubungan luas dengan kerajaan-kerajaan lainnya di wilayah Nusantara, seperti Banten, Aceh, Kutai, Makassar (Tallo), Gowa, Bugis, Ternate dan Jailolo serta masih banyak lagi yang lainnya, terutama dalam status dan keberadaannya sebagai tempat persinggahan dan pengambilan barang dagangan perahu-perahu niaga. Raja ini banyak mengirim keluar saudara-saudaranya untuk belajar dan mencari ilmu termasuk di antaranya adik-adiknya yang bernama Ma Wa’a Bilmana dan Manggampo Donggo yang dikirim ke kerajaan Gowa dan Tallo. Sekembalinya ke Bima, mereka membawa banyak perubahan dan kemajuan untuk tanah dan masyarakat Bima. Seperti dalam hal tata pemerintahan dan pengetahuan dalam bidang pertanian dan kemasyarakatan serta pertukangan dan sebagainya. Setelah dilantiknya Raja Ma Wa’a Bilmana sebagai Raja dan Manggampo Donggo sebagai Perdana Menteri, memang ada sedikit kelemahan karena karir keduanya tidak sesuai dengan kedudukan dan jabatannya sehingga terjadi saling pertukaran jabatan antara keduanya dengan penuh permusyawaratan dan permufakatan. Manggampo Donggo diserahkan tugas sebagai Raja oleh kakaknya Ma Wa’a Bilmana dan sebaliknya Ma Wa’a Bilmana menjadi pengatur dan pelaksanaan pemerintahan sebagai Mangku Bumi/Turelli Nggampo (Perdana Menteri). PUNCAK KEJAYAAN KERAJAAN BIMA Pemerintahan berjalan lancar dan kerajaan Bima semakin tersohor dengan dibantu oleh putera-putera mereka yang bernama Ma Wa’a Ndapa dan Ma Wa’a Pili Tuta, Ruma Me’e (Putera Manggampo Donggo) serta La Mbila I yang terkenal dengan gelar Ruma Makapiri Solor dan Rato Ara sebagai ahli agama (Putera Ma Wa’a Bilmana). Namun ketenaran kerajaan ini tidaklah begitu mulus jalannya untuk kerajaan Bima, karena setelah berakhirnya Pemerintahan Sangaji Ma Wa’a Ndapa, terjadi suatu perebutan kekuasaan antara putera-puteranya. TITIK KEMUNDURAN KERAJAAN BIMA (MASA PERALIHAN) Puteranya bernama Salisi Mantau Asi Peka berkhianat dan membunuh saudara-saudaranya karena ingin merebut puncak pemerintahan. Salisi yang merupakan anak gundik dari Sangaji Ma Wa’a Ndapa menurut keturunan garis lurus sebagaimana bunyi sumpah yang telah diikrarkan oleh nenek-nenek (kakek-kakek)-nya dengan sumpah Ma Wa’a Bilmana dan Manggampo Donggo sewaktu pengalihan wewenang dan kekuasaan, selama masih ada saudara-saudaranya yang berdasarkan keturunan garis lurus sebagai Pewaris kerajaan, tidak berhak menjadi raja dan ini sudah merupakan tata hadat tanah Bima yang wajib ditaati dan dilaksanaka. Saudara-saudaranya bernama Samara, Sarise dan La Sawo dibunuh dan diracun oleh Salisi, serta kaki tangannya. Yang lebih sadis lagi, Jena Teke (Raja Muda) putera dari raja Samara dibakar di Wera, yang terkenal dengan adanya Jena Teke yang dibakar di Mpori Wera. Meski demikian, Salisi masih belum aman karena disamping hadat tanah Bima tidak merestui dan para Nuchi yang masih ada dan besar pengaruhnya pada masyarakat dan rakyat Bima, yang merupakan masalah dan ganjalan yang besar masih adanya Pewaris Kerajaan Putera dari La Sawo yang bernama La Kai yang didukung oleh putera-putera La Mbila yang bernama Ama Lima Ma Dai yang menjadi Tureli Nggampo saat itu dan Rato Waro Bewi yang menjadi Rato Renda, yang secara gigih mempertahankan keberadaannya sebagai Pewaris kerajaan dan Pemerintahan yang syah. Pewaris-pewaris kerajaan ini berusaha melarikan diri menyingkir ke pedalaman Teke dan selanjutnya ke Kalodu di mana rakyatnya masih patut dan taat pada pemerintahan yang syah. Mereka bermukim di sana sampai datangnya “Fajar Islam” yang dibawa oleh pedagang-pedagang dari tanah Makassar, Gowa, Luwu dan Tallo di Sape. Setelah mereka menerima Islam di Sape dan dengan adanya sumpah di Dam Parapi yang juga merupakan Sumpah Darah Daging untuk tetap bersatu dan saling membantu sehidup semati dalam perjuangan membela kebenaran dan keadilan sampai saatnya pengangkara murka Salisi dapat dihancurkan. MENUJU SISTEM PEMERINTAHAN KESULTANAN Setelah berjuang dan banyak membawa korban suhadah dan dengan bantuan Kerajaan Makasar, Gowa, Tallo, dan sebagainya, Salisi dapat dihancurkan dengan kekuasaan kembali pada pewarisnya yang segera berubah menjadi sistem pemerintahan yang bernafaskan Islam, yakni tata dan sistem pemerintahan Kesultanan. Mulailah Bima menjadi Kerajaan Islam yang dengan persetujuan Hadat Tanah Bima serta dengan dukungan segenap rakyat dan masyarakat Bima melantik dan menobatkan La Kai (Jena Teka) yang setelah masuk Islam bernama Abdul Kahir menjadi Sultan pertama Tanah Bima dengan gelar Rumata Ma Bata Wadu, yang dibantu oleh Tureli Nggampo La Mbila (Jalaludin) dan perangkat lainnya. Munculnya pemerintahan yang penuh dengan sinar Islam yang juga tidak melupakan tata adat leluhurnya terdahulu. BERPEDOMAN PADA FALSAFAH “MAJA LABO DAHU” Naka, Ncuhi, Raja dan Sultan selalu berpedoman pada falsafah “MAJA LABO DAHU” (malu dan takut) yang mengandung pengertian bahwa “mereka akan takut dan malu pada dirinya sendiri, kepada masyarakat, terutama pada Tuhan apabila melaksanakan kebijaksanaan yang tidak sesuai dengan asas musyawarah dan karawi kaboju yang dijiwai oleh ajaran agama dan adat Islam”. Maja Labo Dahu merupakan falsafah kehidupan yang mengandung nilai-nilai luhur yang dijadikan pedoman oleh Pemerintah dan seluruh masyarakat. Nilai-nilai luhur yang bersumber dari Maja Labo Dahu ialah : (1) Tohompara nahu sura dou labo danana; (2) Edera Nahu sura dou Marimpa; (3) Renta ba rera, kapoda ba ade karawi ba weki; (4) Nggahi Rawi Pahu. Keempat nilai luhur dari Maja Labo Dahu tersebut di atas pada hakekatnya merupakan perpaduan yang tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Sangaji dan rakyat harus melaksanakan falsafah secara utuh dan konsekuen. “Toha Mpara nahu sura labo dana” yang berarti “biarkan aku menderita asalkan demi rakyat dan negara”. Falsafah tersebut mampu mengobarkan semangat pengabdian rakyat terhadap Kesultanan Bima sampai pada pelaksana pemerintah. Penerapan falsafah berikut, yakni “Edera nahu sura dou marimpa”, yang berarti “saya (Sultan) tidak penting (bukan yang utama), yang utama dan penting adalah masyarakat secara keseluruhan”. Falsafah ini pada hakekatnya mewajibkan sultan untuk memperhatikan kepentingan rakyat banyak tanpa mempedulikan kepentingan pribadi atau golongannya. Dalam menjalankan tugas sehari-hari para Raja, Sultan dan seluruh masyarakat harus berpedoman pada nilai-nilai luhur “Nggahi Rawi Pahu” yang mengandung pengertian bahwa apa yang telah diikrarkan harus dapat diwujudkan menjadi kenyataan. Mereka secara konsekuen melakukan tugas, agar mampu mewujudkan tujuan yang telah disepakati. Bila gagal berarti ada di antara mereka yang melanggar nilai falsafah “Renta ba rera kapoda ba ade karawi ba weki” yang berarti “yang telah diikrarkan oleh lidah yang bersumber dari hati nurani, harus mampu dikerjakan dan dilaksanakan oleh raga dan jasmani”. AKHIRAN Jika kita cermati secara seksama, ternyata falsafah Pancasila belum ada apa-apanya dibanding pengabdian dan penerapan falsafah Maja Labo Dahu tersebut di masa silam, bahkan kelahiran falsafah Maja Labo Dahu tersebut lebih dulu dan jauh melampaui dibanding masa kelahiran falsafah Pancasila yang kita kenal sekarang ini. Falsafah tersebut telah mengejewantah dan telah menjadi nilai-nilai luhur yang menjadi dasar pemerintahan pada masa lalu, yang wajib diterapkan dan diamalkan dalam kehidupan nyata masyarakat Bima hingga saat ini. Kesuksesan dan kejayaan yang berhasil dirangkul Kesultanan Bima di masa lalu merupakan buah nyata penerapan falsafah tersebut, terutama dalam mengimbangi, menyaingi, dan mengungguli kerajaan-kerajaan lain di seluruh negeri. Berkat penerapan falsafah tersebut pula, kompeni Belanda berhasil diusir dari tanah Bima untuk selamanya. Semoga, falsafah tersebut masih membara, membakar semangat juang rakyat Bima kapan dan di mana pun berada, untuk menggapai kejayaan dan kegemilangan masyarakat dan tanah Bima hari ini dan ke depan, serta kejayaan dan kegemilangan bangsa Indonesia tercinta. Amin!!
Continue reading...

Pariwisata, Seni, dan Budaya Kota bima





Kerajaan Mbojo (Bima) yang masuk dalam salah satu catatan perjalanan sejarah Indonesia hingga kini masih meninggalkan sebuah keraton yang pernah menjadi istana sultan-sultan Bima. Keraton yang ada di tengah-tengah kota Bima dan dibangun oleh Sultan Salahudin Kahir tahun 1925 dan 1927 itu masih menampakkan keasliannya. Walau sudah mengalami renovasi, namun renovasi yang dilakukan tetap berpegang pada arsitektur aslinya.
Untuk mengunjungi museum Asi Mbojo tidak terlalu sulit. Banyak kendaraan umum melewati keraton. Tapi jika Anda agak jauh dari pusat kota bisa memanfaatkan jasa tukang ojek. Beruntung bagi Anda yang menginap di tengah kota. Tinggal melangkahkan kaki beberapa puluh meter saja Anda sudah dapat melihat kemegahan masa lalu kerajaan Mbojo ini.
Keraton yang di bangun pada masa Sultan Salahudin Kahir ini tetap menjadi kebanggaan warga Mbojo. Sebagaimana lazimnya keraton-keraton di Pulau Jawa, keraton Mbojo juga mempunyai desain mirip bahkan mungkin sama dengan keraton di pulau Jawa.


Keraton terletak di tengah kota, di depannya terhampar alun-alun. Di sekeliling keraton ditumbuhi pohon beringin dan di sudut yang lainnya terlihat sebuah masjid sebagai tempat ibadah umat Muslim. “Dulu memang ada pohon beringin yang besar-besar tapi sekarang sudah roboh,” tutur Sofran - warga Bima.
Memasuki keraton dengan desain rumah panggung, pengunjung disuguhi berbagai macam peninggalan kerajaan seperti keris, pedang dan juga lambang-lambang kerajaan serta perhiasan. Pengunjung juga bisa memasuki ruang kerja sultan dan tempat tidur yang masih terlihat utuh selain meubeler tua dengan desain khasnya.
Yang unik dari keraton ini, menurut penjaganya ada satu ruangan sebagai tempat eksekusi atas orang-orang yang divonis bersalah. Jika hukuman mati sudah dilaksanakan, mayat orang bersangkutan tidak akan pernah ditemukan dalam ruangan tersebut. “Menurut cerita, ada mahkluk halus yang diperintah untuk membuang mayat-mayat itu,” jelasnya.
Selesai menyusuri sudut-sudut keraton, pengunjung masih disuguhi berbagai buah tangan asli Mbojo seperti ramuan atau kerajinan kayu songgak. Menurut brosur, kayu songgak memiliki khasiat menyembuhkan beberapa penyakit diantaranya rematik dan kencing manis. “Caranya, tinggal tuangkan air dalam gelas songgak. Tunggu beberapa saat baru airnya diminum,” jelas pemandu lainnya.
Soal rasa jangan ditanya. Bagi Anda yang tidak suka rasa pahit bila ingin minum air kayu songgak sebaiknya menyiapkan gula atau penawar rasa pahit lainnya. Gak percaya, boleh coba. (MN/Bima)
Continue reading...

BO KITABNYA ORANG BIMA

Bo Sangaji Kai


Bo Sangaji Kai
Kedatangan Pangeran Bernard dan Duta Besar Belanda Van Dongen ke Bima pada 1984 membidani kelahiran kembali Bo Sangaji Kai
Kala itu, Hajjah Siti Maryam Salahuddin, salah satu putri Sultan Bima terakhir Muhammad Salahuddin, diminta pemerintah untuk mempersiapkan semacam pameran benda-benda peninggalan Kerajaan Bima.
Maka, berbagai senjata, perhiasan emas dan permata dikeluarkan. Tapi Maryam merasa tidak puas. "Rasanya ada yang kurang tanpa kehadiran kitab Bo Sangaji Kai," ujar anak ketujuh dari sembilan bersaudara itu.
Dia kemudian mulai melakukan pencarian. Tidak sia-sia, akhirnya berhasil dikumpulkan dua peti naskah kuno. "Berserakan di mana-mana. Ada di banyak lemari dan banyak tempat di istana. Halamannya pun kacau, bahkan bagian terakhir ada yang rusak," cerita Maryam.
Naskah kuno yang dikenal dengan sebutan Bo Sangaji Kai itu pun dipamerkan. Menyedot perhatian Pangeran Bernard dan Van Dongen. Mereka, kata Maryam, tidak tertarik dengan emas permata. Bo Sangali Kai justru menjadi favorit.
Dalam sebuah pertemuan, Pangeran Bernard bertanya, "Apakah Anda sudah mempunyai kopi naskah untuk berjaga-jaga jika hilang atau rusak?" Maryam tersentak, menjawab jujur, belum.
"Saat itu saya malu sekali. Mengapa orang asing yang peduli dengan peninggalan Bima? Siang itu, saya langsung ke pasar mengopi semua naskah. Tapi tidak selesai karena terlalu banyak hingga membuat mesin fotocopy rusak. Akhirnya proses itu dilanjutkan di Mataram, Lombok," kenang Maryam yang sudah puluhan tahun tinggal di Mataram, hingga harus bolak-balik Mataram-Bima.
Kini, kopian naskah kuno sudah tersebar di beberapa tempat. Antara lain Perpustakaan Nasional dan museum di Belanda. Maryam masih menyimpan naskah asli.
Bo Sangaji Kai merupakan naskah kuno yang ditulis ulang pada abad 19. Antara lain menggunakan kertas dari Belanda dan China. "Ahli kertas pasti tahu karena di setiap lembarnya tercantum merek kertas yang digunakan," papar Maryam.
Terlepas dari itu, kerajaan di daerah yang kaya kuda ini memang punya tradisi kuat mencatat dan menyalin kejadian. Dilakukan terus-menerus selama berabad-abad. Terakhir ditulis dalam bahasa Arab Melayu. Perubahan dari aksara Bima ke Arab dilakukan setelah Islam masuk Bima. Dalam naskah tersebut tertulis, menggunakan `bahasa yang diridhoiAllah'.
Itulah sekelumit kisah kelahiran kembali Bo Sangaji Kai Keberadaannya menyentak ahli arkeologi dan filologi dunia. Di antaranya Henry Chambert Loir, filolog dari Prancis. Dia sangat terkejut ketika diberi tahu ada dua peti naskah kuno Bo Sangaji Kai. Gairah keilmuannya langsung memuncak.
Henry mendatangi Maryam. Bersama-sama mereka melakukan penelitian, kemudian melahirkan buku berjudul Bo Sangaji Kai Catatan Kerajaan Bima. Diterbitkan Ecole Francaise d'Extreme Orient bekerja sama dengan Yayasan Obor. Buku itu merupakan sumbangan besar dalam dunia sejarah. Namun, pekerjaan belum selesai. Jalan masih panjang. Sampai sekarang, banyak naskah kuno Bima yang belum tersentuh. (S-1)
Continue reading...

Sejarah Kerajaan Bima dari Empat Naskah Tua Diterbitkan

Jakarta, Sinar Harapan
Kerajaan Bima mungkin merupakan kerajaan yang tak kerap disebut dalam sejarah. Namun, kerajaan ini ternyata menyimpan banyak peninggalan teks tertulis berbahasa Kawi (Arab-Melayu). Dari teks-teks ini, terungkaplah sejarah religi, budaya, dan kondisi sosial masyarakat Nusantara. Dari naskah ini pula, diketahui sejarah masuknya agama Islam dan bahasa Melayu yang digunakan masyarakt Bima.
Teks-teks itu telah dikumpulkan, diterjemahkan, dan diterbitkan oleh Henri Chambert Loir, filolog asal Prancis. Ia meluncurkan buku berjudul Kerajaan Bima, dalam Sastra dan Sejarah yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia bekerja sama dengan Ecole Francaise d’Extreme-Orient, di Perpustakaan Nasional, Jl. Salemba Raya, Jakarta, Kamis (22/7).
Dalam kesempatan itu, digelar pula sebuah diskusi yang menghadirkan Loir, didampingi staf peneliti Universitas Indonesia, Prof. Dr. Achdiati Ikram dan dari Museum Samparaja, Bima, Hj. Siti Maryam R. Salahuddin SH.
Loir mengaku tertarik pada teks tulis Bima, ketika dia melihat naskah Cerita Asal secara tak sengaja. ”Saya berminat pada sejarah kerajaan Bima serta perkembangan sastra Melayu di Bima tiga puluh tahun lalu saat membaca naskah Cerita Asal itu. Naskah itu adalah koleksi Perpustakaan Nasional Jakarta...” demikian pendapat Henri Chambert-Loir, dalam Prakata (hal. 9) dalam bukunya itu.
Ketika itu, di Perpustakaan Nasional, dia justru sedang melakukan rutinitas sebagai filolog untuk keperluan edisi sebuah teks yang lain. Henri Chambert-Loir memang meminati naskah-naskah Sastra Melayu Lama dan menerbitkan naskah lama bahasa Jawi itu ke bahasa Latin untuk diterbitkan ke masyarakat luas.
”Pada waktu membacanya, saya melihat katalog di naskah, tentang dewa, mambang, peri, jin. Semua tentang makhluk halus. Saya jadi berminat. Lalu, setelah itu, saya baca dengan teliti. Akhirnya, saya pun mendapatkan kisah mengenai cerita raja-raja Bima di naskahnya (Cerita Asal),” paparnya.
Dia melihat ada naskah yang sangat panjang, sehingga memutuskan untuk menerbitkan naskah yang pendek karena dipikirnya itu tidak begitu lama. Namun, dia kemudian mendapati naskah-naskah yang lain, sehingga dia pun akhirnya baru bisa menyelesaikannya setelah bertahun-tahun bahkan ke Bima untuk mendapatkan informasi dan bertemu dengan orang yang bisa membantu termasuk Siti Maryam R. Salahuddin yang merupakan salah satu putri keturunan dari raja Bima.
Ada tiga naskah yang dihimpun untuk buku ini, berkaitan dengan sejarah Kerajaan Bima dan ditulis dalam bahasa Melayu antara kurun abad ke-17-19 M. Teks pertama judulnya ”Cerita Asal Bangsa Jin dan Segala Dewa-dewa” mengisahkan mitos pendirian wangsa raja-raja Bima, yang diperbandingkannya dengan Sejarah Melayu-Hikayat Banjar dan berbagai teks Melayu sejenis. Teks kedua adalah Hikayat Sang Bima, yang diolah dalam bentuk sastra dengan muatan kisah dari Mahabharata. Teks ketiga adalah Syair Kerajaan Bima yang juga berkategori sastra, berupa kesaksian seorang penduduk Bima tentang peristiwa zamannya.
Menurut Henri Chambert-Loir, cukup sukar membaca tulisan dalam bahasa Jawi, antara lain penulisan tanda titik, koma atau tanda baca lainnya, sehingga sangat sukar menentukan di mana akhir dan awal kalimat, untuk menentukan keutuhan sebuah narasi. ”Karena itu untuk menginterpretasi suatu naskah, diperlukan pengetahuan yang luas, penekunan naskah, lama dan rajin. Terutama berkomunikasi terhadap masyarakat setempat untuk mengetahui bahasa, adat-istiadat dan hal lainnya,” ujar Henri kepada SH.

Filologi yang Multidimensi
Sebelum masuknya Islam di Bima lewat Kerajaan Gowa di Makassar pada awal abad ke-17, Bima dipengaruhi oleh Jawa dan agama Hindu. Ada beberapa peninggalan agama Hindu di Bima mulai dari prasasti atau patung. ”Dinamakan Bima dari orang Jawa (disebut pada naskah Negarakertagama pada 1365 M), sedangkan dalam bahasa setempat bukan Bima tapi Mbojo. Daerah ini terkenal makmur di tengah perdagangan antara Jawa dan Maluku,” ujar Henri.
Henri, selain mengatakan tentang fenomena sejarah yang terangkat, juga tentang tradisi yang beberapa tak dominan lagi hingga akhir abad ke-19 karena pengaruh kebudayaan nasional. ”Kaba, pantun dan tembang tak ada, yang ada bentuk lokal yang dipengaruhi oleh Makasar,” ujarnya.
Prof. Dr. Achdiati Ikram mengatakan bahwa dengan terbitnya buku ini, kisah sejarah dari naskah itu dapat dibaca oleh masyarakat luas. Masyarakat Indonesia kurang membaca apalagi buku berupa karya filologi semacam ini, padahal itu merupakan bagian dari sejarah dan tradisi.
”Padahal karya filologi itu sangat komprehensif dan bisa digunakan dalam berbagai dimensi kehidupan,” ujar Achdiati. Misalnya saja, kisah tentang Gunung Tambora yang meletus, yang membuat reaksi berupa kebangkitan Islam karena selama ini mereka berpikir pasti gunung itu meletus akibat dosa mereka.
Achdiati merasa yakin bahwa naskah filologi semacam itu tak hanya berguna buat dunia kesusasteraan atau budaya saja, tetapi juga tentang sejarah, keadaan sosial dan banyak unsur lain yang dapat digali untuk kesejahteraan hidup masyarakat di masa sekarang. (srs)
Continue reading...
 

Friends

url=http://www.buxp.info/advertise.php?ar=mbozoranevaku][img]http://buxp.net/images/b2.gif[/img][/url]

Followers

Enter a long URL to make tiny:

Fave This

MBOZO RANEVA Copyright © 2009 Not Magazine 4 Column is Designed by Ipietoon Sponsored by Dezigntuts